Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2022

DUA PERSEN

Gambar
 DUA PERSEN Penulis : lidwina_ro Cuma dua puluh tiga ribu rupoah. Kam pret! Kubanting dompet lusuh itu. Ini namanya pelecehan. Harga diriku tercoreng. Bagaimana mungkin usahaku hanya seharga sepiring nasi Padang? Apa tidak ada benda berharga yang lain? Penasaran kupungut dompet itu. Membukanya sekali lagi, dan memang kosong. Kalau hanya untuk melindungi uang yang tak seberapa banyak itu, mengapa wanita kurus tadi mengempit dompetnya dengan primpen? Tiba-tiba sebuah foto berukuran 3x4 terjatuh. Hampir saja aku menendangnya, saat seperti ada sesuatu yang menahan kakiku. Gusar aku meraih fotonya. Foto hitam putih anak laki-laki. Keningku berkerut. Sesomplak-somplaknya otakku, mataku masih awas, dan masih punya dua persen suara hati. Tiba-tiba tubuhku bergetar dan membeku. Liar langkahku bergerilya sekitar pasar. Mencari mangsaku, sosok wanita kurus yang bahkan wajahnya tidak sempat aku lihat tadi. Aku menyisir jalan sempit ratusan lapak, dan hatiku lega luar biasa begitu netraku menyasar

Sandaran Hati

Gambar
 SANDARAN HATI Penulis : lidwina_ro “Bu, ayo makan, aku sudah lapar.” Kulihat ibu masih duduk menghadap ke arah jendela. Matanya entah menatap apa, karena di luar sudah gelap. Mungkin kah kesunyian malam adalah teman terbaik buat menitipkan segala luka? “Bu,” panggilku lagi. Kali ini Ibu menoleh, dan tersenyum. Sebaik dan seceria apa pun senyumnya, Ibu tidak mungkin berhasil menipuku lagi. Senyum terbaik Ibu sudah lenyap seiring dengan mulai seringnya Ayah tidak pulang ke rumah lagi. Aku memang sempat mendengar Ibu dan Ayah bertengkar besar di suatu malam, dulu. Sejak saat itulah wajah ibu tak lagi berseri. Aku bahkan tidak melihat mereka berdua berbicara atau bercanda lagi. Naluriku berbisik, semua ini tidak baik. Kemarin, aku hanya bisa melongo kaget ketika Asri tetanggaku yang juga sebangku denganku di kelas, bertanya pelan sepulang sekolah. “Apa benar Ti, kalau ibumu adalah istri siri Pak Arya?” “Kata siapa, As?”  “Kata ibuku lah.” “Apa itu istri siri, As?” Astri menatapku tak perc

ORANG BAIK

Gambar
 ORANG BAIK Penulis : lidwina_ro Aku melirik seorang anak lelaki sedikit gemuk berumur sekitar sepuluh tahunan, bersandal jepit, yang baru saja masuk ke dalam tenda penjual nasi goreng. Sesaat anak itu celingukan. Rambut dan kausnya setengah basah, terguyur sisa rintik hujan yang memang dari siang awet tak mau berhenti. “Nasi goreng apa mi?” sapa Mang Udin melirik anak itu, sambil tetap sibuk membolak balik nasi goreng pesanan orang dalam wajannya.  Mata anak itu hanya mengerjap. Tidak menjawab, hanya mengambil tempat duduk, persis di sebelahku. Sambil menyeruput teh hangat, aku baru sadar ada yang lain dari anak ini. Matanya sedikit juling, dan mulutnya tidak mengatup rapat sempurna. Netranya gelisah bergerak ke kanan dan ke kiri, entah apa yang dipikirkan anak tunadaksa ini. Tiba-tiba anak itu berdiri. Tetapi Mang Udin dengan sigap menghardik. “Eit, mau ke mana? Tunggu, Tung. Ayo makan nasi gorengnya dulu!” Anak lelaki itu menatap Mang Udin ragu. Segera Mang Udin menghampiri anak itu

RINDU (3)

Gambar
RINDU (3) Penulis : Lidwina Rohani  “Lin-Lintang?” Aku menggigit bibir, seperti merasakan kembali sakitnya puluhan pisau menancap di ulu hatiku ketika ingat bahwa aku telah kehilangan Lintang ... sekali lagi. Aku bahkan belum puas menggenggam tangan mungilnya. Tak kusangka, Lintang semakin bertambah besar dan cantik. Tidak ada sedikit pun ada setitik pun guratan kesakitan pada wajahnya seperti yang terakhir kali dia menarik napas untuk yang terakhir kali. Tapi di sana ... Lintang begitu sempurna. “Ceritakan padaku,” desak Mas Vin lirih. “Jangan memendam semua sendirian, Lira. Apa yang terjadi?” Aku menggeleng samar sedikit putus asa. Tidak tahu harus mulai dari mana mengawali cerita. Semuanya terlalu indah, sekaligus menyakitkan. “A-aku sebenarnya juga tidak sepenuhnya mengerti, Mas. Aku seperti bermimpi bertemu Lintang atau di alam bawah sadarkah aku, aku tidak jelas. Aku ... aku hanya sangat merindukan Lintang.” Kutarik udara sebanyak mungkin sekedar untuk melonggarkan dadaku yang t

RINDU (2)

Gambar
RINDU (2) Penulis : Lidwina Ro  Lintang menoleh, tersenyum bahagia sambil mengerling cantik. “Tentu saja ini rumah Lintang, Ma.” Ah! Aku terperangah kaget. Bukan karena Lintang lagi-lagi berhasil menebak isi pikiranku. Bukan. Tetapi ... mengapa Lintang menyebut ini rumahnya? “Ru-rumah Lintang?” tanyaku ingin memastikan sekali lagi. Lintang menghentikan langkahnya, menatapku sambil mengangguk serius. “Tapi ... tapi rumah kita bukan di sini, Sayang,” sambungku tak kalah serius. Lembut Lintang mengangguk. Sontak aku merasa gugup dan takut ketika anakku tiba-tiba memeluk kakiku erat. Seperti ada lonceng alarm berbunyi di hatiku,  sebagai pertanda sesuatu, yang aku sendiri tidak tahu. “Mama memang harus pulang sekarang,” bisik Lintang saat aku merendahkan tubuh sehingga kepala dan mata kami sejajar, saling tatap. Pulang? Lintang menyuruhku pulang? Ada rasa sakit luar biasa yang tak bisa aku bendung, menghajar di setiap sisi ceruk hati. Belum puas ribangku menatap anakku, dan dia menyuruhku

RINDU

Gambar
 RINDU Penulis : Lidwina Rohani Bukan karena rumput hijau yang menghampar ini tidak menarik. Jujur dalam hati aku sangat suka sekali, juga  pada lenggak lenggok dan raksi seribu bunga yang berpadu rapi di antara bauran rumputnya. Akan tetapi aku lebih terpesona dengan sepasang mata yang sedang menatapku lurus itu. Berkelip seperti kejora di antara candra. Hatiku serasa dibasuh oleh air pesam. Luar biasa nikmat. Ada semacam daya tarik yang tidak aku kenali, menyeretku lambat ke muara yang sejuk dan bening. Sesuatu yang tidak mungkin bisa aku tolak. Suatu rasa yang menyeruak hebat yang membuat jantung ini ikut berdegup kencang. “Lin-Lintang?” tanyaku gugup bercampur haru. Apakah aku sedang berhalusinasi? Benarkah yang di hadapanku ini adalah rindu yang menghiasi hari-hariku?  Ribang yang membelitku entah berapa warsa ini seperti menemukan muara. Hari-hariku yang biasanya hanya berhias bayangan wajah mungilnya, sekarang sebaliknya. Kuraih hati-hati tangan mungil itu, membelainya, lalu kuc

TAKUT

Gambar
  TAKUT Penulis : Lidwina Ro Di dalam KBBI, kata ‘takut’ artinya sama dengan merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Takut juga bisa diartikan tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dan sebagainya) Selain itu, takut juga berarti gelisah, khawatir, kalau-kalau .... Dan terakhir, takut bisa berarti takwa, segan dan hormat (kepada Allah) Lawan kata takut adalah damai. Ketakutan dan kedamaian tidak pernah bisa bersatu. Seperti api dengan air yang tidak bisa bersatu, demikian pula lah kata takut dengan damai. Jadi di mana ada ketakutan, di situ tidak akan pernah ada damai. Sebaliknya, di dalam damai tidak akan pernah ada ketakutan.  Lalu, dari manakah asalnya damai itu? Damai berasal dari Tuhan.  Ada hal sederhana yang mungkin tidak kita ketahui. Mungkin semua orang cenderung membiarkan, atau menganggap biasa bahwa ketakutan itu hal yang wajar-wajar saja. Tetapi tahukah kita kalau ketakutan itu sebenarnya adalah bukan perasaan yang biasa. Ketak

Balada Donat

Gambar
BALADA DONAT Penulis : Lidwina Rohani  “Pak, dicari sama Pak Teguh di depan,” ujarku sambil meletakkan keresek hitam di meja dapur, hasil belanjaku dari warungnya Mbak Sri. Bapak mendongak sebentar, lalu kembali menekuni pekerjaannya. Menambal sela-sela lantai dapur dengan semen. Wah, bapakku memang hebat, ternyata tidak butuh waktu lama untuk membenahi lantai dapur. Entah mengapa belakangan ini setiap kali aku menyapu, selalu bermunculan gundukan tanah di antara sela-sela lantai. Yang jelas pasukan semut lah yang memboyong segunduk tanah itu. Semut-semut itu bertujuan apa, tentu aku tidak paham. Yang aku pahami hanya jengkel bila gundukan tanah itu muncul dan muncul lagi setiap hari.  “Wah, nanggung amat Jeng, Bapak masih belum selesai, nih.” “Nanti saja diteruskan lagi, Pak,” sahut ibuku dari ruang makan. “Enggak enak, kan, sudah ditunggui sama Pak Teguh, tuh.” “Iya, iya,” sahut Bapak sambil bangkit berdiri. “Jangan dipindah ke mana-mana semennya, Jeng, biarkan saja di situ, nanti Ba

DASI

Gambar
  DASI Penulis : Lidwina Rohani “Mah, dasi hitam apa sudah di masukkan ke tas?” Hah? Dasi? Aku tersentak. Langsung meraih tas yang berada di samping kakiku, dan mengaduk-aduk dengan agak panik. Ternyata dasi hitam yang sudah aku siapkan kemarin malam tidak ada. Bagaimana mungkin? Apakah terjatuh? Apa jangan-jangan masih tertinggal di rumah, ya? “Loh, kok, enggak ada, Gong? Kan semua sudah Mama siapkan komplit tadi malam? Kamu tidak memeriksanya lagi, ya? Atau tertinggal?” tanyaku dengan alis berkerut tajam. Tapi begitulah. Anak ini memang dari kecil tidak pernah teliti. Sudah tidak heran lagi. “Balik lagi, Pah!” perintahku sedikit senewen, pada sang sopir yang dari beberapa menit yang lalu sudah melambatkan mobil karena mendengarkan percakapan kami. Mungkin sudah siap siaga bakal balik lagi ke rumah. Tanpa menjawab sekecap pun, suami langsung gerak cepat, mencari jalan belok ke kanan. Dia mungkin juga sudah hafal dengan tabiat anak pertamanya itu.  Benar saja, sebuah dasi hitam tergele

KOMEDI

Gambar
  KOMEDI Penulis : Lidwina Rohani Siapa yang tidak suka komedi? Komedi atau disebut juga lawakan adalah suatu karya yang lucu, pada umumnya dibuat dengan tujuan untuk menghibur, menimbulkan tawa gembira, terutama di televisi, film atau di panggung-panggung hiburan. Setiap orang memang mempunyai hobi sendiri-sendiri. Entah punya hobi memasak, hobi memancing, hobi membaca, hobi berkebun, hobi traveling, hobi berbelanja online, atau mungkin juga hobi menonton. Saya pribadi sangat hobi menonton komedi atau membaca buku atau apa pun yang berbau komedi. Biasanya para komedian atau pelawak menggunakan nama panggung ketika mereka sedang manggung. Mengapa? Selain berkesan unik, memakai nama panggung bertujuan agar nama mereka mudah diingat oleh pemirsa, atau mewakili ciri khas mereka. Pada tahun 1970 grup Kuartet Jaya dari Jakarta adalah grup pelawak yang sangat terkenal. Anggotanya terdiri dari Bing Slamet, Ateng, Edi Sud dan Iskak.  Grup lawak Srimulat berasal dari kota Solo, malah lebih dulu

JAJAN (2)

Gambar
 JAJAN (2) Penulis : Lidwina Rohani Di sekitar blok perumahan saya, ada banyak ibu-ibu yang kreatif sekali dan pandai memasak. Oleh karena itu ibu-ibu tersebut membentuk grup jual beli makanan. Selain menyalurkan hobi, pandai memasak juga bisa sekali menghasilkan pundi-pundi uang. Tentu saja saya tidak mau ketinggalan, dan ikut dalam grup tersebut. Wah, pandai memasak juga, to? Sayang sekali kalau pemirsa kecewa, saya tidak pandai memasak dan juga tidak hobi memasak. Bagian saya hanya gercep memantau grup, karena kalau telat membaca sedikit, sudah ludes, tuh, makanannya yang enak-enak dan limited edition. Jadi pantengin ponsel pagi-pagi sambil menanak nasi dan mempersiapkan keperluan sekolah anak, biar kebagian jajan kesukaan. Hari Senin dan Kamis adalah hari yang saya nanti-nanti. Karena jajanan kesukaan saya hanya lewat pada hari tersebut. Kalau kalah gercep, pasti gigit jari tidak kebagian. Jengkel juga, kan, kalau harus mengantre hari Seninnya lagi? Untunglah hari Kamis pagi ini sa

ARISAN

Gambar
 ARISAN Penulis : Lidwina Ro  Bu Tejo melirik jam dinding. Diam-diam wanita itu menghela napas lega. Sebentar lagi arisan RT akan selesai. Akan damai sekali jika bisa keluar dari obrolan gerombolan ibu-ibu yang suka pamer kekayaan mereka itu. Suami Bu Tejo memang hanya sopir ojol. Ada penumpang tiap hari sudah anugerah, karena akhir-akhir ini penumpang sudah banyak berkurang. Sepi. Apalagi sekarang musim hujan. Tambah susut lagi penumpang. Pokoknya dapat uang belanja tiap hari saja, sudah aman hidup keluarganya, karena bisa beli beras. Jadi apa yang harus Bu Tejo pamerkan pada ibu-ibu ketika arisan? Rasanya tidak ada. Kasta Bu Tejo dan mereka berbeda jauh. Yang ada malah telinganya jadi linu mendengar ibu-ibu saling bersahut-sahutan menceritakan liburan atau kuliner yang mereka singgahi. Sambil pura-pura memperhatikan cerita liburan Bu Sukmo, tangan Bu Tejo menggeser piring yang berisi suguhan arisan lebih dekat ke arahnya, sambil matanya mengawasi sekeliling dengan cermat, agar tidak

JAJAN

Gambar
JAJAN Penulis : Lidwina Ro Kata ‘jajan’ selalu mengingatkan suatu kegiatan yang menyenangkan pada masa kecil saya dulu. Jadi dulu, sudah tradisi jika waktu liburan sekolah tiba, saya selalu menginap di rumah nenek kakek di desa, bersama sepupu-sepupu lainnya yang berasal dari Malang, Semarang dan Surabaya. kami biasanya semua serentak bertemu di rumah nenek kakek. Beruntung sekali rumah nenek mempunyai kamar yang banyak. Maklum, keluarga besar. Nenek memiliki anak sembilan. Ibuku adalah anak ke enam. Wow! Jangan kaget ya. Apakah tidak ada KB jaman dulu?  Lanjut. Setiap pagi ada rutinitas yang tidak bisa kami -saya dan sepupu-sepupu saya- tinggalkan selama berada di rumah nenek. Yaitu antre di gardu depan sekolah yang tidak jauh dari rumah utama nenek. Antre apa? Antre bubur campur, kalau meminjam nama, istilah era sekarang. Mbah Pono adalah wanita paruh baya yang cekatan, bersih dan higienis dalam berjualan bubur campur. Buburnya komplit dan lezat. Panci-panci aluminium besar berisi bu

Belajar Menulis Opini (2)

Gambar
Belajar Menulis Opini (2) Penulis : Lidwina Ro Nah, saya menyambung tulisan kemarin, yang perlu diperhatikan terkait penulisan opini, yaitu : • Judul • Penggunaan Idion  • Memilih Tema • Menyusun Alinea Penjelas Argumen • Menentukan Gaya Menulis Opini • Temukan Data dan Referensi • Edit Tulisan Judul dan penggunaan idion yang tepat sudah, jadi sekarang adalah Memilih Tema. Bagaimana cara memilih tema? Lagi-lagi harus banyak membaca buku. Bisa juga mendapatkannya dari Chanel youtube Gita Wirjawan, Guru Gembul, Rhenald Khasali, juga narasinya Nazwa Shihab. Yang muda-muda seperti Chanel Mojok, 1 persen dan lain-lain. Memilih temanya yang disukai dulu, ya. Jangan dipaksa tema yang terlalu berat, supaya enteng dan cepat kelar nulisnya. Boleh juga menulis opini dengan tema yang lagi ‘hot’ atau aktual.  Jangan lupa yang terpenting : pastikan sudut pandang pribadi. Apakah menolak isu, ragu-ragu, atau setuju. Begitu saran Bang Bery. Menyusun Alinea Penjelas Argumen Pokok pikiran d

Belajar Menulis Opini (1)

Gambar
BELAJAR MENULIS OPINI (1) Penulis : Lidwina Ro Jujur menulis opini belum pernah sama sekali saya coba. Menurut saya pribadi, menulis opini sepertinya berat. Mengapa? Karena menurut saya pribadi, menulis opini memerlukan logika dan data yang akurat. Juga harus pintar, cerdas, dan peka. Karena itulah menulis opini membuat saya minder, jadi belum ada keberanian dan pikiran untuk menulis opini sejauh ini. Kemarin, Jumat tanggal 14 Oktober 2022, komunitas Sahabat ALR mengadakan sedaring bersama Bang Bery Manurung. Siapa Bang Bery? Jujur, saya tidak mengenal sama sekali seorang Bery Manurung. Ah, pokoknya kemarin saya daftar dulu saja, karena ingin tahu lebih dalam bagaimana cara menulis opini. Selain rasa penasaran apa itu menulis opini, saya juga ingin tahu bagaimana cara menulis opini. Ternyata Bang Bery sangat ramah, sabar dan asyik dalam mengajar atau menerangkan banyak ilmu sekitar menulis opini. Hampir tiga jam Bang Bery membagi ilmu beserta sesi tanya jawab. Kesan pertama yang saya t

ISTRI BARU AYAHKU (3)

Gambar
Istri Baru Ayahku (3) Penulis : Lidwina Ro  Otakku sontak seakan berhenti bekerja. Sekelilingku tampak berwarna abu-abu dan sunyi. Telingaku bahkan tidak mampu mendengar apa-apa lagi, kecuali pada satu kalimat. Ibu kandung. Apa ... apa kata Mbok Ni tadi? Ibu kandung? Mereka membicarakan ibu kandung. Siapa memangnya ibu kandungku?  “Aku amat mencintai Airin, Mbok. Hidupku hancur dan sudah tak berarti ketika harus menyerahkan Airin yang masih bayi pada Mas Adam dan istri pilihan orang tua Mas Adam. Tetapi aku tidak punya pilihan lagi, Mbok. Aku miskin dan terlalu takut, juga bodoh waktu itu. Aku tidak berdaya di bawah tekanan mereka. Apakah aku salah, Mbok?” Perlahan-lahan mataku mulai buram oleh air mata. Aku menatap kelu pada kedua orang yang saling berpelukan berbagi tangis itu. Semua kebencianku perlahan luruh satu demi satu. Yang ada tinggal  penyesalanku yang dalam. Entah apa yang menjejali pikiranku, sampai mata hatiku menjadi buta selama ini. Aku bahkan menjauhi wanita itu. Sedap

Istri Baru Ayahku (2)

Gambar
Istri Baru Ayahku (2) Penulis : Lidwina Ro  Aku menghentikan langkah di depan pintu yang sedikit terbuka saat mendengar suara isakan lirih Tante Rin ... dalam kamarku!. Hari ini aku sengaja pulang ke rumah lebih awal, karena guru eskul di sekolah sedang sakit. Niatku pulang hanya ingin mengambil ATM yang tertinggal, karena mau nge-mal. Setengah mati aku menekan amarah yang mendidih dalam dadaku. Apa yang dilakukan wanita itu di dalam kamarku selagi aku tidak ada di rumah? Lancang sekali dia!  Aku semakin membelalakkan mata tidak percaya ketika melihat wanita itu mulai membuka kotak tempat baju-baju bayiku. Merabanya. Mendekap dalam dada. Lalu menciuminya sambil menangis. Mengapa tingkah Tante Rin amat ganjil? Apa Ayah menikahi wanita yang tidak waras? Dan mengapa Mbok Ni ada  di dalam kamarku juga? Apakah sekarang Mbok Ni ganti haluan memihak Tante Rin? Lihat saja, Mbok Ni mengusap lembut punggung Tante Rin. Seolah-olah mencoba menenangkan tangisannya. Hm, awas kau Mbok Ni! “Sudah, sud

