RAHASIA HATI (2)


 RAHASIA HATI (2)

Penulis : Lidwina Ro 


“Siapa dia, Yo?” tanya Ibu saat melihat ada seorang gadis yang berdiri di teras dengan banyak tas, penuh berisi oleh-oleh, yang tergeletak di lantai. 

Aku tersadar, baru ingat kalau aku mengajak Raisa. 

Ketika aku mengenalkan Raisa, wajah Ibu tampak berubah berseri-seri, lalu mempersilakan masuk. Kata Mbah Uti, sudah lama ibuku ingin seorang cucu. 

Melihat Raisa, wajah Mbah Uti tampak datar. Dia hanya diam, tertegun, dan menelisik ke arah Raisa, lalu lama menatap mataku, tetapi tanpa sepatah tanya. Aku jadi menebak-nebak, kira-kira apa yang ada dalam sepotong hati tua ini?

  ***

Persis seperti dugaanku, Wulan ada di tempat favorit kami, enam tahun yang lalu. Duduk di salah satu bangku besi tua, dan menghadap jauh ke depan danau. Sebuah sepeda motor, terparkir asal di dekatnya. Berita kedatanganku ternyata cepat sampai juga di telinganya. Hatiku berdebar kencang. Apakah dia datang ke danau ingin berbicara denganku? Rindukah Wulan setelah enam tahun aku menghilang?

Ketika mendengar langkah kakiku yang mendekat, Wulan menoleh. Wajahnya tampak berubah pucat, dan dia buru-buru berdiri. Belum sempat dia kabur, aku lebih cepat mencekal lengannya. Wulan berusaha meronta, melepaskan diri. Hatiku sakit ketika menyadari Wulan berniat menghindariku. 

“Apa kabarmu, Lan?” Aku menepuk bahunya dengan hati-hati, menenangkannya.

Menyadari aku bersikap kalem, Wulan perlahan-lahan mengurangi kepanikannya. Dia mendongak ragu. Dan ... demi Tuhan, melihat kedua matanya yang bening itu berair, hatiku menjadi bertambah sakit. Sesakit inikah cinta?

“Kau baik-baik, kan?” tanyaku lagi separuh mendesak. Jujur aku ingin mendengar suaranya.

Tetapi Wulan hanya mengangguk, dan tidak meronta lagi. Rasanya ingin aku benamkan kepalanya dalam dekapanku, lalu menghirup dalam-dalam aroma rambutnya seperti dulu. Seperti sebelum bapak Wulan yang sombong itu menghina aku yang anak haram ini, dan mengawinkan Wulan dengan, anak orang kaya berpangkat tinggi.

“Duduklah dulu, Lan.”

“A-aku harus pulang. Aku ... eh, anakku ....”

“Sebentar saja, Lan.” Entah mengapa aku harus memohon. Bukankah Wulan sudah menjadi milik orang lain? Kata Mbah Uti, Wulan bahkan sudah punya anak satu.

“Tidak pantas jika nanti ada orang yang melihat kita. Kamu ... kamu juga akan menikah, kan?” desah Wulan. Kali ini dengan membuang muka ke arah danau yang makin terlihat gelap. Hm, ada apa dengan Wulan? Apa dia masih mencintaiku? 

(Bersambung)

Cikarang, 291122

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU