DUA WARSA (2)
DUA WARSA (2)
Penulis : Lidwina Ro
Benar saja. Perempuan itu tersenyum. Seketika dadaku bergemuruh. Tak salah lagi. Itu Rina. Perempuan yang berhasil mengacaukan hidupku, sehingga aku harus menerima dengan terpaksa pembatalan pernikahanku. Mau apa dia ada di sini? Belum cukupkah dia menghancurkan aku?
Napasku semakin cepat dan panas saat Rina mulai mendekat. Lebih baik aku segera menghindarinya. Tidak perlu ada komunikasi. Apalagi basa basi. Meskipun beribu-ribu kata maaf di obral keluar dari mulutnya, keadaannya, toh, tetap tidak akan berubah. Pernikahanku tetap gagal. Ibuku yang hanya janda miskin tak kuat menanggung malu karena pembatalan pernikahan sepihak, lambat laun kesehatannya ambruk, dan akhirnya meninggal. Keadaan tidak bisa dibalik seperti semudah membalikkan telapak tangan. Karena ibuku ... tidak mungkin kembali lagi. Bisik-bisik bernada sumbang para tetangga, dan ujaran kasihan tersembunyi mereka, makin membuat tidak normal denyut jantungnya yang sudah lama bermasalah.
“Mun, maafkan aku ....”
Mendengar suaranya yang jauh dan lirih, entah mengapa kakiku seperti membeku. Seolah ada pemberat yang mengganduli dan melilit kakiku.
Aku menoleh, menatap tidak senang pada rengeknya yang terasa dingin di telingaku.
“Aku bersalah padamu, Mun. Selama ini hidupku tidak tenang sebelum kau memaafkanku. Tolong maafkan aku, Mun. Hanya kau satu-satunya sahabatku. Tetapi aku malah mengkhianatimu. Aku sangat bodoh.”
Suara Rina begitu memohon. Tetapi hatiku bersikeras untuk tidak menanggapinya. Kedua mata sedih Rina menatap hampa, begitu kosong dan beku, tidak membuatku jatuh kasihan. Aku bertekad pergi secepatnya dari sini. Maka aku meneruskan langkah untuk meninggalkan pemakaman, tak berusaha menoleh lagi.
“Mun .... Mun, aku mohon, maafkan aku agar aku tenang.”
Tergesa-gesa aku meninggalkan Rina. Berusaha melangkah cepat menuju gerbang makam. Bertepatan dengan itu, sebuah iring-iringan banyak orang membawa keranda muncul dari ujung jalan. Wah, kok, jadi begini? Aku pun melipir berjalan ke pinggir, berteduh di antara pepohonan, mencoba untuk tidak terlalu dekat dengan orang-orang itu. Sebisa mungkin tidak dikenali oleh siapa pun.
“Mun? Munawaroh?”
Aku menoleh sedikit. Kaget saat melihat Pak Wardi, tetangga sebelah rumah ibuku menyapaku. Lelaki tua itu lantas memisahkan diri dari iring-iringan.
“Sudah lama kamu tidak pulang.”
“Inggih, Pak. Saya kerja pindah-pindah, belum dapat cuti.”
“Ziarah ke makam ibumu, ya?”
Aku mengangguk. “Siapa yang meninggal, Pak?”
“Rina.”
“Ri ... si-siapa, Pak?” tanyaku kaget seperti tersengat listrik bertegangan tinggi.
Pak Wardi menghela napas berat. Lalu menatapku lama penuh iba.
“Rina, temanmu.”
“Ta-tapi, Pak ... a-aku tadi baru saja ....” Tidak tahu harus berkata apa, aku segera membekap mulutku. Tangisku pun pecah, tak dapat aku tahan lagi.
“Sejak pernikahanmu batal, Faisal pacarmu menikahi Rina, temanmu yang telanjur hamil itu. Tetapi pernikahan mereka tidak berjalan mulus, Mun. Apalagi sejak Rina keguguran. Sejak itu Faisal sering tidak pulang. Rina menjadi depresi, tidak mau makan, dan menjadi sakit-sakitan. Akhirnya meninggal karena asam lambung parah.”
“Mun?” Pak Wardi menggoyang-goyangkan telapak tangannya persis di depan mataku yang terbelalak lebar.
“Kamu enggak apa-apa? Mampirlah ke rumah, Bu Wardi ada, kok, di rumah. Istirahat di sana dulu. Bapak lanjut kirim doa buat Rina almarhum, dulu, ya.”
Hanya sebuah anggukan samar yang bisa aku lakukan. Pikiranku terbang jauh tak dapat aku tangkap dan cerna. Mungkin kah selama ini Rina hidup penuh penyesalan setelah berhasil menikungku dari belakang?
Benarkah dalam dua warsa terakhir ini, hidup kita ternyata sama? Sama-sama dihancurkan oleh Faisal? Atau sama-sama dihancurkan oleh takdir yang pahit?
Ah, Rin. Ternyata kau tadi hanya ingin mengucapkan salam perpisahan. Tenang dan damailah di sana, Rin. Aku sudah memaafkanmu.
Cikarang, 201122
Komentar
Posting Komentar