Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2023

BASWARA (4)

Gambar
BASWARA Penulis : Lidwina Ro “Baswara mencarimu.” Gundah, kutatap Tante Evi yang tersenyum bijak. Jujur saja, belakangan ini banyak hal terjadi di luar kendaliku, yang membuat jiwa ragaku limbung. Pikiranku yang masih konslet ini seolah-olah masih mencoba merangkai beberapa kabel yang berserakan. Entah di mana. “Tidak apa-apa. Nanti semua akan membaik,” hibur Tante Evi sambil menarikku dalam pelukan, seakan dia tahu keresahanku. “Kau terlalu kuat untuk tumbang sekarang. Lagi pula ada Ibu di sisimu sekarang.” Aku menghidu aroma ketulusan dan kekuatan dalam suara Tante Evi, merakit kembali semangatku yang retak. “Terima kasih ... Ibu.” Bergetar suaraku saat pertama kali memanggilnya ibu.  Pelukan Tante Evi sontak membeku, kemudian perlahan pelukannya mengerat. Aku bisa merasakan bahuku hangat dan basah. “Mengapa dulu Ibu meninggalkan aku?”  Tante Evi mengurai pelukan, menggeleng. “Ibu tidak pernah meninggalkanmu, Yovi. Dari kau lahir, sampai sekarang.” “Tapi ....” “Iya, dulu memang nenek

LANGIT BIRU

Gambar
 LANGIT BIRU Penulis : Lidwina Ro “Kau harus lekas menikahi Ranti. Anak pak Jayadi.” Hening. Tak ada sahutan dari Mas Dika. Semenit, dua menit, telingaku yang menempel lekat di balik pintu, menguping dengan hati yang riuh. Apa kira-kira jawaban Dika untuk ibunya? Apakah lelaki itu akan menyerah dengan keinginan ibunya? “Mau sampai kapan ibu menunggu? Ibumu ini sudah terlalu tua, Dika. Kamu anak ibu satu-satunya. Berilah kebahagiaan sedikit untuk orang yang sudah renta dan sakit-sakitan ini.” Masih hening. Dika tak merespons. Aku yakin lelaki itu pasti menghisap rokok seperti biasa, sambil menatap datar ke sembarang arah. Selain ibunya. “Apa coba kekurangan Ranti? Dia sangat baik, lembut, tak banyak tingkah, dan perhatian denganmu. Dari dulu.” Aku menghela napas. Ingatanku melayang pada Ranti, sahabatku semasa kuliah. Ranti juga adalah tetangga kami. Mas Dika, aku dan Ranti, sama-sama satu perumahan, hanya berbeda blok saja. Gadis itu memang baik. Terlalu baik malah. Mana ada gadis seb

BASWARA (3)

Gambar
  BASWARA (3) Penulis : Lidwina Ro Mata Tante Evi membelalak kaget saat mobil memasuki gerbang rumah. Tangannya sedikit bergetar menunjuk-nunjuk ke depan, dan mulutnya melongo keheranan. Sementara ayahku hanya menahan geli.  “Ada apa ini? Mengapa rumah ramai sekali?” Panik Tante Evi melihat banyak orang di teras rumah. Dia menatapku dan Ayah bergantian. Ayah menghentikan mobil di halaman rumah. Kami bertiga memang baru saja dari restoran, merayakan ulang tahun Tante Evi. Aku pun tak kalah bingung dengan suasana rumahku. Kulihat Mbok Mimin sibuk menyajikan kue-kue dan minuman. Ada musik. Hiasan bunga hidup. Banyak orang.  Ada apa ini? “Surprise! Tapi kalian berdua jangan khawatir. Ayah hanya mengundang keluarga dekat saja. Ini pesta perayaan syukur keluarga kita. Ayah bahagia karena memiliki kalian berdua yang sehat, yang masih diizinkan-Nya untuk menemani Ayah.”  Ayah merangkulku dan Tante Evi dengan mata berbinar-binar. Aku dan Tante Evi saling berpandangan dengan perasaan haru bercam

BASWARA (2)

Gambar
BASWARA (2) Penulis : Lidwina Ro  “Ada apa ini? Mengapa rumah jadi ramai seperti ini, Yovi?” tanya Tante Evi bingung, menatap teras rumah yang banyak orang, lalu menatapku bergantian dengan Ayah. Mobil kami berhenti di halaman rumah. Kami bertiga memang baru saja dari Mal, merayakan ulang tahun Tante Evi dengan makan dan menonton film. Aku pun tak kalah bingung dengan suasana sore ini. Terdengar ada musik lembut. Mbok Mimin yang sibuk menyajikan kue-kue dan minuman. Banyak pot dan hiasan bunga indah. Ada apa ini? “Kalian berdua jangan khawatir. Ayah hanya mengundang keluarga dekat saja. Ini perayaan syukur keluarga kita. Ayah bahagia dan bersyukur karena memiliki kalian berdua yang sehat, yang masih diizinkan-Nya untuk menemani Ayah,” sahut Ayah sambil tersenyum. Aku dan Tante Evi saling berpandangan dengan perasaan campur aduk, terharu. Ah, dasar perempuan, sedikit-sedikit pasti mewek! Baru saja aku mengusap ujung mataku yang basah, saat jendela mobil sampingku diketuk. Ganti aku yang

KENCAN (2)

Gambar
KENCAN (2) Penulis : Lidwina Ro  Hujan sudah reda, menyisakan aroma petrikor dan udara yang lembab dan menenangkan. Tapi entah mengapa, kali ini aku penasaran tidak menemukan alamat Arini yang sudah dia share kemarin. Sudah lima kali aku bolak balik menyusuri jalan ini, akan tetapi selalu berakhir di ujung pertigaan jalan yang merupakan tanah kosong. Sialnya, Arini tidak bisa aku hubungi lagi, sejak percakapan siang di hujan deras tadi. Mengapa, ya, tiba-tiba ponsel Arini tidak aktif? Sebenarnya ke mana dia? Aku menghela napas. Setelah memarkir sepeda motor di depan tanah kosong, aku mencoba membaca nomor rumah Arini sekali lagi. Lalu menatap tajam tanah kosong yang tampak terlihat lama tak dijamah manusia lagi. Banyak ditumbuhi ilalang, tak terawat, kotor dan .... “Mas!” Aku menoleh kaget. Seorang wanita paruh baya tampak keluar dari rumah, persis di sebelah tanah kosong itu. Aku segera mengangguk sopan. “Masnya mencari siapa, ya?” “Eh, anu, Bu. Mohon maaf, saya sedang mencari alamat

KENCAN

Gambar
 KENCAN Penulis : Lidwina Ro  “Halo? Halo, Mas Galih, ya?”  Suara manja menyapa dengan lembut saat aku mengangkat ponsel. Suara yang sudah familier di telingaku itu langsung memecah kantuk. Ibarat lampu neon lima Watt, kini mataku berubah terang benderang, seterang neon seratus Watt. Aku pun segera duduk di pinggir kasur. “Hai, Arini!” sahutku agak keras, sambil tersenyum-senyum bahagia sendiri. Maklum, di luar deras, takut kalau gadis itu tidak bisa mendengar suaraku, karena kalah oleh suara derasnya hujan yang mengamuk siang ini. Entah mengapa, jaringan telepon Arini bisa menerobos masuk di cuaca yang buruk. Ada tawa kecil di ujung sana. Sedikit genit. Tawa yang spontan membuyarkan niat tidur siangku. Hebat juga Arini bisa-bisanya dia meneleponku di hujan deras. Karena biasanya sinyal ponsel akan ngadat mendadak di cuaca buruk seperti sekarang ini. “Lagi ngapain? Tumben menelepon. Sudah kangen padaku, Rin?” godaku nakal. Arini tertawa cekikikan. “Cuma mau mengingatkan saja, sih, apa

RENCANA

Gambar
  RENCANA Penulis : Lidwina Ro  Ketika aku sudah cukup umur, akhirnya Suster Sisil bercerita, dulu aku ditemukannya di depan pintu gerbang panti asuhan. Sedih? Pasti. Kecewa? Tentu saja. Siapa yang tidak sedih dan kecewa ketika mengetahui bahwa kehadirannya tidak diinginkan? Ya, aku adalah anak yang dibuang. Tetapi Suster Sisil selalu punya pandangan lain. Dengan santai dia memeluk bahuku sambil tersenyum, dan mengatakan kalau Tuhan memang jagonya membuat skenario. Bukan skenario kacangan. Tetapi skenario hebat yang sudah pasti diukur dengan jitu. Tuhan itu ibarat guru, yang tidak salah membagi soal ujian pada murid-murid. Kata Suster Sisil, tidak mungkin kalau Tuhan membagi soal ujian murid SMA pada murid SD. Semua soal ujian dibagikan sesuai dengan takaran pelajaran dan kelas masing-masing murid. Jadi kerjakan saja dengan tenang, dan jawab soal-soalnya di kertas ujian tanpa banyak tanya. Begitu sederhana, bukan? “Kalau ada soal yang tak bisa aku jawab bagaimana, Suster?” tanyaku pena

BATAS WAKTU (2)

Gambar
  BATAS WAKTU (2) Penulis : Lidwina Ro  “Selamat malam Pak Danar,” sapa salah seorang karyawan kafe, saat melihatku menghampiri dan berbicara pelan pada Yosefin. Aku mengangguk, membalas salam. “Duluan, ya!” Yosefin mengikutiku dari belakang tanpa suara. Aku tahu, dia terpaksa. Gadis itu lalu melambai kecil pada teman-teman  kerjanya. Kudengar beberapa ada yang berdehem menggoda, sisanya menatap dengan rasa ingin tahu yang besar. Dengan halus, Yosefin duduk manis di kursi depan, tepat di sebelahku. Seperti biasa, gesturnya kaku seperti patung, dan menjaga jarak. Masih tanpa sapa, tangan Yosefin mendekap erat tas dalam pangkuannya. Sementara kedua matanya menatap lurus arah jalanan dengan sedikit tegang. Jelas kelihatan sekali, kalau enggan menoleh ke arahku. “Kau kelihatan agak kurus.” ujarku memecah kesunyian, sambil memundurkan mobil. Pak Suryo memberi aba-aba dengan cekatan, la “Apa?” Yosefin menoleh kaget, menatapku seperti melihat orang aneh. “Apa kau makan dengan benar?” tanyaku

BATAS WAKTU

Gambar
 BATAS WAKTU Penulis : Lidwina Ro  Tidak banyak yang berubah di kafe itu. Masih berupa bangunan berukuran sedang, dengan cat abu-abu muda diselingi garis merah terang di tepinya. Sebuah kafe biasa yang tak mencolok. Tempat parkir yang lumayan luas, dengan taman kecil dan air mancur kecil dekat pintu masuk. Jenis musiknya pun terdengar masih memilih seputar lagu-lagu barat ringan yang sedang populer.  Aku menajamkan mata, mencoba menelisik ke dalam kafe lewat kaca besar samping pintu masuk, dari dalam mobilku yang terparkir di depan halaman kafe. Kursi-kursi besi, dan sebagian lagi sofa yang empuk di sudut ruang hampir tidak berubah tata letaknya. Bahkan asbaknya yang unik terbuat dari ukiran kayu terlihat masih sama. Oh, rupanya ada yang baru, yaitu beberapa tanaman perdu berwarna hijau kuning, juga tanaman sejenis palem, diletakkan di tiap sudut ruang, menambah nyaman hati pengunjung yang menatapnya. Sementara dua pramusaji lalu lalang meletakkan menu di setiap meja tamu yang datang. 

AINI

Gambar
 AINI Penulis : Lidwina Ro “Bangun, Aini, aku di sini.” Aku menatap sendu pada gadis koma, yang tergolek lemah dengan harapan-harapan baik yang tak pernah putus. Entah sudah berapa kali aku berbisik di telinga gadis itu, tapi sia-sia. Mata Aini tetap tertutup. Tidak ada respons yang berarti, setelah tiga hari berlalu. Aini seperti sedang tertidur panjang, dan tidak mau diganggu. Tangis cemas seluruh keluarganya, seperti tak dianggap, seakan angin lalu yang datang dan pergi begitu saja. Sumpek benar dadaku melihat keadaan Aini yang mencoba mengakhiri hidupnya dengan meminum obat tidur berlebihan. Aku baru saja hendak keluar meninggalkan kamar pasien yang di dominasi dengan warna hangat krem muda itu, saat aku mendengar Aini merintih. Segera aku membalikkan badan. Sambil menggumam tidak jelas, tangan Aini menggapai di udara. Seolah mencari pegangan. Ah! Akhirnya! Akhirnya Aini mulai sadar juga dari koma. “Jangan ... jangan tinggalkan aku. Aku mohon ....” Aku tertegun mendengar gumaman

BASWARA

Gambar
 BASWARA Penulis : Lidwina Ro  Satu jam lebih sudah aku menunggu di kampus, tetapi mengapa jemputanku belum datang juga? Resah aku meneruskan bacaanku, sekedar untuk membunuh rasa bosan. “Maaf, apa kamu Yovi?” Aku mengangkat wajah dari novel yang kubaca. Aku mengernyit heran pada lelaki asing yang berdiri dengan raut penuh salah itu. Wah, bagaimana lelaki itu bisa tahu namaku? “Siapa kau?” tanyaku waspada. Senyum lega yang mencetak dua lesung pipi, segera menarik perhatianku. Hm, tampan juga. “Baswara. Maaf kalau kau menungguku terlalu lama. Tadi sangat macet,” sahutnya seraya meraih kruk yang tergeletak di sisiku. “Mari,” sambungnya sopan sambil meraih tanganku untuk bangun dari tangga kampus. “Eh! Apa yang kamu lakukan?” Aku menatap tajam pada lelaki yang sudah bersiap membantuku berdiri itu. “Mengantarmu pulang.” “Ta-tapi siapa kau?” “Aku Baswara.” Baswara. Baswara. Tapi siapa Baswara? Mengapa aku tidak pernah melihat dia sebelumnya? “Apa kau sopir baru ayahku?” Lelaki itu men

AYUNAN (2)

Gambar
  AYUNAN (2)  Penulis : Lidwina Ro "Siapa kau? Aku tidak mengenalmu.” “Namaku Sasha. Aku anak Bu Sarah. Mainlah sebentar denganku, aku akan mendorongmu pelan-pelan. Aku janji. Mau?” Sebenarnya Adel ingin menolak, tetapi Sasha menepuk rantai ayunan dengan senyum manis, sudah bersiap untuk mendorong. Adel terpaksa duduk dan berpegangan. Lagi pula ternyata Sasha adalah pemilik rumah ini. Tidak sopan kalau dirinya bersikap kasar. Sasha pun mulai mendorong ayunan. Ayunan bergerak halus, tidak kencang. Pelan-pelan Adel mulai suka, dan menikmatinya. “Bagaimana? Enak, tidak kudorong? Tidak terlalu keras, kan?” tanya Sasha. Adel mengangguk senang. Ternyata Sasha tidak seburuk yang diduganya. Sasha ramah dan baik. “Tapi kenapa kau tidak pernah ikut arisan ibumu?” tanya Adel sambil mengunyah kue bolunya. Sasha tertawa. “Itu karena aku lebih suka main ayunan di rumah.” “Kalau begitu, biar aku nanti gantian yang mendorongmu, Sasha. Mau, kan?” “Kau mau mendorongku? Benarkah?” Sasha tertawa, te

AYUNAN

Gambar
 AYUNAN Penulis : Lidwina Ro  Ini baru pertama kali Adel ikut arisan ibunya di rumah Bu Sarah. Rumahnya besar dan bagus. Ada taman dengan air mancur. Bahkan di sudut halaman ada perosotan dan ayunan. Tapi semua itu tidak menarik bagi Adel.   “Adel mau pulang, Bu. Ayo pulang, sekarang,” rengek Adel, di suatu sore, sambil meraih lengan ibunya.  Perlahan-lahan genggamannya pada sang ibu semakin kuat. Berkali-kali anak berumur sekitar lima tahunan itu menempelkan wajah ke lengan ibunya, seolah meminta perhatian. Sayang, tidak ada jawaban dari ibunya. Yang ada hanya obrolan seru dan canda riang sekelompok ibu-ibu yang sedang menggelar acara arisan. Maklum, ibu-ibu itu hanya bertemu sekali sebulan dengan temannya dalam acara arisan, yang tentu saja lebih banyak bergosipnya dari pada mengocok arisan. Jadi mana bisa diganggu? Mustahil! “Bu? Ayo pulang sekarang, Bu!” rengek Adel. Tangannya mulai menarik-narik lengan ibunya. “Kok, pulang? Arisannya saja belum dimulai. Jangan nakal, begitu, ah! M

INTROVERT (2)

Gambar
INTROVERT (2) Penulis : Lidwina Ro  Kelihatannya sangat tidak oke, ya? Sepertinya seorang introvert itu menyedihkan. Akan tetapi, walaupun begitu, aku bersyukur karena aku adalah seorang introvert. Karena tidak mahir bicara, akhirnya perilaku seorang introvert cenderung tidak suka mencampuri kehidupan orang lain. Nah, ini kabar baiknya, bukan? Untuk setiap kalimat yang akan keluar dari mulutku, biasanya aku akan berpikir berkali-kali lebih dulu, dan aku pertimbangkan baik buruknya. Apakah kara-kata yang keluar dari mulutku ini dapat melukai perasaan orang tersebut atau tidak, kerap kali menjadi bahan pertimbanganku. Bagaimana? Capek, juga, ya kalau segala sesuatunya selalu dipikirkan dengan detil?  Oh, iya, sebenarnya introvert itu bukan kelainan, kok, apalagi penyakit. Sekali lagi, bukan. Akan tetapi introvert itu adalah bawaan DNA dari sejak lahir. Jadi tidak perlu ragu untuk berteman dengan seorang introvert, ya! Meskipun seorang introvert memang agak memilih-milih teman, akan tetap

INTROVERT

Gambar
INTROVERT Penulis : Lidwina Ro  Being alone is not always lonely. Sendirian itu tidak selalu kesepian. Lebih banyak diam, cuek, dan nyaman betah sendirian, adalah salah satu ciri khas diriku yang seorang introvert. Sedihnya lagi, ternyata banyak orang beranggapan dan berpandangan negatif pada jenis orang introvert seperti aku. Tidak jarang orang-orang berasumsi golongan orang introvert seperti aku adalah orang yang sombong, karena tidak suka berinteraksi, cenderung menarik diri, dan diam-diam memisahkan diri dari keramaian. Karena itulah aku tidak terlalu punya banyak teman. Akan tetapi anehnya, itu bukan masalah besar bagiku. Salah satunya karena aku sendiri berpikir, sudah wajar orang datang dan pergi dalam kehidupan ini. Maka menjadi sendirian tidaklah menyakitkan. Karena tidak suka berinteraksi dengan orang banyak, aku mencari jalan sendiri untuk mendapatkan informasi. Salah satunya banyak-banyak membaca buku. Buku apa saja. Semua genre bacaan aku suka. Apa lagi di era sekarang, sa

KUKUH (8)

Gambar
 KUKUH (8) Penulis : Lidwina Ro  Apa pantas aku menonton berdua dengan Kukuh? Memang aku sudah kelas tiga SMA. Jika bicara waktu, sudah waktuku untuk mengenal sosok laki-laki, seperti gadis-gadis normal lain pada umumnya. Tetapi masalahnya, aku juga baru putus dengan Bima yang tidak jelas itu. Jadi ada rasa malas yang sangat mengganjal untuk memulai hubungan lagi dari awal. Salah satu penyebab aku malas adalah ... seorang gadis berambut pendek sebahu yang sudah akrab dengan Kukuh. Sarah. Ya, kemarin Amel bilang nama gadis itu adalah Sarah. Dia cantik, bertubuh ideal dan dari gestur tubuh, tampak sudah dekat dengan Kukuh. “Bagaimana? Kau keberatan?” Aku tersenyum samar, entah bagaimana mengatakannya. Sepertinya tidak etis jika aku bertanya tentang Sarah. “Apa Bima memintamu balikan?”  Dih! Aku tercengang kaget. Sifat Kukuh tidak berubah. Terlalu berterus terang. Sepertinya itu pertanyaan yang agak lancang. Seharusnya Kukuh bisa menjaga mulutnya. “Kau tidak menerima Bima kembali bukan?”

KUKUH (7)

Gambar
  KUKUH (7) Penulis : Lidwina Ro “Mbak Lis, bangun! Ada temanmu yang nyari di depan, tuh!” Dih, adikku ini memang menyebalkan sekali. Selalu ada saja gangguannya kalau lihat aku molor barang sejenak. Mataku masih berat dan lengket saat Atika menggoyang pelan lenganku. “Jangan buat dia lama menunggu, Mbak. Kasihan. Bisa mewek dia nanti!” Kucoba mengumpulkan nyawa. Enak sekali tidur sepulang sekolah. Aku bahkan belum sempat melepas seragamku. Ulangan matematika di jam pelajaran terakhir tadi begitu menguras energiku. “Suruh Amel masuk ke sini saja, Tika.” Atika terkekeh geli. “Siapa bilang yang nyari Mbak Lis itu adalah Mbak Amel?” “Loh? Bukan Amel? Lalu siapa?” Dengan malas aku menggeliat, lalu menuju lemari baju. Mengambil sembarang baju atasan katun dan celana jeans biru pendek. “Yang kemarin ke sini sama Mbak Amel itu, loh. Mas siapa ya tadi?” Kantukku langsung lenyap. Menguap entah ke mana. Dengan horor mataku melotot penuh pada adikku. Jangan-jangan dia adalah .... Mandiku sangat

KUKUH (6)

Gambar
 KUKUH (6) Penulis : Lidwina Ro “Mau apa lagi kita di sini, Mel?” Amel mengetuk dahiku agak gemas. “Ya ampun, Lis. Ya, tentu saja kita mau makan. Makan! Masak mau berenang?” Dengan sigap Amel meraih menu di atas meja, lalu menuliskan pesanannya. Lalu matanya beralih cepat ke menu minuman. “Ayo, Lis. Kamu mau makan apa? Bakmi gorengnya juga enak di sini. Mau coba?” Aku menghela napas panjang. “Kalau kita mau nonton dan makan, kenapa harus bersama sepupumu? Kita, kan, bisa berangkat sendiri, Mel. Jadi tidak merepotkan.” “Tadi itu Kukuh mampir ke kafe. Lalu lihat aku mau ke rumahmu. Dia menawarkan mengantar. Jelas aku mau lah, Lis.” “Kayak takut diculik saja?” Amel mencebik. “Ah, kamu, Lis. Mumpung dapat tumpangan gratis, dibayari nonton dan makan enak, kok, kamu enggak ngerti-ngerti, sih. Ini kesempatan bagus buat kita berdua, kan?" “Tapi, Mel, aku yang gak enak.” “Sama siapa? Sama Kukuh, maksudmu? Kukuh baik, kok. Dia sering mengajakku jalan-jalan dan makan. Percaya, deh, sama ak

KUKUH (5)

Gambar
 KUKUH (5) Penulis : Lidwina Ro Hampir saja aku akan masuk ke kamar mandi untuk membasuh air mataku, ketika aku mendengar ketukan di pintu depan terdengar samar. Aku tertegun, dan terdiam di tempat. Telingaku berharap, bahwa aku hanya salah dengar. Tapi tidak. Ketukan itu terus saja terdengar. Bahkan makin sedikit keras. Aku menghela napas jemu. Mengapa Bima harus keras kepala seperti itu? Mengapa lelaki itu bersikeras tetap ingin menjelaskan lagi dengan detil siapa gadis waktu di kafe itu. Bukankah aku sudah bilang, semua tak ada gunanya. Lagi pula, aku dan Bima kan hanya berpacaran saja? Tidak lebih. Sah-sah saja, kan, kalau di tengah jalan menemui perbedaan atau ketidakcocokan Mengapa mesti dibahas lagi, sih? Semua, kan, sudah berlalu. Anggap saja sudah selesai. Aku mengusap pipiku yang basah dengan ujung bajuku, lalu bergegas ke depan kembali. Mungkin kah ponsel Bima ketinggalan? Ah, tapi tidak. Di meja tamu tidak ada apa-apa selain vas kaca dan bunga krisan plastik berwarna putih.

KUKUH (4)

Gambar
KUKUH (4) Penulis : Lidwina Ro  Jadi Kukuh adalah sepupumu?”  tanyaku setengah tak percaya, setengah bingung. Amel mengangguk sambil nyengir kuda. “Kebetulan saja kemarin Kukuh mampir. Dia datang pas aku memperhatikanmu dari balik kaca. Dia ikut-ikutan memperhatikanmu, lalu katanya, dia mengenalmu, Lis.” Aku menyeringai, teringat kembali saat Kukuh membantuku mengambil mangga di rumah Kakek. Dunia sempit sekali, ya! “Aku kaget, ternyata kalian sudah saling mengenal. Kukuh cerita tadi malam sama aku. Eh, lalu gimana?” Amel tiba-tiba menatapku serius.  “Gimana apanya?” Aku mengerutkan dahi, tak tahu arah pertanyaan Amel. “Gimana menurutmu setelah kau tahu tingkah Bima?” Aku menghela napas, sambil mengangkat bahu. “Mau gimana lagi? Aku sudah malas, Mel.” “Apa Bima kemarin melihatmu pergi bersama Kukuh? Apa dia melihat kalian berdua?” Aku tertawa tanpa suara, dan mengangguk samar. Mungkin aku terlihat jahat, tetapi aku puas melirik raut wajah Bima, saat melihatku melintas bersama Kukuh mel

KUKUH (3)

Gambar
 KUKUH (3) Penulis : Lidwina Ro  Mataku masih terus mengawasi dari sudut kafe milik Amel dengan hati mulai resah. Desas-desus yang  aku dengar di sekolah, ternyata benar adanya. Ternyata Amel tidak bohong. Amel berkata jujur, bahwa ada gadis lain yang sering ditemui Kris di kafenya di setiap hari Jumat di malam hari, sekitar pukul tujuh. Mengapa Bima tidak pernah bercerita tentang gadis cantik berambut sebahu itu padaku? Begitu spesialkah gadis itu dibanding aku? Siapa sebenarnya gadis itu?  “Halo, Alisa. Tak kusangka kita bertemu lagi.” Aku membelalakkan mata tak percaya. Berkali-kali aku mengerjapkan mata, tetapi sosok jangkung itu masih tegak di hadapanku. Berdiri dengan senyum tengil. Hei! Mengapa lelaki itu ada di sini? Di kafe Amel sahabatnya? “Masih ingat aku, kan? Halo? Alisa? Kenapa malah bengong?”  Aku sedikit tersentak kaget, lalu buru-buru tersenyum sumbang menyadari sikapku yang terlihat bodoh. Kukuh. Ya, tentu aku masih ingat lelaki tengil tetangga sebelah rumah kakekku d

KUKUH (2)

Gambar
KUKUH (2) Penulis : Lidwina Ro “Antarkan puding mangga ini ke tetangga sebelah, Lis,” ujar ibu sambil menyodorkan sebuah box plastik persegi panjang bening transparan. “Tetangga sebelah?” Alisku mengernyit. Aku berdiri menghampiri Ibu, meninggalkan acara berita seru televisi yang menyajikan berbagai taktik dan manuver banyak partai dalam perebutan kursi kepresidenan. “Iya, tetangga sebelah kanan persis rumah Kakek. Itu rumah Bu Hadi. Kau pasti sudah tahu Bu Hadi, kan?” Sebelah kanan? Eh, bukankah sebelah kanan itu rumahnya .... Di kepalaku langsung terbayang lelaki tengil yang beberapa hari yang lalu membantuku mengambilkan mangga. Dengan setengah hati aku mengambil pusing mangga dari tangan Ibu. Mau menolak tidak enak. Ada Kakek yang sedang bersantai menonton televisi di dekatku. Ah, Ibu, ada-ada saja.  ** Rumah Bu Hadi tampak sepi. Terasnya asri lagi sejuk, penuh dengan pot-pot tanaman perdu berdaun semu hijau, kuning, dan oranye. Beberapa anggrek bermekaran, berwarna ungu, kemerahan

SEBUAH RAHASIA (2)

Gambar
SEBUAH RAHASIA (2) Penulis : Lidwina Ro  “Sudah kubilang, aku bisa membaca pikiran orang, saat bersentuhan dengan orangnya.” Mbok Mimin hanya melongo bingung. “I-iya Non, Bu Evi sebenarnya istri pertama ayahmu,” bisiknya lirih. Jelas sudah bagiku, mengapa aku bernama Yovi, singkatan Naryo dan Evi. Perasaan menyesal diam-diam menyelinap dalam hatiku, karena selama ini aku memandang sebelah mata pada Tante Evi. Masih adakah kesempatan untuk memperbaiki segalanya? “Yovi? Apa kabarmu, Sayang?” Seorang wanita muncul, menyapa di ujung pintu kamarku.  Dia adalah sekretaris ayahku,  Tante Yuli. Salah satu orang yang memberikan bahu dan pelukan hangat, saat aku terpuruk kehilangan ibuku. Tante Yuli mendekat, memelukku sebentar. Sontak telingaku berdenging. Seperti kemarin-kemarin, sebuah layar transparan tak kasatmata menampilkan kilasan episode demi episode. Mataku membelalak tak percaya menatap kilasan layarnya. Ini mustahil!  Napasku tersengal-sengal menahan marah. Tak kuat lagi melihat laya

SEBUAH RAHASIA

Gambar
SEBUAH RAHASIA Penulis : Lidwina Ro  Ada apa ini? Apa sebenarnya yang terjadi dengan otakku kali ini? Dengan gemas aku menjambak pelan rambutku sendiri. Lalu aku menutup mata, mencoba menghalau penglihatan yang tiba-tiba muncul lagi. Sayang sekali, di depan mataku, layar lebar tak kasatmata itu tetap menayangkan potongan-potongan peristiwa tentang kegiatan sehari-hari, dan pikiran polos Mbok Mimin, pembantu setiaku.  Tiba-tiba menyelinap satu ide di kepalaku. “Mbok.” Aku menarik lengan Mbok Mimin untuk lebih mendekat padaku. Mbok Mimin pun merapat ke tempat tidurku, di mana aku berbaring. “Ya, Non?” “Siapa sebenarnya Tante Evi, Mbok?” tanyaku hati-hati pada pembantu tua yang sudah lama ikut keluargaku, sejak aku masih bayi. Aku percaya Mbok Mimin tidak akan membohongiku. Mbok Mimin yang sedang mengantar nampan sarapanku, terperanjat kaget. Sejak selamat dari kecelakaan maut itu, ada suatu perubahan dalam diriku, yang belum kukatakan pada siapa pun. Tidurku tak pernah nyenyak lagi,

DILEMA CINTA 2

Gambar
DILEMA CINTA 2 Penulis : Lidwina Ro  Tepat di depan halaman SD, sekolahku dulu, Surti menghentikan sepeda motor. Aku sampai kaget, dan wajahku hampir menabrak punggungnya. Semua lamunanku pun buyar berantakan. “Ini sudah hampir sore, Yu. Mengapa dari tadi kita berputar-putar tak jelas? Apa sebenarnya yang kau risaukan? Ayo, bicaralah, aku siap mendengarkanmu.”  Aku tersenyum sendu. Surti memang sahabatku, tetapi pantaskah kali ini aku menumpahkan semua risauku pada Surti? Bagaimana jika aku hanya salah paham? Tetapi bagaimana dengan mata kepalaku yang tadi pagi tak sengaja melihat dan mendengar hal yang seharusnya tak kulihat dan tak kudengar? “Sebentar lagi kau akan menikah dengan Mas Zhai. Kau pasti bahagia, kan?”  Aku tersenyum samar, diam-diam menghela napas letih. Tidak ingin gegabah menceritakan sesuatu yang belum pasti, aku pun berubah pikiran, dan segera mengajak Surti mengantarku kembali pulang ke rumah.  Sementara di dalam kamarku yang sunyi, kepalaku gaduh oleh datangnya ber

DILEMA CINTA

Gambar
DILEMA CINTA  Penulis : Lidwina Ro  Sejak SD aku memang sudah menyukai Mas Zhai. Bagiku Mas Zhai adalah pelindung dan penjagaku. Semua itu berawal dari rumah kami yang bersebelahan. Karena hubungan keluargaku dan keluarganya erat, maka ibuku tak sungkan lagi meminta tolong pada Mas Zhai untuk sekalian memboncengkanku dengan sepeda ontelnya, dengan alasan kami satu sekolahan. Mas Zhai juga tidak pernah menolak permintaan ibuku. Dengan senang hati, dia selalu memboncengkan aku. Dia sangat menyayangiku, dan menganggap aku sebagai adiknya. Aku pun menganggapnya sebagai kakak lelaki yang tidak pernah aku miliki.  Seiring berjalannya waktu, aku diam-diam mulai mengagumi Mas Zhai. Walaupun usia kami terpaut lima tahun, akan tetapi aku tidak bisa melenyapkan perasaan suka yang amat dalam ini.  Cinta sunyi ini hanya bisa aku pendam dalam hati, karena Mas Zhai hanya menganggap aku sebagai adiknya saja, walaupun aku sudah bukan kanak-kanak lagi. Hatiku semakin perih menjadi-jadi ketika aku tahu,