Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2022

RAHASIA HATI (3)

Gambar
 RAHASIA HATI (3) Penulis : Lidwina Ro  Suara Wulan yang bergetar, membuat dadaku juga ikut bergetar saat menangkap ada luka dalam mata dan suaranya. Wulan masih terlihat cantik, tidak berubah setelah enam tahun berlalu. Sesak rasanya melihat wanita yang aku cintai terlepas begitu saja dari rengkuhanku. Apa dayaku, dulu tak berkasta, ditambah embel-embel anak haram pula. Entah mengapa ibuku tidak pernah mau bercerita tentang masa lalunya, dan siapa sebenarnya bapakku. Semua itu menambah lengkap deretan daftar hitamku, sampai akhirnya aku hanya bisa mematung dan membisu ketika Wulan dinikahkan dengan orang lain. Luka dan kecewa itulah yang membuatku nekat ingin meninggalkan Ibu dan Mbah Uti untuk meredam marahku yang entah harus kutujukan pada siapa. Mencoba mencari pekerjaan di kota, sambil mencari jejak bapak, -lelaki sejarah Ibu di masa lalu- yang berhasil menghamili ibuku, dengan berbekal alamat, yang entah dari mana Mbah Uti mendapatkannya.  Entah suatu keberuntungan atau kehinaan,

RAHASIA HATI (2)

Gambar
 RAHASIA HATI (2) Penulis : Lidwina Ro  “Siapa dia, Yo?” tanya Ibu saat melihat ada seorang gadis yang berdiri di teras dengan banyak tas, penuh berisi oleh-oleh, yang tergeletak di lantai.  Aku tersadar, baru ingat kalau aku mengajak Raisa.  Ketika aku mengenalkan Raisa, wajah Ibu tampak berubah berseri-seri, lalu mempersilakan masuk. Kata Mbah Uti, sudah lama ibuku ingin seorang cucu.  Melihat Raisa, wajah Mbah Uti tampak datar. Dia hanya diam, tertegun, dan menelisik ke arah Raisa, lalu lama menatap mataku, tetapi tanpa sepatah tanya. Aku jadi menebak-nebak, kira-kira apa yang ada dalam sepotong hati tua ini?   *** Persis seperti dugaanku, Wulan ada di tempat favorit kami, enam tahun yang lalu. Duduk di salah satu bangku besi tua, dan menghadap jauh ke depan danau. Sebuah sepeda motor, terparkir asal di dekatnya. Berita kedatanganku ternyata cepat sampai juga di telinganya. Hatiku berdebar kencang. Apakah dia datang ke danau ingin berbicara denganku? Rindukah Wulan setelah enam tahu

RAHASIA HATI (1)

Gambar
 RAHASIA HATI (1) Penulis : Lidwina Ro Tekatku sudah bulat. Kalau aku pulang kampung nanti, aku harus membuktikan bahwa aku bukanlah lelaki yang boleh dianggap sebelah mata lagi oleh seluruh warga. Dulu aku memang cuma pemuda desa biasa, warga kelas rendah, anak penjual sayur pasar yang tidak dianggap. Kesulitan dan tekanan hidup yang menyesakkan dan melukai egokulah yang membuatku minggat ke kota untuk memperbaiki nasib, sekaligus mencari biang kerok yang sudah lama menghantui otakku. Dengan berbekal uang tabungan Mbah Uti, aku nekat berangkat meninggalkan desa. Meninggalkan tiga potong hati dengan bahasa tangisan mereka masing-masing. Kini enam tahun sudah berlalu. Suryo yang dulu, jelas berbeda dengan yang sekarang. Suryo yang dulu, yang sering dijadikan bahan ejekan, telah mati. Yang ada sekarang adalah Suryo baru yang sukses dalam karier.  Ibu menangis tak berhenti saat melihatku tegak berdiri di ambang pintu rumah. Aku dapat merasakan tulang tangannya yang kurus ketika mendekapku

BAWAH SADAR (1)

