BAWAH SADAR (1)
BAWAH SADAR (1)
Penulis : Lidwina Ro
Jam dinding kuno di ruang tengah berdentang nyaring sepuluh kali. Aku mencoba memejamkan mata, tetapi entah mengapa aku sulit untuk tidur kembali. Suara jam dinding yang baru saja senyap itu seolah menggiringku untuk tetap terjaga.
Aku membalikkan punggung. Menatap bingung pada Mas Nu yang tidur dengan pulas di sebelahku. Heran, mengapa Mas Nu tidak terganggu sama sekali oleh jam kuno yang memekakkan telinga itu? Atau jangan-jangan, Mas Nu terlalu lelah karena perjalanan panjang tadi? Aneh sekali, mengapa hanya aku yang terbangun?
Sebenarnya kamar yang sudah disiapkan kakek untuk kami berdua, sangat nyaman. Udara pedesaan lumayan dingin, sehingga tanpa AC pun, aku bisa tidur dengan nyaman. Sirkulasi udara di atas jendela cukup besar membawa aliran dan pergantian udaranya. Hanya saja ... aku tidak suka dengan suara jam dinding kuno milik kakek. Suaranya terlalu seram di waktu malam. Besok aku akan bertanya pada Kakek, mengapa kakek sangat menyukai jam dinding kuno ini.
Liburan sekolah kali ini pasti seru. Besok pagi-pagi sekali aku akan menemui Rizal (anak sebaya denganku, tetangga tiga rumah dari rumah Kakek) dan mau ikut dia memancing di kali, seperti dulu lagi. Aku bahkan sudah menyiapkan dua buah topi untuk besok kami pakai berdua ketika memancing. Besok akan menjadi hari yang seru!
Hampir saja aku memejamkan mata, ketika sayup-sayup mendengar suara lemparan kerikil yang tak terlalu keras dari arah jendela. Mataku sontak terbuka lebar. Kutajamkan telinga, mencoba menangkap suara lemparan kerikil itu sekali lagi tanpa mengubah posisi tidur. Sedetik, dua, lima, sepuluh detik ... tetapi yang ada hanya suara katak di luar sana. Tidak ada suara lain.
Ah, ya, tentu saja, ini sudah larut malam, mungkin aku salah dengar. Kutarik selimut sampai atas dagu, dan mencoba memejamkan mata.
Suara kerikil kembali membentur kaca jendela kamar. Tidak sekali, akan tetapi dia kali. Aku pun tersenyum, dan duduk di tepi kasur. Kakiku menggaet ke sana ke mari, mencari sandal dalam kegelapan. Aku mengenal kode lemparan kerikil itu. Tidak salah lagi, itu kode dari Rizal. Cepat sekali dia tahu, kalau sore tadi aku baru datang dari kota.
Buru-buru aku menekan tombol lampu. Terang seketika menerangi dalam kamar. Bergegas aku melangkah ke jendela. Membuka dengan cepat gerendelnya. Dan ...
(Bersambung)
Cikarang, 271122
Komentar
Posting Komentar