KELIRU (2)
KELIRU (2)
Penulis : Lidwina Ro
Aku berteduh di teras apotek. Hujan mendadak turun dengan deras. Aku memutuskan untuk berteduh dulu. Hati-hati kumasukkan ke dalam kantong celana, keresek berisi obat rematik pesanan Ibu. Sambil bersedekap menahan dingin, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling area mini market.
Terlihat sebuah mobil putih memasuki halaman mini market. Ketika sang sopir turun dari mobil, mataku pun membulat. Ah! Aku kenal sopir itu! Dia adalah sopir anak orang kaya yang rumahnya di ujung jalan rumah itu. Sopir itu tampak menerjang hujan dengan sebuah payung hitam, bergegas masuk ke dalam apotek.
Wah, enak sekali menjadi anak orang kaya. Tinggal duduk dan bisa menyuruh apa saja. Seperti raja yang berkuasa. Pasti di rumah anak itu berlimpah makanan dan mainan. Kasur empuk, TV besar, juga banyak uang. Mau makan apa saja bisa. Mau bermain apa saja bisa. Mau membeli apa saja, juga bisa.
Aku lalu melirik tas sekolahku. Mbak Lisna sudah menjahit tali tasku yang putus Minggu lalu. Kalau saja aku adalah anak orang kaya ... pasti Bapak sudah membelikanku tas baru. Juga sepatuku yang sudah mangap ini. Aku tersenyum getir. Entah harus menunggu tas baru berapa lama lagi aku? Sebulan lagi? Dua bulan lagi?
Tiba-tiba aku melihat kaca jendela mobil putih itu turun. Anak itu beberapa detik menatapku. Sebelum aku melengos, aku melihat dia melambaikan tangan ke arahku.
Aku tertegun. Celingukan ke kanan dan ke kiri, khawatir kalau bukan aku yang dipanggilnya.
Sebuah tepukan pelan mampir di bahuku. Aku terkejut. Menatap sopir yang tiba-tiba sudah berada di dekatku.
“Itu kamu dipanggil Mas Rian.”
Rian? Oh, jadi anak orang kaya itu bernama Rian. Aku menatap heran, tidak tahu mengapa Rian memanggilku.
“Mungkin Mas Rian mengajakmu pulang bareng. Rumahmu kan sejalan dengan rumah Mas Rian. Eh, iya, siapa namamu?”
“Didi.”
“Nah, Mas Didi, ayo ikut mobil. Kita pulang bareng saja, yuk.”
Hah? Pulang bareng mobil? Sebelum aku memikirkan kalimat halus untuk menolak ikut, sopir itu sudah merangkul bahuku, dan menarikku ke arah mobil putih terparkir.
Anak dalam mobil putih itu tersenyum lebar ketika melihatku mendekat. Segera dia membukakan pintu mobil. Aku ingin sekali menolak, tetapi otakku mendadak beku, ketika melihat pemandangan yang tidak pernah terpikirkan olehku. Jantung dan mataku seperti mau lepas.
Komentar
Posting Komentar