KELIRU


 

KELIRU

Penulis : Lidwina Ro


Dengan cepat aku melahap ludes sepiring nasi goreng pedas tanpa lauk yang sudah disediakan Ibu di meja makan. Nasinya sedikit keras, juga sudah dingin. Pasti sisa nasi kemarin malam. Tapi tak apa-apa, lumayan lah, buat mengganjal perut. Setidaknya perutku tidak akan berbunyi di kelas nanti, dan tidak akan menjadi tertawaan Wawan, teman sebangkuku yang suka jahil itu. Segelas besar air putih mengakhiri sarapan singkatku. Nah! Kenyang sudah. Bergegas aku menyambar tas sekolah. Tidak lupa bercermin sebentar, tidak lupa menyisir rambut dengan telapak tangan.

Tidak perlu pamit pada siapa-siapa, karena Bapak pasti sudah pergi menggarap sawah milik Pak Haji dari tadi pagi, sedangkan Ibu juga pasti sudah berangkat ke pasar menjual sayur mayur dan singkong, hasil panen dari kebun belakang yang tidak seberapa luas itu. 

Kalau Mbak Lisna sudah pasti sekolah duluan, karena Mbak Lisna harus berangkat lebih pagi, karena setiap hari dia selalu menitipkan pisang goreng dan nagasari buatan Ibu, ke warung Bude Sri, juga ke kantin sekolah. Kata Mbak Lisna, dari keuntungan menjual pisang goreng nanti, barulah aku dijanjikan beli sepatu baru.

Segera aku menali sepatuku -yang sudah sobek di sisi kanan luar- lalu mengunci pintu depan, dan menyisipkan kuncinya di balik keset yang terbuat dari sabut kering kelapa, persis di depan pintu. Nah, sekarang baru beres. Diam-diam aku menyeringai  sendiri. Sabar sedikit lagi, tunggu tabungan Mbak Lisna cukup dulu. Sabar.

Ketika mencapai pintu pagar, mataku menangkap sebuah mobil yang baru keluar dari garasi, di ujung jalan. Rumah baru yang bagus, dan dihuni belum lama,  masih beberapa bulan yang lalu. Aku sengaja berjalan lambat. Seperti biasa mataku berjaga-jaga melirik ke sisi jalan. Hanya untuk melihat anak lelaki berseragam sekolah swasta, yang setiap hari lewat dengan di antar mobil.

Benar saja. Jendela mobil paling belakang terbuka, dan aku bisa melihat anak lelaki itu tersenyum saat mobilnya melewatiku. Senyum pendek saja, karena mobil terus melaju. Tidak ada sapa basa basi, apalagi lambaian tangan hangat. 

Ada yang aneh pada anak lelaki itu. Mengapa dia tidak pernah menegur sama sekali, ya? Harusnya pendatang baru itu sedikit lebih ramah. Huh! Gemas aku melihat ulah sombong anak orang kaya yang mengabaikanku itu. Tidak tahu sopan santun!

  ***

Cikarang, 241122

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU