RAHASIA HATI (3)


 RAHASIA HATI (3)

Penulis : Lidwina Ro 


Suara Wulan yang bergetar, membuat dadaku juga ikut bergetar saat menangkap ada luka dalam mata dan suaranya. Wulan masih terlihat cantik, tidak berubah setelah enam tahun berlalu. Sesak rasanya melihat wanita yang aku cintai terlepas begitu saja dari rengkuhanku. Apa dayaku, dulu tak berkasta, ditambah embel-embel anak haram pula. Entah mengapa ibuku tidak pernah mau bercerita tentang masa lalunya, dan siapa sebenarnya bapakku. Semua itu menambah lengkap deretan daftar hitamku, sampai akhirnya aku hanya bisa mematung dan membisu ketika Wulan dinikahkan dengan orang lain.

Luka dan kecewa itulah yang membuatku nekat ingin meninggalkan Ibu dan Mbah Uti untuk meredam marahku yang entah harus kutujukan pada siapa. Mencoba mencari pekerjaan di kota, sambil mencari jejak bapak, -lelaki sejarah Ibu di masa lalu- yang berhasil menghamili ibuku, dengan berbekal alamat, yang entah dari mana Mbah Uti mendapatkannya. 

Entah suatu keberuntungan atau kehinaan, aku akhirnya menemukan lelaki itu, yang kemudian aku tahu, sudah mempunyai istri sebelum bertemu dengan ibuku. Lelaki tanpa anak itu, malah menyambutku dengan hangat, memberiku pekerjaan dan posisi penting di perusahaannya. Mungkin lelaki itu menganggapnya sebagai penyilih dosa karena telah menodai ibuku di kala remaja. Atau dia memang merindukan seorang penerus dalam silsilah keluarganya,  aku betul-betul tidak peduli. Tidak mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Yang penting bagiku hanya membuat Ibu dan Mbah Uti bahagia.

  ***

“Ada apa Bos? Mengapa sejak pulang mengunjungi ibumu, kau jadi berubah sering gelisah?” tanya Raisa dengan alis berkerut.

Aku tersentak kaget. Lamunanku pun semua buyar. Tak bergairah kubereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kantor. Menumpuknya di sudut meja. Memang sejak pulang dari desa, setiap hari kepalaku begitu berat mengumpulkan memori yang sudah lama dengan susah payah kusingkirkan.

“Sepertinya aku harus kembali ke rumah ibuku, Sa,” ujarku pelan.

Raisa terbelalak. “Aku tidak mau ikut, Yo. Ibumu sangat baik padaku. Berdosa aku bersandiwara terus di depannya seolah-olah aku pacarmu. Aku ini sudah bersuami. Bisa kualat, tahu!”




Aku terkekeh. Raisa adalah sekretaris andalan di kantorku ini. Dia lucu. Raisa aalah seorang teman baikku semasa sekolah. Raisa juga tahu banyak tentang persoalanku. Dengan seizin suaminya yang aku juga kenal baik, aku meminjam Raisa untuk kujadikan tameng kemarin, agar aku tidak terlihat bodoh di mata warga desaku, karena aku masih menjomlo. 

(Bersambung)


Cikarang, 301122

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU