Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2023

RENCANA

Gambar
 RENCANA Penulis : Lidwina Ro Dalam kamar mandi kantor, Aida memekik kegirangan. Harapan yang dikiranya sudah pupus, ternyata menghampirinya juga! Tak kuasa menahan tangis, Aida mengelus perutnya yang rata. Ya! Masih rata! Karena calon bayi mungilnya masih beberapa Minggu menghuni rahim. Setelah sembilan tahun yang berat, penantiannya akan segera berakhir. Aida belum lupa, betapa ibu mertuanya sering menyindirnya karena tak sabar lagi menunggu kehadiran seorang cucu. Situasi yang menyesakkan dada Aida itu makin bertambah parah dengan hadirnya Sarah. Calon madu pilihan ibu mertuanya sendiri! Aida menggenggam erat tespek bergaris dua itu seperti menggenggam sebuah berlian langka yang mahal. Hari ini dia punya rencana pulang kantor lebih awal untuk memasak sesuatu yang istimewa buat merayakan kabar baik ini bersama Pandu suaminya. “Tumben kamu masak enak. Ada apa?” Pandu yang baru pulang, menatap nanar Aida. Dari ruang tamu hidungnya sudah menghidu wanginya steik buatan istrinya itu.

PIGURA RETAK

Gambar
 PIGURA RETAK Penulis : Lidwina Ro  Seharusnya aku adalah seorang wanita yang paling beruntung. Usia masih muda, sehat. Karierku bersinar. Aku punya suami yang sangat mencintaiku dengan tulus dan apa adanya. Juga ada si kecil Vano yang melengkapi pigura kehidupanku. Aku yakin kehidupanku saat ini nyaris sempurna. Seharusnya aku juga seorang wanita yang paling berbahagia di dunia ini. Tentu saja. Apa lagi yang aku inginkan? Apa lagi yang harus aku kejar? Seharusnya tidak ada. Tetapi entah mengapa, aku setuju saja ketika Krisna mengajakku bertemu di kafe berdua saja malam ini. Aku tidak sengaja bertemu kembali dengan Krisna setelah delapan tahun. Pada lelaki cinta pertamaku ini, selalu akan ada di hati, satu ruang tersendiri. Tersembunyi. Terkunci. “Kau tidak berubah setelah delapan tahun, Vanila. Kau tetap cantik. Aku merasa senang melihat kau bahagia,” senyum Krisna sambil menyesap kopi latte kesukaannya. “Setelah kau meninggalkanku, dan menikah dengan Tamara seperti kehendak ibumu,

The Journey

Gambar
 THE JOURNEY Penulis : Lidwina Ro Dalam perjalanan hidupku, tak jarang orang datang mencariku. Mereka datang kebanyakan untuk menceritakan masalah hidup mereka padaku, dan sering meminta pendapat atau saran untuk mengatasi permasalahan hidup mereka. Aku sendiri tidak tahu mengapa mereka datang, tetapi aku selalu bersedia menjadi tempat curahan hati. Aku bahkan bisa tahan berjam-jam mendengar apa keluhan mereka. Seiring waktu yang terus melaju, ada hal yang aku pelajari, yaitu ketika aku berbicara, sesungguhnya aku hanya mengulang-ulang kata yang aku tahu. Berbeda halnya dengan mendengar. Ketika aku mendengarkan orang lain berbicara, maka aku akan mendapatkan sesuatu, misalnya pemahaman baru. Aku lalu berpikir, begitu banyak orang-orang yang membuang-buang energi, misalnya untuk memusingkan hal-hal yang kecil, mengeraskan hati untuk tidak memaafkan, juga merawat intens luka batin, akibatnya mereka tidak bahagia. Mereka justru kehilangan sentuhan akan anugerah yang sudah diberikan Tuh

BERUANG COKELAT

Gambar
 BERUANG COKELAT Penulis : Lidwina Ro “Apa itu, Tante?”  Keponakan kesayanganku tiba-tiba menunjuk ke arah bawah lemari baju yang sedang aku buka. Sebuah boneka beruang besar yang sedang memangku anaknya, menyembul di antara kemeja atasanku yang tergantung rapi. Sejenak aku tertegun. Lalu menyibak kemeja-kemejaku. Tasya keponakanku langsung maju dan menyentuh bonekaku.  Matanya yang bulat jernih menatapku tak percaya. “Tante, kan, sudah besar. Mengapa masih mainan boneka?” Baru saja aku akan membela diri, tetapi kulihat Tasya sudah menarik keluar bonekaku yang tersembunyi di pojok lemari paling bawah itu, dan menggendongnya. “Tasya mau bonekanya.” Melihat Tasya memeluk beruang cokelat besar itu dengan penuh kasih sayang, hatiku pun tiba-tiba merasa kelu. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Mbak Neni masuk dan mengerutkan dahi melihat kami. “Mana bajumu, Na? Aku pinjam dulu, deh. Basah ini kena sirup.” Aku lalu baru ingat, tujuan awalku adalah meminjamkan baju pada kakakku. Buru-buru aku m

Balada Donat

Gambar
 BALADA DONAT Penulis : Lidwina Ro Arisan keluarga selalu menjadi kepingan momen terbaik dan menarik dalam pigura kehidupan. Terutama di dalam lingkar kehidupan keluarga besarku. Biasanya arisan keluarga diadakan sekali dalam sebulan, dengan cara bergilir. Tentu saja sesuai dan berurutan nama yang keluar dari gulungan sedotan kecil-kecil itu. Euforia arisan keluarga sangatlah dahsyat di lingkup keluar besarku. Keakraban antar keluarga menjadi semakin kental dan harmonis. Meskipun uang arisannya tidak begitu banyak, tetapi ajang pertemuan keluarga menjadi lebih penting dibanding segalanya. Ketika ibuku yang menjadi tuan rumah, sudah dipastikan akan lebih banyak lagi keluarga yang akan datang. Mengapa? Itu karena ibuku jago memasak. Andalan masakan ibuku yang paling dinanti-nantikan adalah gado-gado dan donat. Jadi ibuku membuatnya dengan porsi lebih banyak. Kelihatannya makanan receh, ya, tetapi jangan salah. Memang seperti itu kenyataannya dari dulu. Dua primadona masakan ibuku itu

Gadis Spesial (2)

Gambar
Gadis Spesial (2) Penulis : Lidwina Ro  “Mau apa kau ke panti asuhan itu, Ara?” Aneh sekali, hatinya merasa lega, karena hanya panti asuhan yang menunggu Ara. Eh, perasaan aneh apa pula ini? Dewa menghela napas. Duh! Terlambat untuk menarik kata-katanya yang kedengaran sangat ingin tahu sekali. Mengapa bisa dirinya sekarang jadi tertarik pada apa yang dilakukan oleh Ara?  “Bukan apa-apa. Hanya kegiatan rutinku saja mengunjungi mereka. Aku lupa, kalau kau datang hari ini. Maafkan aku.” Dewa menoleh sekilas. Ada sedikit rasa tersinggung karena Ara tidak ingat kapan dirinya datang dari Amerika. Entah apa alasan gadis itu sampai lupa. Akan tetapi Dewa lebih tertarik dengan alasan sekaligus heran dan kagum dengan tujuan Ara ke panti asuhan. “Apa yang kau lakukan di sana?” Dewa melirik, dan sekilas, dan langsung mendapati sepasang mata Ara berkilau dan bersinar hangat. “Ah, aku hanya sedikit mendongeng dan sedikit memeluk mereka saja.” Dada Dewa berdesir halus. Jadi selembut dan sehangat ini

Gadis Spesial

Gambar
Gadis Spesial Penulis : Lidwina Ro  Tidak ada yang spesial dari gadis itu. Begitulah kira-kira kaca mata lelaki atau penilaian pribadi dari seorang Dewa. Dia sendiri sebenarnya sudah punya tambatan hati, Lidia. Gadis cantik bermata sayu yang lembut. Dewa merasa sudah cocok bersama Lidia. Tetapi entah mengapa mamanya masih saja bersikukuh pada pendapatnya, bahwa Ara adalah gadis spesial yang kelak harus bersanding dengan dirinya. Mengapa Ara spesial? Apa hanya karena rasa iba mamanya saja? Mama Ara adalah sahabat mamanya Dewa sejak SMA. Sejak mamanya Ara meninggal, sejak itu pula lah, mamanya Dewa ingin menjadikan Ara bagian dari keluarga. Seorang gadis keluar dari gedung perkantoran. Berambut panjang, dibiarkan terurai begitu saja, tampak tergesa menuju pintu gerbang, mendekap map di dada. Kulit kuning langsatnya yang kepucatan sangat mencolok, membuat Dewa beberapa detik melirik. Ketika beberapa saat berusaha menatap wajahnya yang tertutup poni, baru Dewa sadar ketika dia menemukan so

SIAP DICINTAI

Gambar
 SIAP DICINTAI Penulis : Lidwina Ro Setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Terbentuknya karakter tersebut tergantung dari latar belakang, cara pikir, dan lingkungan di mana orang tersebut bertumbuh. Mengapa bisa begitu? Hal ini disebabkan karena sejak kita diciptakan, kita adalah makhluk yang pandai meniru. Ketika masih bayi, kita semua belajar berbicara dari orang tua kita. Semua kata yang diucapkan mereka, kita tiru semua. Kita bisa berjalan juga karena meniru apa yang diajarkan orangtua. Lama kelamaan secara tidak sadar, kita meniru kebiasaan orang tua, sehingga akhirnya terbentuklah karakter kita yang sekarang. Akan tetapi karakter tidak terbentuk begitu saja. Karakter terbentuk melalui proses yang panjang, di mulai dari sejak bayi. Pernahkah melihat seseorang yang mudah dicintai, mudah disukai, atau mudah mendapat kasih sayang dari pada kita, padahal orang tersebut menurut kita, tidak memiliki kelebihan yang luar biasa? Wajah standar. Kemampuan akademik pas-pasan. Tet

INTROVERT (2)

Gambar
  INTROVERT (2) Penulis : Lidwina Ro  Aku sangat bersyukur karena aku adalah seorang introvert. Berita baiknya adalah karena tidak mahir bicara, akhirnya orang introvert cenderung tidak suka mencampuri kehidupan orang lain. Untuk setiap kalimat yang akan keluar dari mulutku, biasanya kupikir berkali-kali lebih dulu, dan kupertimbangkan baik buruknya. Apakah kara-kata yang keluar dari mulutku ini dapat melukai perasaan atau tidak, kerap kali menjadi bahan pertimbanganku. Capek, juga, ya kalau apa-apa selalu berpikir detil? Sebenarnya introvert itu bukan kelainan, kok, apalagi penyakit. Bukan. Akan tetapi introvert itu bawaan DNA dari sejak lahir. Jadi tidak perlu ragu untuk berteman dengan seorang introvert, ya! Meskipun memang agak memilih-milih teman, jika sudah cocok satu sama lain, dan merasa nyaman, maka seorang introvert bisa menjadi cerewet habis, terbuka, bersifat menyenangkan, dan bisa menjadi seseorang yang sangat fullp perhatian. Jangan remehkan introvert yang cenderung pend

INTROVERT

Gambar
INTROVERT Penulis : Lidwina Ro  Being alone is not always lonely. Sendirian itu tidak selalu kesepian. Lebih banyak diam, cuek, dan nyaman betah sendirian, adalah salah satu ciri khas diriku yang seorang introvert. Sedihnya lagi, ternyata banyak orang beranggapan dan berpandangan negatif pada jenis orang introvert seperti aku. Tidak jarang orang-orang berasumsi golongan orang introvert seperti aku adalah orang yang sombong, karena tidak suka berinteraksi, cenderung menarik diri, dan diam-diam memisahkan diri dari keramaian. Karena itulah aku tidak terlalu punya banyak teman. Akan tetapi anehnya, itu bukan masalah besar bagiku. Salah satunya karena aku sendiri berpikir, sudah wajar orang datang dan pergi dalam kehidupan ini. Maka menjadi sendirian tidaklah menyakitkan. Karena tidak suka berinteraksi dengan orang banyak, aku mencari jalan sendiri untuk mendapatkan informasi. Salah satunya banyak-banyak membaca buku. Buku apa saja. Semua genre bacaan aku suka. Apa lagi di era sekarang, sa

TEGAR (2)

Gambar
 TEGAR (2) Penulis : Lidwina Ro Elang, dokter muda yang menjadi tetangga sebelah rumah, dan sudah lama menjadi teman kecilku itu, datang ke rumahku di hari. Tiba-tiba dia menghampiriku yang sedang nonton TV dengan membawa sebungkus keresek berwarna merah. Mencium samar bau harumnya, aku segera tahu isi keresek merah itu. Martabak Bangka pasti! Sambil mengambil duduk tak jauh dariku, Elang mulai membuka bungkus martabak. Sambil lalu dia menggumam tak jelas. “Ibuku menyuruh aku cepat menikah, Mel.” “Benarkah? Gadis mana yang akhirnya menjadi pilihanmu, Lang? Kau tidak pernah mengenalkannya padaku selama ini.” “Kau sudah mengenalnya.” Mbok Gami menghampiri kami, membawa piring, lalu menata martabak di atasnya. Aku mulai tertarik dan mencoba menerka gadis-gadis mana di sekitar perumahan ini yang sudah aku kenal. “Siapa? Anak Bu Tejo yang cantik dan kuliah di UI bernama Anjani itu? Atau Nadia yang fotomodel putrinya Bu Rahmah? Eh, atau Yosida gadis keturunan Jepang yang baru pindah ke peru

TEGAR

Gambar
 TEGAR Penulis : Lidwina Ro “Lang?” Terkejut aku melihat Elang keluar dari rumahku. Sementara Mbok Gami menyusul keluar dengan wajah lega. “Mas Bagas sudah tidak panas lagi, Bu. Tadi Pak Dokter yang memberi obat,” lapor wanita tua yang setia membantuku menjagakan Bagas di saat aku ngantor. “Sementara ini Bagas sudah aman. Hubungi aku kalau demamnya naik. Oke, aku mau berangkat kerja dulu, Mel.” “Terima kasih, Lang.” Entah sudah berapa kali Elang, tetangga sebelah rumah, membantuku di saat aku tidak berada di rumah. Lelaki itu seperti dikirim Tuhan untuk menolongku di saat-saat aku mengalami kesesakan. Elang tersenyum, menatapku lama. “Jangan khawatir, Bagas akan baik-baik saja. Sudah, tengok dulu Bagas di dalam.” Aku mengangguk, dan menemui jagoan kecilku yang sudah terlelap di kamar. Belakangan ini Bagas memang agak rewel. Setiap kali aku berangkat kerja, selalu menangis ingin aku. Mbok Gami terkadang kesulitan membujuknya. “Tadi Mas Bagas memanggil-manggil terus nama papanya.” Aku

PENJARA BAYANGAN (3)

Gambar
PENJARA BAYANGAN (3) Penulis : Lidwina Ro Bayanganku dalam cermin selalu membela ibuku. Sebaliknya aku terus membela bapakku. Sudah lama aku membenci bayangan dalam cermin. Aku dan dia bahkan betah berdebat sangat lama untuk menyatukan pandangan. Akan tetapi selalu gagal berakhir damai. Karena itu aku selalu naik pitam. Malam ini aku menyeret bayanganku dari dalam cermin. Aku benci melihat wajah itu, yang katanya Bapak mirip sekali dengan Ibu. Setelah berhasil menyeret bayang itu keluar, barulah aku bisa bernapas lega. Tidak ada lagi pantulan wajah Ibu di sana. Cermin itu tidak  memantulkan bayanganku lagi. Sosok perempuan dengan seringai kecil dan berambut panjang menggantikannya. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Tapi aku senang, karena aku tidak melihat wajahku lagi di cermin itu.   *** “Ros! Bangun, Nak. Mandi dulu, dan bantu Bapak bikin sarapan.” Bapak seperti biasa memanggil. Aku membuka mata dengan malas. Setelah beberapa saat mengumpulkan kesadaran, aku duduk di sisi ranjang.

PENJARA BAYANGAN (2)

Gambar
PENJARA BAYANGAN Penulis : Lidwina Ro  Bapak tidak akan secepat itu pergi meninggalkanku, Pak! Lalu ... Apa mungkin Ibu pulang, ya, Pak?” tanyaku berusaha menekan rasa sesak dan kecewa dalam dada. Bapak sontak terdiam. Belaian tangan di punggungku juga terhenti. Untuk sejenak sunyi yang menyakitkan dada, melingkupi ruang makan. Bapak menghela napas kasar. “Ibumu sudah mempunyai keluarga baru, Ros. Kau lebih baik jangan berharap banyak.” Aku tahu bahwa Ibu sudah meninggalkan kami sejak lama. Namun jika Ibu mempunyai keluarga baru, apa Ibu juga harus tidak pulang? Jika Ibu memang enggan melihatku, lalu mengapa dia melahirkan aku? Mengapa mempertahankan aku? Sebesar itukah benci Ibu  padaku?  “Ini memang salah Bapak, Ros,” bisik Bapak sambil tersenyum getir.  Tangannya terasa gemetar saat mengelus rambutku. Seperti biasa bapak tidak bercerita banyak. Selalu ada kabut dalam matanya setiap kali membicarakan ibu. Hal ini membuatku tidak tega untuk mendesak Bapak bercerita lebih jauh lagi. Ja

TENTANG CINTA

Gambar
 TENTANG CINTA Penulis : Lidwina Ro  “Gado-gado dua, yang satu tidak pakai timun. Es teler satu, es teh satu.” Natali mendongak, tertegun menatap lelaki yang sedang memesan makanan itu. Lidahnya tiba-tiba kelu. Tak tahu harus berkata apa. Sudah sekian tahun berlalu, tetapi Alang ternyata masih ingat makanan favoritnya. Gado-gado tanpa timun dan es teler. “Kenapa? Mau aku pesankan pisang bakar keju juga?” tanya Alang bersiap-siap akan melambaikan tangan pada pelayan. Natali langsung batuk-batuk. Alang bahkan masih ingat kalau dirinya juga penggemar berat kuliner pisang. Gila. Ini sungguh gila! “Eh! Tidak usah, Lang!” “Kenapa? Takut timbangan lari maraton ke kanan?” seringai Alang berkelakar, dan langsung kusambut dengan tendangan kaki kecil di bawah meja. Alang hanya tergelak. Hm, lelaki itu selalu mampu membuat perasaanku seringan kapas. Alang tidak pernah berubah. Dia tetap kocak, dan perhatian. Bersamanya terasa tenang dan baik-baik saja. “Tapi aku tidak sebesar gentong, Lang.” Nata

SEMBILAN BULAN

Gambar
 SEMBILAN BULAN Penulis : Lidwina Ro  Keputusan Mas Rio memboyongku satu atap dengan istri tuanya, semula aku anggap tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku bisa mengangkat wajah di depan Mbak Lastri nanti? Mau di taruh mana harga diri ini, kalau istri tuanya tahu bahwa aku sudah hamil anak suaminya? (Oh, iya, aku lupa, bukankah harga diriku sudah keok saat pertama kali merelakan diri bertekuk lutut di depan lelaki yang sudah beristri?) Urat maluku sebenarnya sudah putus! Ternyata Mas Rio punya skenario sendiri. Makin ke sini aku semakin memahami, kalau cinta Mas Rio berat sebelah. Tentu saja yang terbesar untuk Mbak Lastri. Cara Mas Rio memperlakukan aku dengan Mbak Lastri juga sungguh berbeda. Setelah beberapa bulan hidup bersama Mbak Lastri, aku sungguh-sungguh dibakar rasa cemburu tingkat dewa, karena aku terlanjur mencintai Mas Rio. Apa sebenarnya keistimewaan dari istri tuanya itu? Wajahnya standar, cenderung datar dan tenang. Tubuhnya jelas sintal aku. Kalau aku tidak punya nila

CERITA CINTA

Gambar
CERITA CINTA Penulis : Lidwina Ro Dengan tajam mata Bima memindai satu persatu gadis yang keluar dari gerbang kampus. Tekatnya sudah bulat untuk menemui Arumi dan meluruskan semuanya. Sudah terlalu lama masalah ini mengambang tidak jelas. Memang hampir tiga tahun Bima tidak pulang ke Indonesia. Bima terpaksa bertahan di negeri orang. Selain papanya mengharapkan dirinya menuntut ilmu di universitas terbaik, apalagi kalau tidak karena pandemi. Tetapi semuanya bisa jadi akan memburuk jika dia tidak segera pulang, dan segera menyelesaikan masalah dengan tegas. Akhirnya Bima menemukan sosok kurus itu di antara teman-temannya. Matanya tidak mungkin salah. Meskipun rambut Arumi sekarang panjang, bagi Bima semua yang ada pada Arumi, tidak pernah berubah. Tetap sama. Dia tetap Arumi kekasih hatinya semasa SMA. “Rum!” Arumi menoleh, kepalanya berputar mencari-cari sumber suara yang sudah dikenalnya lama itu. Bima tidak bergerak. Dia hanya diam dan tersenyum, menikmati Arumi yang penasaran

SESUNGGUHNYA CINTA

Gambar
 SESUNGGUHNYA CINTA Penulis : Lidwina Ro Mata yang bersinar hangat dan tingkah sedikit manja itu tidak mudah untuk diabaikan. Apalagi wajahnya sangat cantik. Selain tidak mudah marah, Raisa juga tidak mudah menyerah. Hal yang ini sangat menguji nyali Deni. Sudah lama Raisa berusaha mendekatinya dengan halus. Di antara beberapa gadis yang mencoba mendapatkan hatinya, Raisa adalah yang istimewa. Sebuah kue tar ulang tahun mungil dan sebuah kado di terimanya dari kurir pagi tadi. Dua tahun ini Raisa selalu rutin melakukannya. Jelas Deni tahu apa yang tersirat dalam hati Raisa. Sepulang mengantar Raisa pulang setelah mereka makan malam, Deni memeriksa pesan yang masuk dari ponselnya. Diam-diam menghela napas kecewa, saat yang diharapkannya tak terjadi. Sungguh konyol! Sejujurnya sepanjang hari Minggu ini, dirinya resah. Kalau saja dia bisa membedah isi hatinya sendiri, akan dicungkil dan ditendangnya jauh-jauh rasa itu. Bagaimana mungkin dirinya masih saja teguh menyimpan rasa itu dari d

BUDI DAN ANI

Gambar
 BUDI DAN ANI Penulis : Lidwina Ro  Itu bapak Budi. Dia seorang penjual tempe mendoan di pinggir jalan, tepatnya di depan ruko Vila Mutiara. Mulai sore sampai tengah malam gerobaknya setia nongkrong di situ, untuk menjaring rezeki buat kehidupan anak istrinya. Budi sering ikut membantu dan menemani bapaknya berjualan tempe mendoan. Tak lupa Budi selalu membawa buku pelajarannya. Kalau dagangan lagi sepi pembeli, Budi pasti dengan sigap memanfaatkan waktu untuk mengerjakan PR, atau membaca-baca buku pelajarannya untuk keesokan hari. Tak heran kalau Budi menjadi salah satu dari anak berprestasi di sekolahnya. Ani adalah teman sekelas Budi, yang rumahnya tidak jauh dari ruko tempat gerobak bapaknya Budi mangkal. Bila kesulitan mengerjakan PR, dia tidak segan-segan mencari Budi di depan ruko, untuk membantunya mengerjakan PR dan belajar bersama-sama.  Bapaknya Budi mendukung dan ikut senang melihat kedua anak itu begitu akrab dan rajin belajar di belakang gerobaknya. Sesekali dia ikut ters

BAYU HILANG

Gambar
 BAYU HILANG Penulis : Lidwina Ro “Apa kau laingin makan?” Nenek berkebaya merah berambut panjang tersenyum, mengelus kepala seorang anak kecil. Di depan mereka terdapat pasar yang menjual bermacam-macam makanan lezat. Meskipun bingung, anak kecil yang tumbuh dari keluarga kekurangan itu menatap takjub. Bau harum sate dan cilor gulung kesukaannya, membuatnya lapar. Tempat apa sebenarnya ini? Mengapa ada pasar di tengah hutan? Lalu, bagaimana dia bisa sampai ke hutan ini, ya? Apa yang terjadi? Yang dia ingat hanya samar-samar bayangan ibunya saja. Anak kecil itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dengan wajah yang masih bingung, dia menatap wanita tua di dekatnya itu. “A-aku di mana, Nek?” tanyanya celingukan ke kanan dan ke kiri, sambil memegang perutnya yang mulai lapar. Bau harum makanan semakin lama semakin menggoda. Nenek tertawa cekikikan. “Ayo, ayo kita ke sana. Kamu boleh makan sepuasmu, juga beli mainan kesukaanmu. Pilih yang paling bagus. Bagaimana? Kau mau, kan?

SEBUAH LUKA

Gambar
 SEBUAH LUKA Penulis : Lidwina Ro “Dingin sekali di sini. Salju mulai turun. Sebelum tidur, katakan kalau kau baik-baik saja.” Jemari Arumi membeku ketika membaca pesan yang baru masuk itu. Mencoba mencerna hati-hati, apa sebenarnya yang ada di balik kata-kata tersebut. Seperti biasa, lelaki itu selalu mengatakan kalimat yang sederhana tetapi dalam maknanya. Bolehkah dirinya menjawab jujur, bahwa semua sedikit berantakan ketika perpisahan terjadi? “Rum, ada Deni di depan.” Tiba-tiba Tante Ami membuka pintu kamar Arumi. “Apa? Hujan-hujan begini?” Arumi terkejut. “Makanya itu Tante suruh masuk. Pinjami handuk, sana.” Arumi melesat ke ruang tamu setelah menyambar handuk bersih. Benar saja, Deni tengah duduk sambil mengibaskan rambutnya yang setengah basah. Lelaki itu mengucap terima kasih saat Arumi mengulurkan handuk. Sementara Arumi menerka-nerka mengapa Deni senekat ini. Bagaimana kalau sakit flu nanti? “Sudah, aku gak apa-apa, ini cuma hujan. Aku baru saja mengantar Raisa beli buku.

RUMUS CINTA

Gambar
 RUMUS CINTA  Penulis : Lidwina Ro  Apa yang orang lakukan untuk mendapatkan cinta? Menjadi diri sendiri? Menjadi versi terbaik? Berani berjuang dan berdoa? Rela berkorban? Bagaimana dengan sedikit rayuan? Ah, jawabannya klise semua. Jujur Raisa sedang berpikir, dari mana dia harus memulai, dan bagaimana cara membuat seseorang mencintainya. Apa yang harus dilakukannya secara riil, sehingga hatinya tidak perih melihat orang yang disayanginya ‘jadian’ dengan orang lain? Jadian? Tunggu dulu! Belum tentu Deni jadian dengan gadis kurus berkulit pucat yang dikenalkannya kemarin, kan? Tetapi melihat cara Deni menatap, Raisa merasa ada sesuatu di antara mereka.  Ah, jika saja urusan cinta seperti mengerjakan soal matematika yang rumusnya jelas. Semua pasti mudah, karena mencintai bisa dilakukan step by step. Ketika hasilnya tidak sesuai, maka bisa dicek kembali apakah sudah sesuai dengan rumusnya atau belum. Tinggal mencari letak kesalahannya, dan memperbaiki, lalu semua akan beres. Sayangnya

TERSEMBUNYI

Gambar
 TERSEMBUNYI Penulis : Lidwina Ro Meskipun berbeda jurusan, ternyata mereka berada di dalam kampus yang sama. Ini di luar prediksi Arumi. Setelah dua tahun berlalu, akhirnya dia harus berhadapan dengan sosok lelaki bermata tajam itu lagi. “Aku antar pulang, ya, Rum?” Arumi yang sedang menikmati bakso di kantin kampus, mendadak tersedak. Buru-buru disambarnya gelas es jeruknya. Sementara lelaki yang sudah mengambil duduk tepat di depannya itu menatap khawatir, bahkan mengulurkan tisu pada Arumi karena melihat banyak keringat di sekitar dahi Arumi. “Terima kasih, Deni,” “Kurangi sambalmu, Rum. Apa kau lupa kalau kau punya maag?” Meskipun menghardik, tapi nadanya sayang. Arumi menyeringai, dan melanjutkan makan. Tak mengira kalau Deni masih ingat tentang riwayat penyakitnya. Meskipun terlihat cuek, Deni memang perhatian. Dari dulu. Seorang mahasiswi menyapa dan menghampiri kursi mereka. Wajahnya cantik. Menatap Deni dengan mata bersinar manja. Arumi menilai sembilan untuk tubuhnya yang s

DALAM BAYANG

Gambar
  DALAM BAYANG Penulis : Lidwina Ro  “Ros, ayo makan dulu!”  Suara Bapak mengagetkan aku yang sedang termenung sambil memandangi diri di depan cermin. Betapa waktu cepat berlalu, dan masih tidak ada hal istimewa yang terjadi.  Ternyata sudah waktunya untuk kembali menghadapi kenyataan. Kuhela nafas dengan malas. “Iya, Pak,” sahutku, tanpa ingin beranjak sedikit pun.  Bukan karena aku senang berlama-lama di depan cermin untuk mengagumi wajahku yang putih mulus dan cantik. Bukan. Sebaliknya aku malah membenci wajahku sendiri. Kata Bapak, wajahku mirip sekali dengan Ibu. Berkulit putih bersih dan bermata sayu. Rambutku juga sama. Halus dan hitam. Kata Bapak, dulu ibuku adalah bunga desa. Banyak pemuda yang ingin menjadikan ibuku pasangan hidup. Tetapi entah mengapa, ibuku tidak memilih satu pun pemuda di desa ini. Kata Bapak, ibu tidak ingin menikah muda, dan lebih memilih bekerja di kota, mencari uang.  Aku meraih kruk, dan mengempit di sela ketiakku, lalu melangkah ke meja makan. Bapak

MAWAR

Gambar
 MAWAR Penulis : Lidwina Ro Ah, Mawar lagi, keluh Deni dalam hati. Anugerah atau musibahkah, kalau sore ini dirinya berjumpa Mawar kembali. Deni sulit mendeskripsikan perasaannya. Mawar duduk manis di bangku halte bus, tersenyum tengil saat melihat kedatangan Deni. Sambil menunggu bus shuttle jurusan Komdak nongol, Deni berpura-pura membaca buku. Walaupun Deni tidak menoleh, tetapi dia tahu Mawar sudah berada di sebelahnya. “Baca apa, Mas Ganteng?” Nah, kan, mulai kumat isengnya. Tubuh Mawar sampai condong ke depan, penasaran karena ingin membaca judul buku yang sedang dipegang Deni. Ketika Deni tidak merespons, tangan Mawar mulai jahil, menarik-narik ujung buku. “Jangan resek, Mawar.” Mawar tertawa senang, lalu mencebik. “Apa bukumu itu lebih penting dari pada aku, Mas Ganteng?” Deni hanya melirik sekilas, lalu meneruskan membaca. “Sudah bosan mengobrol denganku, ya, Mas?” “Kau sudah banyak menceritakan kisah hidupmu. Apa ada yang baru?” Sudah seminggu ini Mawar memang telah bercelo

ARUMI

Gambar
 ARUMI Penulis : Lidwina Ro “Ada apa ini Arumi?” Diam-diam Arumi bernapas lega juga mendengar suara dingin yang sudah amat dikenalnya, terdengar dari arah belakangnya. Sementara Deni di depannya, hanya bisa mendengkus menahan kesal. Raut wajahnya jelas-jelas memancarkan protes saat niatnya mengantar pulang terhalang oleh Bima. Tapi siapa juga yang mau berurusan dengan Bima, si jago karate dari kelas tiga IPA itu? “Apa urusannya dia sekarang denganmu, Rum? Bukankah kalian sudah putus?” desis Deni sambil melirik Bima. “Tolong pergi saja, Den. Jangan bikin ribut di sini. Aku juga bisa pulang sendiri. Tidak perlu kau antar,” lirih Arumi memohon. Setengahnya mengusir, juga setengah khawatir kalau mereka sungguh-sungguh adu mulut. Deni menatap Arumi sekilas, lalu mengalah pergi ketika langkah Bima kian mendekat ke arah mereka. “Apa dia mengganggumu, Arumi?” tanya Bima sambil mengawasi langkah Deni yang menjauh. “Eh, enggak, kok.” Bima membungkuk, menelisik tajam mata gadis itu. Lagaknya se

MURAH HATI

Gambar
 MURAH HATI Penulis : Lidwina Ro Liburan telah usai. Sebelum kembali pulang, aku ziarah dulu ke makam Bapak. Gundukan tanah berselimutkan rumput jepang pendek dan rapi itu, sekarang bertambah pemandangan. Kini dinaungi oleh pohon kemboja kecil, dan dua tanaman perdu berwarna kuning kemerahan di sisi kanan kirinya. Aku yakin tanaman-tanaman tersebut ditanam oleh sahabat alm. Bapak. Alm. Bapak adalah seorang dosen. Sosok sederhana dan murah hati. Aku yakin jarang ada orang yang seperti Bapak, karena di antara teman-teman seprofesi dengan Bapak, hanya Bapak sendirilah yang tidak segan menampung mahasiswa-mahasiswanya yang kurang mampu, terutama yang berasal dari luar kota dan luar pulau. Salah satu yang aku kenal, berasal dari Nias. Jika setiap liburan anak sekolah, aku pulang ke rumah, selalu mendapati mahasiswa yang tinggal bersama Bapak dan Ibu secara berkala. Bapak menampung mereka, menyediakan makan gratis, bahkan membiayai kuliah bagi mereka yang berprestasi tetapi tidak mampu. Keb