Gambar
  BAWAH SADAR (1) Penulis : Lidwina Ro Jam dinding kuno di ruang tengah berdentang nyaring sepuluh kali. Aku mencoba memejamkan mata, tetapi entah mengapa aku sulit untuk tidur kembali. Suara jam dinding yang baru saja senyap itu seolah menggiringku untuk tetap terjaga. Aku membalikkan punggung. Menatap bingung pada Mas Nu yang tidur dengan pulas di sebelahku. Heran, mengapa Mas Nu tidak terganggu sama sekali oleh jam kuno yang memekakkan telinga itu? Atau jangan-jangan, Mas Nu terlalu lelah karena perjalanan panjang tadi? Aneh sekali, mengapa hanya aku yang terbangun? Sebenarnya kamar yang sudah disiapkan kakek untuk kami berdua, sangat nyaman. Udara pedesaan lumayan dingin, sehingga tanpa AC pun, aku bisa tidur dengan nyaman. Sirkulasi udara di atas jendela cukup besar membawa aliran dan pergantian udaranya.  Hanya saja ... aku tidak suka dengan suara jam dinding kuno milik kakek. Suaranya terlalu seram di waktu malam. Besok aku akan bertanya pada Kakek, mengapa kakek sangat menyukai

KELIRU (3)

Gambar
 KELIRU (3) Penulis : Lidwina Ro  Sopir itu malah sudah mendorongku lembut, untuk segera duduk di samping Rian. Dengan canggung aku pun duduk di sebelah anak itu. “Aku Rian,” ujar anak itu dengan nada ringan dan polos. “A-aku Didi,” sahutku terbata. “Sudah lama aku ingin berkenalan denganmu. Tapi, yaa ... begitulah, belum sempat,” Rian tersenyum riang sambil mengangkat bahu. Aku mengangguk. Mencuri pandang ke bawah, pada kaki Rian. Hatiku sangat tidak nyaman, merasa bersalah karena sudah menghakimi Rian sebagai anak yang sombong. “Aku sering melihatmu bermain sepak bola di lapangan dekat rumah. Andai saja aku bisa ikut main sepak bola ....” Entah kapan Rian melihatku main sepak bola, tetapi setiap hari Minggu, aku memang sering pergi bermain sepak bola di lapangan dekat rumahku bersama teman-teman.  “Apa hobimu?” tanyaku. “Main domino, main di kolam, oh, iya, aku juga suka menonton film. Banyak VCD bagus di rumahku. Kau mau main ke rumahku? Nanti kita bisa nonton berdama-sama.” “Ke-ke

KELIRU (2)

Gambar
KELIRU (2) Penulis : Lidwina Ro   Aku berteduh di teras apotek. Hujan mendadak turun dengan deras. Aku memutuskan untuk berteduh dulu. Hati-hati kumasukkan ke dalam kantong celana, keresek berisi obat rematik pesanan Ibu. Sambil bersedekap menahan dingin, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling area mini market.  Terlihat sebuah mobil putih memasuki halaman mini market. Ketika sang sopir turun dari mobil, mataku pun membulat. Ah! Aku kenal sopir itu! Dia adalah sopir anak orang kaya yang rumahnya di ujung jalan rumah itu. Sopir itu tampak menerjang hujan dengan sebuah payung hitam, bergegas masuk ke dalam apotek.  Wah, enak sekali menjadi anak orang kaya. Tinggal duduk dan bisa menyuruh apa saja. Seperti raja yang berkuasa. Pasti di rumah anak itu berlimpah makanan dan mainan. Kasur empuk, TV besar, juga banyak uang. Mau makan apa saja bisa. Mau bermain apa saja bisa. Mau membeli apa saja, juga bisa. Aku lalu melirik tas sekolahku. Mbak Lisna sudah menjahit tali tasku yang putus Minggu

KELIRU

Gambar
  KELIRU Penulis : Lidwina Ro Dengan cepat aku melahap ludes sepiring nasi goreng pedas tanpa lauk yang sudah disediakan Ibu di meja makan. Nasinya sedikit keras, juga sudah dingin. Pasti sisa nasi kemarin malam. Tapi tak apa-apa, lumayan lah, buat mengganjal perut. Setidaknya perutku tidak akan berbunyi di kelas nanti, dan tidak akan menjadi tertawaan Wawan, teman sebangkuku yang suka jahil itu. Segelas besar air putih mengakhiri sarapan singkatku. Nah! Kenyang sudah. Bergegas aku menyambar tas sekolah. Tidak lupa bercermin sebentar, tidak lupa menyisir rambut dengan telapak tangan. Tidak perlu pamit pada siapa-siapa, karena Bapak pasti sudah pergi menggarap sawah milik Pak Haji dari tadi pagi, sedangkan Ibu juga pasti sudah berangkat ke pasar menjual sayur mayur dan singkong, hasil panen dari kebun belakang yang tidak seberapa luas itu.  Kalau Mbak Lisna sudah pasti sekolah duluan, karena Mbak Lisna harus berangkat lebih pagi, karena setiap hari dia selalu menitipkan pisang goreng da

AKARA

Gambar
 AKARA Penulis : Lidwina Ro “Kamu sering ngomong sendirian dalam kamar. Kamu ini sebenarnya kenapa? Kau berbeda sekali sejak sembuh dari sakitmu beberapa bulan yang lalu. Jangan menakuti ibu, Dinar.” “Aku enggak apa-apa, Bu. Hanya saja aku tidak mau Ibu pergi kondangan.” “Apa alasannya?” “Karena aku tahu ada sesuatu yang buruk di sana.” “Kata siapa, toh, Din?” Aku melirik ke sudut ruang. Menatap bayang yang juga sedang melihat cemas ke arahku. Wah, dia mengkhawatirkan Ibu juga. “Bu, pokoknya aku tahu ada sesuatu yang tidak beres, percaya saja, Bu.” Ibu menghela napas, sambil bersiap-siap untuk berdiri, menyusul tetanggaku yang sudah berangkat duluan. “Dinar, Ibu sudah di tinggal, loh, sama Bu Harjo.” “Tunggu, Bu, jangan pergi. Aku tahu banyak, Bu.” “Tahu apa, kamu?” Aku menelan ludah dengan susah payah. Kalau aku harus terpaksa merobek luka lama, akan kulakukan asal Ibu tidak pergi kondangan. “Aku tahu ka-kalau ... Bapak tidak meninggal, Bu,” desahku lirih, sangat hati-hati. Mata Ib

AKARA (2)

Gambar
 AKARA (2) Penulis : Lidwina Ro “Selama ini aku tidak pernah bohong padamu, kan? Semua yang kukatakan padamu adalah benar. Aku hanya berusaha menolongmu, Dinar.”  Aku mengangguk setuju. “Aku tahu, tapi ....” Sebelum aku melanjutkan kalimatku, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ibu menatapku dengan dahi berkernyit, menelisik ke dalam mataku dengan sedikit bingung. “Sudah malam, Dinar. Kau bicara dengan siapa tadi itu?” “Eh! Enggak, Bu. Anu ... hanya latihan pidato aku ini,” sahutku kaget sekali. Sapu lidiku sampai terjatuh di lantai. Mata Ibu berkeliling sebentar di seputar kamarku sebelum menutup pintu kembali. Aku tersenyum kecut. Pelan-pelan aku meraih sapu lidiku yang jatuh, lalu melirik ke atas kasurku. Kosong.    *** Sambil memeluk Rara yang terisak-isak, aku menatap ke arah sudut. Sekelebat bayang samar perlahan-lahan semakin jelas tertangkap oleh mataku. Bersandar ke dinding dan bersedekap santai, membalas tatapanku dengan senyum kecil. Aku bisa menangkap makna tatapannya yang jahil

AKARA

Gambar
 AKARA Penulis : Lidwina Ro Pelan-pelan aku membuka pintu kamar Rara. Teman satu kampusku itu langsung melambaikan tangannya, menyuruhku masuk. Ada lebam di wajah kirinya, juga beberapa luka yang di perban di kaki. Aku meringis, menyesal, sekaligus merasa kasihan padanya. Untunglah kecelakaan angkot kemarin tidak menyeret korban jiwa. Angkot yang seharusnya aku tumpangi bersama Rara kemarin itu, ditabrak truk. “Aku bawa kue sus kesukaanmu, Ra. Makanlah. Eh, masih sakit kakimu?”  “Ada apa sebenarnya Dinar?” Rara begitu antusias mendengar kue kesukaannya itu, langsung merebut box kue dari tanganku, lalu langsung mencomot satu kue sus.  “Ada apa apanya?” tanyaku sambil menyeret kursi lebih dekat ke ranjang, dan duduk sambil mengamati kaki kanan Rara yang di perban dan di plester di beberapa tempat.  “Kemarin itu.” “Kemarin?” tanyaku heran, tak mengerti dengan arah bicara Rara. “Iya. Kemarin itu. Kenapa kemarin mendadak kau tidak jadi naik angkot bersamaku?” Oh, aku mengerti sekarang maksu

DUA WARSA (2)

Gambar
DUA WARSA (2) Penulis : Lidwina Ro Benar saja. Perempuan itu tersenyum. Seketika dadaku bergemuruh. Tak salah lagi. Itu Rina. Perempuan yang berhasil mengacaukan hidupku, sehingga aku harus menerima dengan terpaksa pembatalan pernikahanku. Mau apa dia ada di sini? Belum cukupkah dia menghancurkan aku? Napasku semakin cepat dan panas saat Rina mulai mendekat. Lebih baik aku segera menghindarinya. Tidak perlu ada komunikasi. Apalagi basa basi. Meskipun beribu-ribu kata maaf di obral keluar dari mulutnya, keadaannya, toh, tetap tidak akan berubah. Pernikahanku tetap gagal. Ibuku yang  hanya janda miskin tak kuat menanggung malu karena pembatalan pernikahan sepihak, lambat laun kesehatannya ambruk, dan akhirnya meninggal. Keadaan tidak bisa dibalik seperti semudah membalikkan telapak tangan. Karena ibuku ... tidak mungkin kembali lagi. Bisik-bisik bernada sumbang para tetangga, dan ujaran kasihan tersembunyi mereka, makin membuat tidak normal denyut jantungnya yang sudah lama bermasalah. “

DUA WARSA

Gambar
 DUA WARSA Penulis : Lidwina Ro Sudah menjadi kebiasaanku sebelum ziarah, membeli sekantung keresek bunga tabur di pasar pinggir jalan, tidak jauh dari pemakaman umum desa. Mbah Gami adalah salah satu penjual bunga langgananku. Wajah yang dipenuhi keriput di sana sini itu tampak semringah saat melihatku mampir ke lapaknya. Sebuah meja tua dari bambu yang sudah reot kehitaman. “Mbak Muna sudah lama enggak kelihatan. Jarang sekali pulang.” Aku mengangguk sambil mengulurkan uang. Sejak ibuku meninggal dua tahun yang lalu, aku memang tidak pernah pulang. Entahlah, bagiku pulang ke desa malah membuat hatiku semakin berat. Jujur saja aku belum mampu menghapus semua kenangan di sini. Terlalu banyak luka yang harus aku terima. Puncaknya saat Ibu -satu-satunya keluarga yang aku miliki di dunia- meninggal, praktis tidak ada alasanku untuk  harus kembali ke desa ini lagi. Bagiku lebih baik mencari kerja di kota, dan mengganti nomor ponsel, lalu mencoba menata hidup mulai dari awal lagi. Bukankah

UMBAN DAVID

Gambar
 UMBAN DAVID Penulis : Lidwina Ro Manusia raksasa itu bernama Goliat. Berbadan kekar dihiasi tonjolan otot yang keras. Di beberapa lokasi tubuhnya terlihat bekas luka sayatan yang menghitam dan mengering. Menandai sejarah petualangannya dalam medan pertempuran yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Jangan ditanya setinggi apa manusia buas itu. Mungkin tiga kalinya dari tinggi manusia biasa. Sambil memanggul pedangnya yang tajam berkilat di atas bahu, Goliat tersenyum mengejek ke arah lawannya. Liurnya menetes, seolah melihat santapan lezat pada lawan yang berdiri tegak di ujung zona tempur. Tampilan Goliat tidak membuat nyali David menciut. Tekatnya sudah bulat, akan menghabisi si manusia raksasa yang sudah lama meresahkan negerinya. Meski dia tidak memiliki pedang setajam Goliat, dia tidak gentar sedikit pun. “Maju kau!” perintah Goliat sambil tergelak melihat David yang kerepotan berjalan karena baju zirahnya berat.  David mulai menyiapkan senjatanya. Karena dirinya hanya seorang p

SUSTER VERO

Gambar
 SUSTER VERO Penulis : Lidwina Ro  “San, tunggu. Ayo ikut aku sebentar,” ajak Bintang sambil berjalan cepat ke sudut mal. Sandra dengan bingung mengikuti. Mata Bintang sontak bersinar saat melihat wanita berkerudung abu-abu yang baru saja keluar dari toko buku. Tidak salah lagi. Wanita itu adalah Suster Vero. Mantan guru sekolah minggunya. Tidak mungkin Bintang melupakan wajah malaikat itu. Atau jangan-jangan Suster Vero memang malaikat yang tersesat di bumi? Bintang tidak pernah melihat Suster Vero marah, selama dia ikut Sekolah Minggu, walaupun banyak anak-anak yang nakal, juga tidak mengerjakan tugas tepat waktu. “Apa kabar, Suster Vero. Sehat-sehat, kan?” Wanita berkerudung abu-abu itu mendongak. Menatap ragu Bintang. “Suster mungkin lupa pada saya, tapi pasti ingat pada anak nakal yang menaruh permen karet di kursi Suster, dan menyembunyikan kacamata Suster, kan?” Alis Suster Vero sontak naik diiringi tawa kecil. “Oh, iya! Aku ingat sekarang, kamu pasti Bintang!” Keduanya tertawa

NEGERI DONGENG

Gambar
 Negeri Dongeng Penulis : Lidwina Ro Dengan takjub Sandra memandangi tongkat ajaib dengan ukiran bunga di pucuknya itu. Hadiah dari Ratu Bidadari ini sangat terbukti keampuhannya. Apa saja yang Sandra inginkan, semua terwujud dalam sekejap. Siomay, batagor, rujak buah, es Doger ... semua makanan kesukaannya langsung terhidang di hadapannya.  “Lampuku tak kalah sakti dengan tongkatmu,” ujar seseorang tiba-tiba dari arah belakang. Sandra menoleh. Seorang lelaki dengan rambut sedikit berantakan mendekatinya, sambil membawa lampu kuno berbentuk aneh.  “Ada jin baik dan besar di dalam lampu ajaibku ini, dia bisa membawa kita keliling dunia.” Mata Sandra menyipit, menelisik lelaki jangkung itu dengan sedikit curiga. Sepertinya dia mengenalnya. Tetapi di mana? “Kamu bukan Aladin, kan?” “Bukan. Memangnya hanya Aladin saja yang punya lampu ajaib?” “Sepertinya aku pernah melihatmu. Sebentar ....” “Kelamaan mikirmu. Yuk, kita keliling saja di sekitar Negeri Dongeng. Di belakang istana, aku dengar

DINNER

Gambar
DINNER Penulis : Lidwina Ro Bintang batal mengetuk pintu untuk yang ke sekian kali, saat pintu  di depan hidungnya tiba-tiba terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul dengan alis berkerut. Sontak Bintang mengangguk hormat.  “Maaf, Tante. Terlalu malam, ya?” “Mencari Sandra, ya? Ayo, masuklah. Kamu makan sekalian saja.”  “Eh?” Bintang celingukan. Yang dicarinya tidak kelihatan. Ke mana si gunung berapi itu? “Sudah, tidak perlu sungkan. Hari ini Tante masak enak-enak.”  Sandra menghentikan kunyahannya, melotot kaget saat melihat Bintang masuk ke ruang makan bersama ibunya. Sementara ke dua adik kembar Sandra mulai saling menyikut.  “Wih, tinggi sekali. Siapa dia?” bisik Seto pada Kresno.  “Pacarnya Mbak Sandra, kali.” Sandra mendelik pada kedua adiknya. Bapak berdehem, sebagai kode untuk menyudahi perang mulut. Dengan ramah Bapak lalu menyuruh Bintang duduk pada salah satu kursi. Makan malam pun berlanjut. Meskipun agak kikuk, tetapi Bintang cukup lihai, tidak membuang waktu. Dengan siga

ROMANSA BAPER

Gambar
 ROMANSA BAPER Penulis : Lidwina Ro  Langit begitu gelap. Pasti hujan kali ini bakalan awet. Sandra mengeluh dalam hati. Bosan. Rasanya ingin cepat pulang dan menerjang hujan. Tiba-tiba dari belakangnya menguar keharuman kopi. Sandra menoleh. Bintang mengulurkan papper cup kopi padanya. “Ngopi saja dulu, San. Sebentar lagi juga akan reda.” “Kalau tidak reda bagaimana?” “Kita ngobrol saja sampai hujan reda San. Oke?” “Capek, Bin. Malas,” sahut Sandra ogah-ogahan. “Kita main tebak-tebakan saja, biar kamu enggak malas,” usul Bintang sambil menyesap sedikit kopi susunya. Memang bukan hal mudah mendekati Sandra. Butuh kesabaran, dan sedikit kenekatan tentu saja. “Bau apa yang paling sweet, San?” Bintang pun memulai tebakannya. Kening Sandra berkerut, ada-ada saja Bintang, seperti tidak punya kerjaan saja. “Malas, Bin, ah!” “Bau amis. Amis you so much,” sahut Bintang cengengesan melihat rona merah di pipi Sandra. “Jawab, San. Susu apa yang paling indah?” lanjut Bintang tidak mau menyerah beg

CUKUP ADIL

Gambar
CUKUP ADIL Penulis : Lidwina Ro Entahlah, bagiku duduk berdua denganmu dengan secangkir kopi Latte di antara kita merupakan kejahatan termanis dalam hidupku. Mau bagaimana lagi? Setengah dari hatiku sudah terlanjur jatuh di genggamanmu. Meskipun aku tidak terang-terangan mengakuinya, akan tetapi mengapa hatiku teramat sakit saat mengetahui kalau kau lebih memilih gadis yang dijodohkan ibumu ketimbang ngeyel mempertahankanku. Ah, sependek inikah dongeng asmaraku? Tidak seru. Sebenarnya lelaki macam apa kamu? Mengapa setuju saja balik ke levelnya Siti Nurbaya? Tidak kusangka nyalimu setipis ATM. Sampai di sinikah perjuangan cinta? “Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bisa menolak pernikahan ini. Ibuku ....” “Sudahlah. Aku memintamu ke sini bukan untuk membahas itu,” potongku jenuh, mencoba mengukir senyuman manis. Menutup segala bayangan yang berseliweran di dalam otak. Kesalahan yang telah banyak diperbuat oleh para wanita -termasuk aku- adalah mengisi hati lebih besar dengan ruang harapan b

DULU KITA MASIH REMAJA

Gambar
 DULU KITA MASIH REMAJA Penulis : Lidwina Ro “Halo San.” Sandra mengenal suara itu! Meskipun lama tidak bertemu dengan lelaki itu, tetapi tetap saja hatinya berdesir ketika mendengar suaranya. Mimpi apa semalam sehingga bisa bertemu Bram di mal? Bukankah Bram bekerja di Jakarta? Sandra berbalik. Bram tersenyum bahagia mengacak poni Sandra. “Ah, kau masih saja punya poni seperti dulu. Bagaimana kabarmu? Masih ingat aku?” “Baik.” Hanya itu yang bisa keluar dari suara parau Sandra. Bagaimana bisa Sandra lupa pada tetangga sebelah yang sering mengantarnya ke sekolah karena arah mereka sejalan? Jika Ibu kerepotan menjaga adik kembarnya, Ibu selalu menitipkan Sandra pada Bram, dan dengan ramah Bram selalu menyanggupi permintaan Ibu. “Masih ingat aku tidak, sih?” desak Bram, seolah tidak puas. Ingin mengetes daya ingatan gadis itu. Sandra mengangguk, tersipu. “Masih ingat saat ban motorku bocor, dan kita dihukum berdiri di lapangan karena terlambat?” “Masih ingat kamu menangis dan mengad

DUA PURNAMA

Gambar
 DUA PURNAMA Penulis : Lidwina Ro Merasa kenyang setelah makan malam, Aedes mengambil tempat yang paling dia sukai, yaitu duduk santai menghadap rembulan. Malam ini begitu syahdu. Aedes bahagia.  Apalagi jika selalu ada tambatan hati mendampinginya. Di depan jendela kamar, Aedes menatap mesra Gypty. “Duduklah di dekatku sini, Gypti, kita bersantai. Lihat bulannya bulat sempurna.” Gypty tersenyum setuju. Tampak cantik dengan balutan hitam dengan nuansa belang putih.  Mereka menatap ke langit, pada purnama yang bersinar. Masih belum enam puluh hari. Masih ada banyak waktu untuk bersama Aedes. Selagi ada waktu, Gypti hanya ingin berada di dekat Aedes. Bersandar pada Aedes. Sesekali memeluknya hangat, dan mencurahkan isi hati. “Apa kau masih menyukaiku meskipun badanku segemuk ini?” tanya Gypti manja. “Aku selalu mencintaimu apa adanya, Cantik. Sekarang, dan selamanya. Bulan purnama saksinya.” Hati Gypti melambung setinggi langit. Aedes memang yang terbaik. Dia tidak salah memilihnya. Bukt

SEHIDUP SEMATI

Gambar
 SEHIDUP SEMATI Penulis : Lidwina Ro Rumah Bintang sepi. Pintu gerbang memang terbuka, tetapi seperti tidak ada orang di rumah. Sambil menggenggam erat rantang yang berisi bubur ayam, Sandra mencoba mengintip ke dalam jendela kaca. Ah, gelap. Sandra mulai mengetuk pintu, memanggil nama Bintang. Tidak ada jawaban. Heh, ke mana Bintang? Katanya sakit, minta dibelikan bubur ayam, kok, tidak ada di rumah? Beli obat kah dia? Malas pulang ke rumah, Sandra memutuskan untuk duduk menunggu di teras. Rumah Bintang sangat teduh. Banyak bunga dan tanaman perdu yang cantik. Nyaman sekali. Tiba-tiba dia mendengar sapa dari bagian samping rumah. Seorang wanita muda tersenyum lembut. Berpakaian sederhana, dengan rambut digelung satu. Buru-buru Sandra berdiri. “Temannya Bintang?” “I-iya Tante.” “Kamu cantik sekali. Sudah lama kenal dengan Bintang?” Sandra tersipu, mengangguk. “Bintang anak yang baik. Tolong jagakan dia untukku, ya?” Eh, mengapa harus menjaga lelaki berantakan itu? Sandra keheranan.

LOLIPOP

Gambar
LOLIPOP Penulis : Lidwina Ro Ombak bergulung membawa seorang gadis mendekat ke bibir pantai. Di antara buihnya yang putih, gadis itu tersenyum menatap rindu pada sosok yang sedang duduk di hamparan pasir putih. Menatap kosong birunya laut. “Sudah lama tidak bertemu. Apa kabarmu hari ini, Ganteng?” Lelaki jangkung itu tidak menjawab, masih menatap jauh ke depan. Lekat pada satu peristiwa. Ingin gadis dalam buih ombak memeluk lelaki itu. Ada kerinduan membuncah, menyeruak dalam dada melihat lelaki yang sudah semakin dewasa itu.  Apakah lelaki itu sering memikirkannya? Sering merindukannya? Apakah masih ingat dengan permen kesukaan mereka?  Sepertinya tidak. Bukan permen yang kini ada di celah bibir lelaki ganteng itu. Tetapi sebatang rokok! Ah, tidak adakah yang memberi tahu kesayangannya betapa jahatnya rokok? Sementara si gadis menatap khawatir, tiba-tiba datang gadis berbaju biru mendekati kesayangannya. Wah, siapa dia gadis yang terlihat bete itu? “Bintang! Ayo pulang.” “Sudah selesa

SELINGKUH

Gambar
 SELINGKUH Penulis : Lidwina Ro Berbagai dan cara  sudah dilakukan Sandra. Misalnya mulai belajar mengisi perut pada jam dua belas  siang. Dia sampai rela ke sekolah dengan perut kosong. Yang ada malah dia tidak bisa berkonsentrasi penuh dengan semua mata pelajaran. Amel teman sebangkunya lantas memberi masukan, memulai aktivitas harus dengan sarapan pagi yang penuh protein. Misalnya awali sarapan dengan dua butir telur rebus dan segelas teh hijau hangat. Lumayan bisa menahan lapar, tetapi kini wajah Sandra mulai dihiasi beberapa jerawat. Ah, enggak oke banget, deh! Ternyata tubuhnya demo kalau kebanyakan makan telur. Sandra terpaksa berganti cara. Minum jus buah sebagai ganti sarapan. Cukup mengganjal perut juga, sih. Dua gelas besar jus nanas, timun dan dua sendok madu, sebagai ganti sarapan sehat. Tapi entah kenapa, di sekolah Sandra jadi sering buang air kecil. Tidak nyaman banget pokoknya. Jam istirahat berbunyi.  “Makan mi ayam ke kantin, yuk, San,” ajak Sindi. “Duluan saja ke ka

WAKTU YANG SALAH

Gambar
  WAKTU YANG SALAH Penulis : Lidwina Ro  (Song by : Fiersa Besari) *Jangan tanyakan perasaanku, jika kau pun tak bisa beralih *Dari masa lalu yang menghantuimu, karena sungguh ini tidak adil *Bukan maksudku menyakitimu, namun tak mudah ‘tuk melupakan *Cerita panjang yang pernah aku lalui, tolong yakinkan saja raguku Lagu dari Fiersa tersebut adalah salah satu lagu yang memang sanggup mengharu biru hati. Lagi-lagi tentang cerita cinta yang tak pernah usang dan tak pernah habis kemasan luarnya. Pada kenyataannya, terkadang cinta dipertemukan pada saat dua insan tidak dapat bersatu (ngeselin memang) Sesungguhnya cinta itu tidak selalu harus memiliki. Pokoknya selama cinta itu tulus, dua insan itu sebenarnya akan tetap saling memiliki, kok, meskipun tidak bersama. Biarkan saja cinta duduk manis di dalam jiwa, meskipun raga tidak bersama. Karena sejatinya cinta abadi tidak berada dalam raga, melainkan di dalam jiwa. Tidak ada yang salah dengan perasaan cinta itu sendiri. Hanya terkadang (ka

Mulutmu Harimaumu

Gambar
 MULUTMU HARIMAUMU Penulis : Lidwina Ro Sudah lama Edi naksir Romi. Berbagai cara dilakukannya untuk mendapatkan perhatian Romi. Maklum, Romi sangat jelita dan lembut. Semua murid lelaki satu sekolahan pasti menyukai siswi pindahan dari Solo itu. Mujurlah, Edi tidak bertepuk sebelah tangan. Buktinya, ketika Edi berniat mengajak menonton, Romi mengangguk malu-malu dan memberikan alamat rumahnya.  Hanya Edi tidak menyangka, ternyata Romi anak orang tajir. Rumahnya besar lagi bagus. Nyali Edi mendadak menciut seperti kerupuk dalam semangkok seblak.  Maka setelah memompa semangatnya sendiri, Edi  menekan bel di sisi dinding gerbang. Seorang pria botak paruh baya muncul dari balik pintu gerbang. Menatap Edi penuh selidik. Kaus oblongnya dekil, setengah basah bercampur busa sabun. Tangannya bahkan memegang selang yang masih mengucurkan air. Hm, hebat juga Romi punya sopir pribadi. “Mencari siapa, ya, Mas?” “Romi ada, Mang?” “Mas ini?” “Bilang saja  Edi pacarnya sudah datang, ya, Mang.” Pria

TENGAH MALAM

Gambar
 TENGAH MALAM Penulis : Lidwina Ro Karena kebelet pipis, Sandra terbangun. Dia meraba saku jaketnya mencari ponsel. Hampir tengah malam. Semua temannya tidur kelelahan, dia tidak sampai hati membangunkan salah satu dari mereka untuk mengantarkannya pipis. Sejak sore tadi, Sandra sudah merasa tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang mengawasinya. Entah apa. Tempat perkemahan ini memang dekat dengan hutan kecil. Sering terdengar suara asing dari arah hutan yang meremangkan bulu kuduk. Tetapi Sandra sudah tidak tahan lagi. Pokoknya dia harus pipis. Sekarang! Dingin angin malam menyerbu saat Sandra nekat keluar kemah. Matanya langsung tertuju pada api unggun. Eh! Masih ada yang bangun rupanya! Bergegas Sandra menghampiri gadis berambut panjang yang berdiang di depan api unggun. “Belum tidur?” sapa Sandra. Gadis itu menoleh, tersenyum samar. Sandra tidak mengenalinya, pasti dari kelas sebelah. “Aku Sandra. Aku kebelet pipis. Maukah kau menemaniku ke toilet?” Gadis itu menatap datar, dan berdi

NEKAT

Gambar
 NEKAT Penulis : Lidwina Ro “Apa pendapatmu tentang Sandra?” Bintang mengulum senyum. Tidak mudah memang menjelaskan pada Airin tentang apa dan siapa yang sudah lama mengganggu pikirannya.  “Gunung berapi.” Sontak Bintang mengaduh sambil memaki karena sebuah pukulan mendarat di kepalanya.  “Sakit! Kenapa kau memukulku, Rin?” “Kalau dia gunung berapi harusnya kau menjauhinya. Bukan malah diam-diam mengawasi segala tingkah lakunya.” Airin melengos dan pergi. Tawa Bintang meledak. Telat obatkah Airin? Atau sedang PMS? Ah, wanita selamanya memang sulit dimengerti. Tidak menjawab marah, menjawab  tambah marah.  Lelaki memang serba salah. Sandra memang seperti gunung berapi. Dari luar terlihat dingin dan angker. Sunyi. Jarang bicara. Tersenyum sulit. Apalagi tertawa. Mana ada lelaki yang mau mendekatinya? Kecuali Bram, kekasihnya. Semula Bintang juga nyaris memandang sebelah mata. Sampai suatu hari, Bintang tidak sengaja melihat Sandra membagi-bagi cokelat Beng-Beng pada anak-anak jalanan di

SERANAH

Gambar
 SERANAH Penulis: lidwina_ro Sebenarnya malas aku datang ke reuni sekolah. Bukan ke reuni sekolah saja, sih. Sebenarnya aku malas ke mana saja. Rumah adalah tempat ternyaman di dunia. Setidaknya tembok yang mengelilingi rumahku tidak pernah ribut mengusikku. “Apa kabar, Sandra?” Nah, kan? Akhirnya hal yang tidak aku harapkan tiba juga. Jantungku berdetak lebih cepat mendengar suaranya. Mau bagaimanapun, lelaki itu dulu pernah lama mengisi hatiku. Jangan mengira menghapus mantan semudah membalik gorengan bakwan di wajan, dan bukankah mantan berarti : manis di ingatan? Ah, konyolnya. Ayo, segera kembali ke alam nyata! Suara di sudut hati dengan sigap menuntut. Susah payah aku menelan saliva. Lalu kucoba melempar senyum, semanis senyum Si Manis Jembatan Ancol. Bu set, lelaki ini masih ganteng juga. Hanya sedikit kurus. Tapi apa aku harus peduli? Enggaklah. Masa bodo! Dion duduk di sebelahku. Wangi parfumnya masih sama. Aroma maskulin yang selalu membuatku nyaman. Astaga, Sandra! Suara h