AKARA (2)
AKARA (2)
Penulis : Lidwina Ro
“Selama ini aku tidak pernah bohong padamu, kan? Semua yang kukatakan padamu adalah benar. Aku hanya berusaha menolongmu, Dinar.”
Aku mengangguk setuju. “Aku tahu, tapi ....”
Sebelum aku melanjutkan kalimatku, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ibu menatapku dengan dahi berkernyit, menelisik ke dalam mataku dengan sedikit bingung.
“Sudah malam, Dinar. Kau bicara dengan siapa tadi itu?”
“Eh! Enggak, Bu. Anu ... hanya latihan pidato aku ini,” sahutku kaget sekali. Sapu lidiku sampai terjatuh di lantai.
Mata Ibu berkeliling sebentar di seputar kamarku sebelum menutup pintu kembali. Aku tersenyum kecut. Pelan-pelan aku meraih sapu lidiku yang jatuh, lalu melirik ke atas kasurku. Kosong.
***
Sambil memeluk Rara yang terisak-isak, aku menatap ke arah sudut. Sekelebat bayang samar perlahan-lahan semakin jelas tertangkap oleh mataku. Bersandar ke dinding dan bersedekap santai, membalas tatapanku dengan senyum kecil. Aku bisa menangkap makna tatapannya yang jahil itu, yang seolah-olah mengatakan ... tuh, kan? Apa kubilang?
Ah, benar-benar tidak habis pikir, mengapa semua perkataannya tidak ada yang meleset? Rara baru saja bercerita kalau kemarin tak sengaja melihat Ronal bergandengan tangan mesra dengan gadis lain, dan Rata bertekat untuk membatalkan pertunangannya dengan Ronal.
“Mengapa dia kejam padaku, Din?”
Aku menggeleng, hanya mengusap punggung Rara dengan lembut. Mencoba menguatkan hatinya. Kalau saja dulu aku memberanikan diri jujur dan mengatakan semua pada Rara tentang Ronal, mungkin hatinya tidak akan sehancur ini. Setidaknya mungkin Rara bisa mengecek kebenarannya dengan diam-diam, atau sekedar berjaga-jaga. Ah, aku merasa bersalah sekarang, ditambah dengan ingatan tentang kejadian di angkot dulu.
***
Tidak ingin merasa bersalah lagi, siangnya aku mati-matian menahan ibu untuk tidak pergi kondangan bersama tetangga sebelah.
“Ada apa dengan kamu, Dinar? Wong ibu mau kondangan di dekat situ saja, kok, enggak boleh. Nanti sungkan sama Bu Sumiati.”
“Iya, tapi jangan sekarang, Bu.”
“Loh? Kan sekarang Bu Sumiati mantunya. Piye, toh, Din.”
“Bu,” rengekku di antara cemas, bingung cara menjelaskan semua itu.
Ibuku yang sudah berdandan rapi dan wangi, terpaksa aku dudukkan di kursi tamu.
“E-eh, ada apa ini?” tanya ibuku. “Makin hari kamu semakin berbeda, Dinar. Kamu tidak pernah keluar rumah kecuali kuliah. Dan kamu ....”
Kalimat ibu tersendat. Ibu menatapku sendu penuh khawatir.
“Kamu sering ngomong sendirian dalam kamar. Kamu ini sebenarnya kenapa? Kau berbeda sekali sejak sembuh dari sakitmu beberapa bulan yang lalu. Jangan menakuti ibu, Dinar.”
“Aku enggak apa-apa, Bu. Sumpah. Hanya saja aku tidak mau Ibu pergi kondangan.”
“Apa alasannya?”
“Karena aku tahu ada sesuatu yang buruk di sana.”
Komentar
Posting Komentar