Istri Baru Ayahku

Gambar
 ISTRI BARU AYAHKU Penulis : Lidwina Ro Rasanya aku tidak percaya ketika Ayah memutuskan untuk menikah lagi. Padahal sudah dua tahun kami -aku dan Ayah- hidup berdua dengan tenang. Semua kelihatan baik-baik saja. Ada Mbok Ni yang membantu semua pekerjaan rumah, sehingga kegiatan sekolahku dan kegiatan Ayah mengantor relatif aman terkendali. Jadi, mengapa Ayah harus mencari istri baru? Tante Rin sosok wanita yang pendiam, tetapi lembut. Tidak seperti ibuku yang periang dan penuh canda. Sebenarnya Tante Rin tidak pernah melakukan hal yang salah selama di rumah. Rumah semakin terawat, banyak tanaman baru yang menambah teras semakin sejuk dan asri, Ayah juga semakin segar dan sehat. Bahkan lebih bersemangat daripada ketika ibuku masih hidup. Ah, apa-apaan ini?  Masakan Tante Rin juga lebih enak dari masakan Mbok Ni.  Akan tetapi tentu saja tidak ada yang dapat mengalahkan ibuku. Hanya ibuku yang terbaik. Hanya ibuku! Tidak boleh ada wanita yang lain. Karena itu agak sulit bagiku untuk mene

CURCOL HUJAN

Gambar
 CURCOL HUJAN Penulis : Lidwina Ro Jika ada pemilihan suara, mungkin ada dua kubu pendapat tentang bulan-bulan yang berakhiran ‘ber’ dan berpotensi besar mengirim curah hujan ini. Pernah terlintas tidak, Tuhan harus mengabulkan doa yang mana dulu? Bagi sebagian besar daerah langganan banjir di Jakarta seperti Duren Sawit, Pluit, Kelapa Gading, Cilincing, Pulogadung dan kawan-kawannya yang lain, pasti menjadi momok tersendiri jika datang musim hujan. Paling tidak mereka pasti berdoa agar tidak sering turun hujan, atau setidaknya hujan cepat berhenti. Kalau bisa gerimis saja ( hahaha ) Sebaliknya di beberapa daerah rawan kekeringan seperti di propinsi NTT, juga daerah Gunung Kidul, dan beberapa daerah kering lainnya, musim hujan adalah berkah besar yang tak terhingga. Di daerah kekeringan, hujan sangat di nanti-nantikan sebagian besar oleh masyarakatnya. Masih teringat jelas di memori pada tayangan televisi, bagaimana di suatu daerah terpencil, masyarakat setempat harus berjalan kaki ber

TEMBUS MEDIA

Gambar
TEMBUS MEDIA Penulis : Lidwina Rohani Tugas pertama atau tantangan pertama setelah lulus dari komunitas menulis One Day One Post, adalah menulis tulisan yang harus dikirimkan lewat email. Tahu kira-kira ke mana tujuannya? Ke redaksi Surat Kabar Solopos! Wah, sempat gelisah dan penasaran juga. Mungkin kah tulisanku bisa sampai tembus ke surat kabar? Lagi pula naskah yang dikirimkan sudah ditentukan oleh komunitas menulis One Day One Post, yaitu : tulisan berupa komedi. Dunia menulis adalah dunia yang baru bagiku. Masih sekitar kurang lebih setahun aku memberanikan diri menekuni dunia baru ini. Itu pun bermula dari sebuah ajakan dan rayuan sahabat lamaku yang sudah lebih dahulu menggeluti seluk beluk literasi.  Tantangan pertama menulis komedi di sebuah media besar, tentunya akan menjadi sebuah tantangan yang menarik, sekaligus mendebarkan hati, karena aku belum pernah sama sekali menulis dengan genre yang seperti ini. Yaitu genre komedi. Dari mana aku harus memulainya?  Uniknya lagi, ad

SECANGKIR KOPI

Gambar
  SECANGKIR KOPI Penulis : Lidwina Ro Aku baru saja akan menutup pintu, saat mataku menangkap sosok lelaki dari kegelapan berjalan tergesa menghampiri kafe. Rintik hujan yang masih bertahan sejak sore terlihat membasahi rambut dan tubuhnya yang kekar. Jantungku berpacu lebih cepat saat mengenali wajah lelaki yang menatapku lurus itu. Sesaat aku tertegun, terbius oleh sorot mata yang tajam dan legam. Seolah menyeretku ke suatu padang bunga tak bernama yang penuh warna. Di mana aku bebas berlari dan mencium satu persatu wangi bunganya. Tak sadar tanganku berkeringat, dan menggenggam erat pinggir pintu. Sesuatu berbisik dengan keras dalam hati agar aku segera menjauhi lelaki ini. “Bisa minta secangkir kopi hitam?” Kopi? Tak percaya aku mendengarnya. Setelah beberapa detik beradu pandang, mendadak aku mengangguk lugu, seperti tidak punya kekuatan untuk menolak. Lupa bahwa aku bekerja di kafe, dan seharusnya sudah menutup kafe.  Seperti tidak mau menyia-nyiakan waktu, lelaki itu segera mele

SEPASANG LANSIA

Gambar
SEPASANG LANSIA Penulis : Lidwina Rohani Hamparan awan putih dan abu-abu  menggulung mewarnai langit ketika aku mencari sebuah tempat yang nyaman untuk duduk sekedar meluruskan kaki. Akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah pohon rindang. Setelah menepuk-nepuk sebuah bangku tua, sekedar menyingkirkan daun kering yang terjatuh di sana, aku pun duduk.  Sejenak aku meluruskan kakiku setelah menuntaskan pemberhentian ke tiga belas. Hm, enak sekali. Kakiku langsung terasa nyaman. Apalagi di tambah dengan angin semilir yang perlahan-lahan mengeringkan butiran keringat di pelipis. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup segarnya udara pagi.  Setelah pegal kaki mulai berkurang, perlahan aku merogoh tas selempangku. Mencari untaian kalung yang tadi subuh sudah aku selipkan di dalam. Suara batuk-batuk tidak jauh dariku, membuatku menoleh. Mencari sumber arah batuk tersebut. Lalu mataku menangkap sepasang lansia yang duduk berdampingan di salah satu bangku taman.  Lelaki tua berpakaian kuning tua, t

TERSESAT (4)

Gambar
TETSESAT (4) Penulis : Lidwina Ro  Jantungku seketika berdesir. Menatap beku ke arah keduanya secara bergantian. Sekujur tubuhku menegang. Seakan berlomba mengurai logika dan imajinasi liar yang menyerbu masuk ke dalam otakku. Tetapi .... Sepasang bola mata berwarna cokelat muda itu seakan nyata. Benar-benar menatap hangat ke arahku dengan malu-malu. Bajunya tidak sesederhana yang dulu pernah kulihat, bahkan wajahnya jauh dari kusam. Dia ... adalah Arum. Sosok yang menjelma menjadi gadis cilik cantik yang anggun. Membuat pikiranku sedikit linglung. Sungguh, betapa cantiknya Arum. Oh, ya ampun, ada apa dengan otakku yang oleng kali ini? Kakek berdehem lagi. Kali ini dehemannya tidak segarang yang pertama. Sementara pikiranku masih bergumul, bersikeras tertuju pada sosok Arum. Gadis cilik, penjaja semangka di pinggir jalan sepanjang Cemoro Sewu. “Karena kau sudah berbuat baik pada cucuku tadi pagi, maka Kakek akan membalas budi.” Sebentar, sebentar. Apa? Cucu? Jadi Arum adalah .... “Tem

TERSESAT (3)

Gambar
TERSESAT (3) Penulis : Lidwina Rohani   Seperti dugaanku Rio tidak terlihat. Jejak kakinya pun bahkan lenyap. Senterku bahkan kesulitan membelah kabut yang tebal. Padahal ini masih siang. Teriakanku memanggil Rio juga tak ada hasil. Tidak ada respons. Tidak mungkin langkah Rio secepat itu sampai tidak bisa mendengarkanku meneriaki namanya. Semua menjadi tampak ganjil. Cemoro Sewu makin pekat oleh guyuran kabut. Rasa letih mulai menggoyahkan langkah kaki. Sia-sia aku berteriak memanggil Rio. Temanku itu seperti lenyap di telan hutan yang berkabut. Ketika lelah sudah menguasai penuh raga, aku merosot duduk di tanah. Dari jauh aku masih bisa melihat senter Tama yang sesekali hidup mati, memberi tanda bahwa mereka masih ada di sana. Menunggu. Tetapi di mana Rio? Di mana aku harus mencarinya? Dan bagaimana aku mencarinya dengan tubuh loyo tanpa tenaga ini? Kabut kali ini ... begitu tebal, menekan, dan mengimpit dada. Kepalaku sudah mulai berputar-putar tak keruan, ketika aku mendengar suara

TERSESAT 2

Gambar
TERSESAT (2) Penulis : Lidwina Rohani  Kabut tebal mulai mengganggu perjalanan menuju pos empat. Rute yang seharusnya mudah untuk dikenali lama kelamaan seperti asing bagi kami.  “Nang?” dengus Tama dengan raut wajah yang mulai tegang. “Kelihatannya kita tadi sudah pernah melewati jalan ini. Mengapa kita melewatinya lagi?” Aku menghela napas, setuju dengan pemikiran Tama. Dengan gusar aku memeriksa peta sekali lagi. Bersamaan dengan itu, aku dan Tama mendengar Doni berteriak dari arah semak. Buru-buru kami berlari menerobos kabut, mencoba mencari arah suara Doni. Kami bertiga lalu terpaku diam. Menatap pada sebuah pemandangan yang tidak pernah kami pikirkan sebelumnya. Di balik rimbunan semak samar-samar ada sebuah jalan. Ya, seperti ada sebuah jalan setapak menuju agak ke bawah. Begitu samar dan tidak begitu jelas karena tertutup kabut. Benarkah ini jalan alternatif menuju pos empat? Tetapi mengapa ketua pendaki kami tidak pernah memberi info tentang ini?  Hatiku tiba-tiba berdesir an

TERSESAT 1

Gambar
TERSESAT 1 Penulis : Lidwina Ro   Sekali pandang, sorot sepasang mata gadis cilik berwarna cokelat muda itu sudah memikat hatiku. Meskipun bajunya sederhana seadanya dan wajahnya sedikit kusam kelelahan, akan tetapi entah, ada sesuatu yang menarik. Bulu matanya lentik, tatapannya lugu dan malu-malu. Sesekali gadis cilik itu mencuri pandang ke arahku, lalu buru-buru membuang muka ketika aku ganti menatapnya dengan senyum. Seperti ada magnet yang kuat di dalam mata itu. Ah, gadis cilik itu mengingatkanku pada Mayang adikku yang ada di rumah. Kelihatannya mereka sebaya.  Ada sedikit kilatan letih yang terpancar di matanya, saat aku sengaja menghampiri gadis cilik yang berjualan paling pinggir, di tepi jalan raya, di Cemoro Sewu. Dan aku hanya bisa menebak, pasti dagangan gadis cilik itu belum laku banyak. Hm, tidak ada salahnya membantu. “Berapa semangkanya, Dik?” tanyaku sambil berjongkok, lalu meraba-raba salah satu semangka yang dijajar rapi di atas sehelai tikar lusuh. Entah apa yang

HARUSKAH MENULIS?

Gambar
 HARUSKAH MENULIS? (2) Penulis : Lidwina Rohani Misalnya seorang yang mempunya hobi memasak, akan dengan mudah menuangkan tulisan-tulisan ide resepnya dengan lancar. Dia tidak akan sempat berpikir keras atau menjadi putus asa untuk mencari ide-ide lain, karena dalam pikirannya sudah mengetahui, mengenal dan menguasai akan ide-ide resep masakannya. Meniru Sesungguhnya tidak ada orang di dunia ini yang benar-benar mempunyai ide tulisan yang benar-benar orisinal. Semua penulis di dunia ini biasanya mempunyai kebiasaan membaca dari banyak buku dari berbagai sumber. Tentu saja bisa riset, bisa juga dari pengalaman pribadi. Kebiasaan banyak membaca atau rutin membaca dari banyak sumber itu secara tidak sadar akan meninggalkan jejak rekam pada otak, akan apa saja yang sudah dibacanya tersebut. Hal ini yang kemudian membuat seseorang menulis atau mencomot sana sini sebagian kecil dari apa yang sudah terekam dalam otaknya, dan akhirnya melahirkan suatu tulisan atau ide yang baru. Jadi ternyata

HARUSKAH MENULIS?

Gambar
 HARUSKAH MENULIS? Penulis : Lidwina Rohani Kalau menulis dapat meningkatkan dan mengasah kecerdasan seseorang, apakah semua orang di dunia ini akan berlomba-lomba untuk menulis? Tidak juga kayaknya, sih. Tentu saja setiap individu mempunyai tingkat kecerdasan yang berbeda-beda, ya. Itu pasti. Tetapi penting untuk diketahui, dengan rutin menulis setiap hari, mau tidak mau kecerdasan akan makin meningkat. Mengapa bisa begitu? Karena semakin rutin menulis setiap hari, maka akan dibutuhkan ekstra pemusatan perhatian, riset, bahkan  tenaga dan waktu untuk  mempresentasikan ide-ide dari karya atau tulisan kita pada dunia. Melalui apa sumbernya? Banyak, tetapi kebanyakan melalui membaca. Wah, kelihatannya menulis itu susah, ya? Yang benar menulis itu unik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan. Bayangkan saja, berapa banyak pikiran atau ide-ide tentang apa saja, yang ada di dalam otak manusia. Tidak terbatas banyaknya. Tentu saja jika kita mau me