AKARA


 AKARA

Penulis : Lidwina Ro

“Kamu sering ngomong sendirian dalam kamar. Kamu ini sebenarnya kenapa? Kau berbeda sekali sejak sembuh dari sakitmu beberapa bulan yang lalu. Jangan menakuti ibu, Dinar.”

“Aku enggak apa-apa, Bu. Hanya saja aku tidak mau Ibu pergi kondangan.”

“Apa alasannya?”

“Karena aku tahu ada sesuatu yang buruk di sana.”

“Kata siapa, toh, Din?”

Aku melirik ke sudut ruang. Menatap bayang yang juga sedang melihat cemas ke arahku. Wah, dia mengkhawatirkan Ibu juga.

“Bu, pokoknya aku tahu ada sesuatu yang tidak beres, percaya saja, Bu.”

Ibu menghela napas, sambil bersiap-siap untuk berdiri, menyusul tetanggaku yang sudah berangkat duluan. “Dinar, Ibu sudah di tinggal, loh, sama Bu Harjo.”

“Tunggu, Bu, jangan pergi. Aku tahu banyak, Bu.”

“Tahu apa, kamu?”

Aku menelan ludah dengan susah payah. Kalau aku harus terpaksa merobek luka lama, akan kulakukan asal Ibu tidak pergi kondangan.

“Aku tahu ka-kalau ... Bapak tidak meninggal, Bu,” desahku lirih, sangat hati-hati.

Mata Ibu sontak membelalak. Mulutnya ternganga tegang. Menatap aku dengan mata yang mulai berair. “Di-Dinar? Kau, kau sudah tahu?”

Aku mengangguk mantap. “Aku juga tahu Bapak sudah punya istri sebelum bertemu dengan Ibu, dan Bapak kembali pada istrinya, bukan?”

“K-kau tahu dari mana?” Tangis ibu pun pecah. Histeris. Seperti Rara, aku juga memeluk Ibu, menepuk punggung Ibu, berharap bisa memberi rasa tenang.

“Tolong, percaya padaku, Bu. Aku tahu banyak. Jadi, tolong Ibu jangan pergi ke kondangan. Aku takut, Bu.”

  ***

Belum lama aku menceritakan pada Ibu, apa yang selama ini kusembunyikan, tiba-tiba Bu Harjo pulang dituntun orang. Aku dan Ibu segera berlari ke depan. Bu Harjo bilang, kondangan pernikahan anak Bu Sumiati berakhir ricuh. Katanya, tiba-tiba para undangan mendadak lemas, pusing dan sebagian jatuh pingsan setelah menyantap hidangan. Rupanya ada indikasi keracunan makanan. Mobil polisi dan ambulans pun tak lama kemudian lalu lalang di depan rumah. Ibuku yang batal menghadiri kondangan, menatapku tegang dan bingung.

“Dari mana kau tahu semua ini akan terjadi, Dinar?” desak Ibu.

“Sejak aku sembuh dari sakit. Dia ... dia mengikutiku terus, Bu.”

“D-dia siapa? Siapa maksudmu?” tanya Ibu tegang. Menatapku dengan gelisah.

“Aku, aku punya saudara kembar, kan, Bu? Ketika Ibu melahirkan kami berdua, Bapak memutuskan membawa satu, dan Ibu membawaku. Dia ... kakak kembaranku itu, sudah meninggal, Bu. Dia ... dia hanya ingin kita tahu ... meskipun dia tidak sempat mengenal kita, tetapi dia menyayangi kita.”

Tangis Ibu pun pecah. Diguncangkannya bahuku dengan tangan gemetar.

“Bapakmu memang keterlaluan, Dinar. Ibu benci padanya. Itulah sebabnya Ibu selalu bilang kalau bapakmu sudah ma ti!”

Kupeluk tubuh ibu yang bergetar hebat. Biar lah Ibu puas menangis dalam dekapanku. Biar ditumpahkannya semua beban dan derita yang dipeluknya setiap hari. Semoga mulai hari ini, Ibu tidak sendirian lagi menanggung laranya.

Sementara aku menangkap bayang di sudut, kulihat dia juga menunduk dalam-dalam, dengan bahu yang berguncang keras. Memang dia hanya sebuah akara. Sebuah bayang yang terjebak waktu di mana semua slide kehidupan tidak bisa di putar ulang kembali. Tetapi dia akara, yang masih bersikeras menunjukkan kasih sayangnya pada kami, dengan bukti, dan cara serta waktunya sendiri. Langit pun mempunyai cerita dan kuasa menggenggam misterinya.. Jadi biarkan saja semua terjadi. Lalu akara itu... lesap perlahan, tak kembali lagi setelah selesai dengan kerinduannya.

Akara : bayang

(Selesai)

Cikarang, 231122

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU