Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2022

JIKA CINTA

Gambar
JIKA CINTA (3) Penulis : Lidwina Rohani Ratih memang manis dan pandai membujuk. Sepasang matanya yang berkilau dan kekanakan itu selalu cepat meluluhkan hatiku.  “Iya, iya. Terima kasih, Ras. Aku benar, kan? Aku tahu Mas Raga pasti percaya padamu.” “Aku yang tidak percaya padamu, Tih!” gerutuku kesal. Dan tawa Ratih pecah sambil berguling-guling di atas kasur.  “Makanya jangan belajar terus, Ras. Mulai cari pacar sana, supaya tahu rasanya berpacaran!” “Ah, dasar. Enak saja kalau ngomong. Lulus saja kita belum.” “Lalu sampai kapan kau jomlo? Tahun depan kita, kan, sudah lulus SMA. Apa kau mau bercita-cita jadi suster dan hidup di biara? Mau?” Aku meringis sambil melempar guling ke kepala Ratih. “Kalau aku jadi suster di biara, lalu siapa yang akan membantumu kabur pacaran Tih?” sungutku tak mau kalah. Mata Ratih membulat, sedetik kemudian dia tertawa. Dan kami berdua tergelak bersama-sama. Berguling-guling di atas kasur sambil saling menyerang dengan bantal dan guling.   *** Ratih turun

JIKA CINTA

Gambar
 JIKA CINTA (2) Penulis : Lidwina Rohani Karena mamanya Ratih sudah lama meninggal, dan papanya selalu sibuk bekerja di perusahaan milik keluarga, maka Ratih lebih banyak tumbuh dan bergaul bersama Raga di rumah. Tidak heran jika Raga menjaga adiknya dengan sangat ketat. Hal itu membuat Ratih menjadi agak kurang nyaman. Mau bagaimana lagi? Bukankah Ratih adik satu-satunya Raga? “Laras?” Aku menoleh kaget. Lupa kalau aku berada di rumah Ratih sekarang. Melihat mata Raga yang langsung berkeliling menjelajahi kamar, aku tahu siapa yang sedang dicarinya. “Mana Ratih?” “Eh, itu, masih mandi.” Gugup aku menunjuk ke kamar mandi di sebelah sudut ruang kamar. Apa sekarang saja, aku memberitahu Raga? Katakan dengan cepat, agar rasa gugupnya tidak kelihatan. Pokoknya jangan sampai ketahuan kalau berbohong. Bisa kacau jika terbongkar. “Ada apa?” tanya Raga memutus ramainya isi pikiranku. Masih di ujung pintu kamar, Raga menyipitkan mata. Menatap lurus, tepat ke arahku, seolah-olah sudah mengendus

JIKA CINTA

Gambar
JIKA CINTA Penulis : Lidwina Rohani  Sebenarnya aku ragu dengan ide Ratih. Bagaimana mungkin sahabatku itu menyuruh aku untuk berbohong pada Raga, kakaknya? Tujuan sebenarnya, sih, sederhana. Aku hanya akan dijadikan Ratih sebagai tameng, untuk tiketnya keluar malam Minggu dengan Anggara pacar barunya yang tengil tapi ganteng itu.  “Ayolah, Ras, tolong aku sekali lagi,” bujuk Ratih manis sambil memeluk dan menepuk-nepuk lembut bahuku. Aku mendengus sebal. “Nanti aku traktir bakso seminggu, deh!” Aku makin mendengus. Ratih selalu punya cara untuk melancarkan rencananya. “Oke, dua Minggu, Ras! Dua Minggu, aku traktir bakso di kantin sekolah kita.” Aku mendelik kesal. Selain pintar hampir di semua pelajaran sekolah, Ratih juga cerdik. Dia selalu tahu bagaimana cara mencari jalan keluar. Juga tahu cara melemahkan hati orang. Tapi siapa yang tidak tahu Raga, kakak Ratih yang galaknya minta ampun itu? Pitbull saja kalah galak. Kalau Raga sampai curiga, matanya yang setajam silet itu akan san

DI BALIK PELANGI

Gambar
 DI BALIK PELANGI Penulis : Lidwina Rohani Luna menatapku lekat. Berharap aku bisa menjawab pertanyaannya dengan cepat. Matanya yang hitam menunggu dengan penuh harap. Aku hanya bisa tersenyum getir. Lalu apa yang harus aku jelaskan pada adik kecilku, sedangkan diriku sendiri juga tidak tahu pasti jawabannya. “Makanlah dulu,” ujarku sambil mendorong sepiring nasi goreng yang masih hangat, lebih dekat ke arah Luna. Sebenarnya aku hanya ingin Luna lupa pada pertanyaannya. Mana mungkin aku bisa memberi jawaban yang diinginkannya, sedangkan pikiranku saja sudah buntu. Anak berusia enam tahun itu langsung cemberut. “Nasi gorengnya tidak pedas, kok,” ujarku membujuk, sambil mencubit pipinya yang putih itu. Aku tahu sekali kalau Luna tidak suka pedas.  “Jadi mengapa Mama belum pulang, Kak Lira? Mama tidur di mana?” tanya Luna untuk yang ke dua kalinya. Hm, rupanya anak TK itu masih menunggu jawaban. “Mama ke luar kota, ada tugas dari kantor,” sahutku asal, sambil mulai mengunyah nasi goreng.

ROMANSA ABU-ABU

Gambar
ROMANSA ABU-ABU (2) Penulis : Lidwina Rohani Tante Rara. Seketika kepala Yoan melintas bayangan seorang wanita yang lembut dan penuh senyum. Tante Rara adalah sahabat ibunya, sekaligus mamanya Rei. Memang sudah lama Yoan tidak pernah lagi mengunjungi Tante Rara, sejak .... Ah, Yoan menghela nafas berat, dan mengalihkan tatapannya pada langit yang mendung. Dia berusaha untuk tidak mengingat-ingat lagi peristiwa yang menyakiti hatinya itu. “Kau tidak apa-apa, Yo? Mau singgah ke rumahku dulu? Nanti aku yang mengantarmu pulang.”  Yoan berusaha tersenyum, mencoba menampilkan bahwa dirinya baik-baik saja.  “Tidak kangen Mama?” lanjut Rei.  Yoan kembali tersenyum. Tentu saja dirinya merindukan Tante Rara. Sangat rindu. Tetapi tentu saja tidak diantar oleh Rei.   “Tidak bisa sekarang, Rei. Aku harus buru-buru pulang sekarang. Aku harus membantu ibuku membuat pesanan kue.” “Baiklah, kalau begitu aku akan langsung mengantarmu pulang. Tunggu di pintu gerbang, aku ambil motor dulu.” “Eh!” Yoan mem

Romansa Abu-abu

Gambar
  ROMANSA ABU-ABU (1) Penulis : Lidwina Rohani Yoan menoleh saat lengannya ditarik dari arah belakang. Sebenarnya tidak terlalu keras, tetapi tetap saja membuat gadis berambut legam sepunggung itu sedikit terkejut. Dengan halus dia melepaskan cekalan tangan Tio. Dia bahkan mempercepat langkah, bergegas ke arah gerbang sekolah. Dia harus cepat mengejar angkot untuk pulang, karena langit sudah berwarna gelap. Mendung. Sebentar lagi pasti hujan. “Tunggu dulu Yoan!” “Ada apa?” tanya Yoan heran.  Tio dengan sigap menjajari langkah Yoan. “Kenapa buru-buru pulang?” “Mau hujan.” “Kalau begitu, boleh aku antar kamu pulang?” Yoan menoleh kembali, sambil membetulkan letak kaca matanya, dia menatap Tio keheranan. Mengapa belakangan ini Tio selalu membuntutinya?  “Terima kasih, tapi tidak usah,” tolak Yoan halus, lalu meninggalkan Tio begitu saja. “Yoan, tunggu!” Sekali lagi Tio menarik lengan gadis kurus itu, sampai Yoan memekik kaget.  Beberapa siswa mulai ada yang memperhatikan mereka. Yoan ters

KEBUN SAWO BUDE TINAH

Gambar
  KEBUN SAWO BUDE TINAH (5) Penulis : Lidwina Rohani “Ya Tuhan, Nastiti! Apa kau baik-baik, Nak?”  Dengan satu rengkuhan, tubuhku sudah berada di dalam pelukan wanita gemuk itu. Agak sesak, dan aku sulit bernapas, akan tetapi aku senang dan lega karena Bude Tinah menemukanku. “Apa yang terjadi, Ti? Perasaan Bude tadi tidak enak, lalu menyusulmu. Bude lihat belanjaan dan payung pelangimu tergeletak di depan kebun sawo. Mau apa kamu malam-malam masuk ke kebun sawo?”  “Sebenarnya Titi tadi hanya ingin melihat Arum sebentar. Kata Pak Jo, rumahnya dekat. Jadi aku pergi ke rumah Arum, tetapi tiba-tiba aku tidak bisa berjalan. Lalu ... lalu Arum datang menolongku.” Mataku berkeliling, mencari sosok Arum. Loh? Ke mana Arum? Ke mana anak kecil itu? Aku bahkan belum sempat menanyakan mengapa dia menangis tadi. Duh! Mata Bude sontak membelalak. Bola matanya nyaris keluar saat aku menyebut nama Arum dan Pak Jo. “Pak Jo? A-Arum? Bagaimana kamu mengenal mereka, Ti? Duh, Gusti ....” Dengan sigap Bude

KEBUN SAWO BUDE TINAH

Gambar
  KEBUN SAWO BUDE TINAH (4) Penulis : Lidwina Rohani Ketika menunduk aku menangkap ada yang bergerak halus di sekitar mata kaki. Setengah membungkuk aku mencoba mengamati benda panjang lunak yang perlahan-lahan  mulai membelit kaki. Ya Tuhan, apa ini? Dari mana datangnya akar seaneh ini? Mengapa akarnya bisa hidup dan bisa melilitku? Aku mencoba mengentakkan kaki, tetapi akar itu makin membelit. Sebelah kakiku yang cacat tidak mampu menendang atau melarikan diri. Akar yang tidak terlihat jelas itu bahkan menjatuhkan aku di atas tanah. Aku terkejut dan memekik keras kesakitan. “Lepaskan aku! Lepaskan!” jeritku ketakutan. Tetapi kebun sawo Bude Tinah terlalu luas. Apa mungkin ada orang yang bisa mendengarku? Segera aku memegang semak belukar di sekitar, agar bisa bertahan di tempat. Entah dari mana asal akar-akar itu, akan tetapi yang aku takutkan adalah ... akan dibawa ke mana aku? Sambil meronta-ronta berusaha melepaskan diri, menendang dan berteriak, aku mulai menangis ketakutan.  Tib

KEBUN SAWO BUDE TINAH

Gambar
KEBUN SAWO BUDE TINAH (3) Penulis : Lidwina Rohani  “ Boleh aku bertemu dengan Arum sebentar, Pak?” Pak Jo tersenyum menatapku lekat, sambil terus mengipas sate. “Pak Jo masih sibuk, Neng. Ini sebentar lagi ada yang mau ambil pesanan sate. Tadi masnya pergi sebentar, beli pulsa di ruko.” “Tidak jauh, kan, rumahnya?” desakku masih penasaran dengan tangisan Arum. “Apa berani Neng Titi ke sana sendirian? Itu ... rumah Pak Jo kelihatan dari sini.” Aku mengikuti arah telunjuk Pak Jo. Dari kejauhan aku dapat melihat samar-samar cahaya lampu rumah di belakang kebun sawo Bude Tinah. Sekelebat wajah Bude Tinah terbayang di sudut mata. Ah, tapi aku janji tidak lama. Cuma untuk melihat sebentar dan menghibur Arum lalu balik pulang. Bibi Naning juga tidak mungkin mencariku. Gerimis halus mengantar langkahku menuju rumah Pak Jo.  Semak belukar di sisi jalan setapak tidak begitu rimbun dan mengganggu, sehingga memudahkan langkahku mengarah ke kebun sawo Bude Tinah. Senja sudah berganti malam. Temank

Kebun Sawo Bude Tinah

Gambar
KEBUN SAWO BUDE TINAH (2) Penulis : Lidwina Rohani  “Sate, Neng Titi?”  Aku menoleh. Di seberang jalan tampak Pak Jo sedang asyik mengipasi sate ayam. Baunya semerbak lezat sampai ke mana-mana. Perpaduan antara bumbu kecap, daging ayam dan bara arang yang pas, sehingga mampu menggoda hidung siapa saja yang kebetulan menghirupnya. Menerbitkan rasa lapar. Ah! Aku tersenyum lebar. Sontak mataku melebar dan celingukan. Netraku berusaha menembus sore yang mulai gelap. Tapi ... di mana dia? Di mana anak perempuan kecil yang pernah ikut Pak Jo berkeliling seperti yang kujumpai beberapa waktu yang lalu itu? Mengapa hari ini dia tidak kelihatan? Pak Jo terkekeh geli melihat gelagatku. Tangannya masih sibuk mengayunkan kipas bambu ke kanan-kiri pada permukaan sate. Gerimis kecil agaknya tidak mampu memadamkan bara arangnya. “Mencari Arum?” tanya Pak Jo mengulum senyum. “Iya. Cucunya Pak Jo tidak ikut?”  “Hari ini tidak. Arum lagi mengambek, Neng.” Aku lalu menyeberang jalan. Menghampiri gerobak

PENUMPANG

Gambar
 PENUMPANG  Penulis : Lidwina Rohani Bus malam mulai memasuki terminal hampir jam dua pagi. Tujuan akhir telah sampai. Hanya beberapa orang saja yang tersisa di dalam bus. Penumpangnya semua laki-laki, kecuali aku dan seorang nenek yang tadi duduk tepat di belakangku. Selama perjalanan nenek itu batuk-batuk terus, sehingga aku jadi tidak bisa tidur. Apalagi penumpang di sebelahku terus menerus menggangguku dengan banyak pertanyaan. Membuatku tidak nyaman selama perjalanan. Aku pergi ke sudut terminal, mencari sosok adikku yang katanya mau menjemput. Jangan-jangan dia ketiduran. Mengapa teleponnya tidak diangkat? “Rumahnya mana?” Aku yang kesal karena tidak berhasil menghubungi adikku, menutup ponsel, dan menatap curiga pada pemuda itu. Pemuda yang duduk di sebelahku di bus. Ah, mengapa dia lagi? Bergegas aku menghindari pemuda yang lengannya penuh tato itu. Tapi dengan sigap, pemuda itu menghalangi jalanku sambil mulai tertawa aneh. Ketakutan, aku mundur. Celaka! “Serahkan tasmu, Cant

BUS SILUMAN

Gambar
  BUS  SILUMAN Penulis : Lidwina Rohani Keningku berkerut saat tiba-tiba dari kegelapan, sebuah bus melambat dan berhenti tepat di depanku. Bis Gareng rupanya. Sebuah bus tanggung dengan penumpang yang lumayan penuh. Sang kenek menyembulkan kepala, sambil melambaikan tangan. “Jombang, Mbak?” Aku tertegun. Padahal aku tidak merasa mencegat bus itu. Tetapi kenek itu seperti paranormal yang tahu saja tujuanku. Dengan gesit tas ranselku yang berat sudah dibopong masuk ke dalam bus. Mau tak mau aku mengikutinya. Pengap menyergap saat aku duduk di kursi bus baris pertama dekat jendela. Aroma aneh dan asing yang tidak pernah aku hirup seumur hidup, seperti berputar-putar mengelilingiku. Aku mencoba  melirik seorang ibu yang pulas tertidur di sebelahku. Dia memangku anak perempuan berumur tiga tahunan yang sudah menguap beberapa kali. Anak itu memegang erat boneka barbie tiruan dari plastik. Di seberang kanan kursi, dua penumpang lelaki juga tampak tertidur. Bus kembali melaju. Halus dan mulus

TAMAN KOTA (2)

Gambar
TAMAN KOTA (2) Penulis : Lidwina Rohani  Beberapa tuna wisma terbangun dari alam mimpi mereka. Sebagian menyumpah marah karena kaget dengan teriakan panik Bono, sebagian hanya menoleh sebentar, menggerutu, dan melanjutkan tidur. Bono berlari kencang ke arah gerobak dorong Mbah Gani, penjaja kopi keliling yang masih terlihat melayani seorang pemuda ngopi di bawah pohon cemara. “Mbah! Mbah Gani! A-ada ... itu, A-ada ....” “Ada apa to, Bon? Sudah malam kok masih berkeliaran? Ndak pulang kamu?” hardik Mbah Gani menatap tajam. “A-ada orang ma-mati, Mbah! Di-di sana! I-itu ... di sana,” terengah-engah  Bono mengatur nafasnya, sambil menunjuk kebun kosong. “Kowe mendem, to le?” ( kamu mabuk toh, nak? ) “Ya, ampun, Mbah!” pekik Bono putus asa, lalu bersimpuh jatuh ke rumput, tak kuat berdiri lagi. Keringat dingin membanjiri wajah dan tubuhnya. Mengalir deras tak bisa dicegah.  Pemuda yang baru saja akan menyeruput kopinya sontak meletakkan gelasnya kembali. Dia menarik lengan Bono, membantunya

TAMAN KOTA

Gambar
TAMAN KOTA Penulis : Lidwina Rohani Lumayan. Bono menyeringai kecil saat menghitung uang hasil kreasi tangannya hari ini. Bisa untuk memberi Emak sedikit modal untuk berdagang gorengan. Juga untuk membeli seragam adiknya Bunga yang sudah kekecilan. Sisanya masih bisa digunakan membeli beras. Dengan lega Bono melipat rapi uangnya dan menyisipkannya di saku celana. Tiba-tiba mata Bono menangkap sosok kecil yang mengintip di balik rimbunnya perdu. Bono terkesiap. Lagi-lagi bocah kumal gelandangan itu! Padahal sudah lewat tengah malam. Mengapa bocah itu masih berkeliaran di taman?  Meskipun tengkuknya meremang, Bono bangkit dari bangku taman, dan menghampiri semak di ujung taman. Aneh! Bocah itu tidak ada. Dua kali Bono memutari semak perdu yang rimbun itu. Tidak ada siapa-siapa, selain bau anyir yang menyengat.  Ketika malam menjelma, taman kota yang sepi adalah rumah kedua bagi Bono. Hanya ada beberapa pencopet kecil seperti dirinya, yang menghitung uang. Juga ada tunawisma meringkuk tid

PESTA NAMA IBU TERESA

Gambar
 PESTA NAMA IBU TERESA Penulis : Lidwina Rohani Apakah pernah mengenal atau setidaknya pernah mendengar nama Ibu Teresa atau Bunda Teresa dari Kalkuta, India? Pasti sebagian besar sudah pernah mendengar, ya. Bunda Teresa pernah mengatakan bahwa penyakit terbesar dewasa ini yang diderita manusia adalah sakit karena haus akan kasih. Wah, menarik sekali ini. Lalu dari mana kita bisa mendapatkan kasih itu? Salah satunya melalui persahabatan. Akan tetapi, jika kita renungkan baik-baik, memang betul ada istilah kalau sahabat itu susah dicari. Apalagi yang namanya sahabat sejati, yang selalu setia menemani dalam keadaan suka, terlebih lagi pas lagi duka dan menderita. Kalau sahabat yang hanya mau menikmati keuntungan  saja, pasti mudah kita temukan di mana-mana. Padahal sahabat itu sebenarnya adalah sesuatu yang amat penting dalam dunia kehidupan ini. Mengapa penting? Karena persahabatan senantiasa mengandalkan kasih, sekaligus menumbuhkan kasih. Bunda/ Ibu Teresa sendiri mulai di kenal di du

HANTU DANAU BATU

Gambar
HANTU DANAU BATU Penulis : Lidwina Rohani  Bima menahan nafas, merasa agak aneh dengan nada suara Amelia.  “Maafkan aku, Amel. Aku sudah mengerahkan polisi untuk mencarimu selama dua hari di danau ini dulu. Tapi mereka tidak dapat menemukanmu. Jadi sebenarnya apa yang terjadi denganmu?” tanya Bima sambil merengkuh istrinya. Meskipun tidak mengelak, tetapi tubuh Amelia kaku dalam dekapan Bima. Sambil tersenyum Amelia mengurai pelukan, dan menatap tajam Bima.  Jujur saja bulu kuduk Bima merinding melihat mata sedingin itu. Senyum Amelia juga asing. Belum pernah Bima melihat senyum sesumbang itu.  “Seorang nelayan menemukanku pingsan, dan merawatku. Apakah baby Tiara baik-baik saja?” Bima mengangguk cepat. “Mari kita segera pulang, dan menemui Tiara.” “Tunggu, Mas. Tolong ambilkan aku dulu uang di ATM sebagai tanda terima kasihku pada nelayan yang merawatku. Dompetku ... hanyut.” Bima mengangguk, melesat pergi dan menyuruh Jaelani menemani Amel selagi dia mencari ATM terdekat. “Sudah kau

HANTU DANAU BATU

Gambar
  HANTU DANAU BATU Penulis : Lidwina Ro Kepala Bima mendadak seperti dipukul godam raksasa ketika matanya menyapu sosok perempuan yang berdiri membelakanginya, dan tegak berdiri menghadap danau. Jantung Bima mendadak berdetak kencang. Keringat dingin pun diam-diam mulai membasahi dahi Bima ketika sopirnya Jaelani mematikan mesin mobil. Seketika wajah Bima memucat. Tubuh kurus seperti papan dengan rambut panjang bergelombang indah. Postur tubuh yang tidak mungkin ia lupa. Tidak mungkin itu Amelia, istri sirinya! Tidak mungkin! Tapi tunggu, jika perempuan itu bukan Amelia, lalu mengapa sampai tahu tentang Danau Batu, tempat pertama kali mereka bertemu dan akhirnya menjadi tempat favorit mereka berpacaran? Amelia atau hantukah perempuan itu? Atau setan yang mengirim Amelia kembali dari dasar Danau Batu? Bulu kuduk Bima meremang. Belum sempat Bima melanjutkan spekulasi dalam kepalanya -perempuan yang beberapa menit lalu meneleponnya untuk minta bertemu di Danau Batu- tiba-tiba perempuan i

KIRANA (4)

Gambar
KIRANA (4) Penulis : Lidwina Rohani   Kamar kembali sunyi. Hanya ada aku dan pantulan sinar bulan yang samar, masuk melalui jendela kamar yang terbuka sedikit. Perlahan aku menyibak gordennya lebih lebar. Lalu duduk di tepi jendela dan mencoba menajamkan mata ke langit. Tetapi semua masih terlihat samar-samar olehku. Semua masih tampak sama. Remang-remang. Redup. Seredup hatiku menginginkan cinta yang sebenar benarnya. Lagi-lagi aku seperti buih ombak yang dilambungkan tinggi di udara, lalu dihempaskan, seperti biasa. Entah mengapa aku bernama Kirana. Terkadang aku benci dengan namaku sendiri. Mengapa orang tuaku yang sudah membuang aku ke panti asuhan ini memberi nama Kirana padaku? Mungkin kah ketika dilahirkan dulu aku sangat molek dan cantik? Dan apa maksud mereka menamaiku Kirana yang berarti sinar?  Nyatanya aku bukanlah Kirana, bukan sinar yang diharapkan oleh siapa pun. Orang tuaku saja menaruhku di pintu gerbang panti asuhan dengan sepotong kertas bertuliskan Kirana. Dan meski

KIRANA (3)

Gambar
KIRANA (3) Penulis : Lidwina Rohani  Saskia mendekat, lalu merangkul bahuku erat. Aku merasa ada aura janggal dalam pelukannya. Sepertinya Saskia menahan tangis. “Seandainya aku bisa mengajakmu, Ki.”  Aku tertegun. Eh, Saskia mau pergi ke mana? “Mengajakku ke mana, Sas? Kau mau ke mana?”  Saskia tidak menjawab, tapi malah terisak-isak kecil. Dengan bingung aku mencari kedua tangan Saskia.  ‘A-apa yang terjadi, Sas? Me-mengapa kamu menangis?” tanyaku khawatir. Saskia makin memelukku erat, tangisnya makin keras. Aku mencoba mengurai pelukan teman sekamarku dengan rasa penasaran. “Jangan membuatku takut, Sas. Ada apa? Apa yang terjadi?” “Aku akan meninggalkan panti, Ki.” Aku kaget. Terbelalak tak percaya. Samar aku melihat anggukan lemah Saskia. Lambat laun otakku pun mulai mencerna dan merangkai utuh kalimat Saskia. Perasaan bahagia dan sedih bercampur jadi satu. Bahagia karena Saskia akan mendapat keluarga baru yang akan merawatnya dengan sepenuh cinta. Sedih karena Saskia akan meningga

KIRANA (2)

Gambar
KIRANA (2) Penulis : Lidwina Rohani  “Ki, ayo main!”  Segera aku mencari sumber suara yang aku kenal dengan baik itu. Dia adalah Saskia, teman satu kamarku. Hanya Saskia, satu-satunya teman yang sangat mengerti aku. Oh, ya! Nanti akan kuceritakan padanya tentang Ibu Sara yang baru saja mencium keningku itu! “Kita main apa, Sas?” sambutku antusias, dan dengan tak sabar menunggu Saskia mendekat.   *** Hari ini aku merasa aneh. Ada sesuatu yang janggal yang tidak bisa aku jelaskan. Sejak pulang sekolah, aku tidak menemukan Saskia di kamar. Kelas kami memang berbeda walaupun masih dalam satu halaman sekolah SD yang sama. Aku kira Saskia ada tambahan pelajaran di kelasnya. Tapi seingatku pelajaran tambahan itu bukanlah hari Senin. Sampai makan malam tiba, aku juga belum menemukan Saskia. Suara Saskia bahkan tidak terdengar sama sekali di antara teman-teman yang mengelilingi meja makan. Di mana Saskia? Mengapa tiba-tiba Saskia menghilang? “Kirana, ayo duduklah. Sebentar lagi  makan malam aka

KIRANA

Gambar
 KIRANA Penulis : Lidwina Rohani Sebuah elusan mendarat lembut di kepalaku. Usapan dari tangan halus yang menempel di pucuk kepalaku itu bagai air dingin yang menyiram tanah gersang. Seperti musafir yang  menemukan satu oase di padang gurun. Hati ini terasa  hangat. Hangat sekali. Aku seakan dibawa terbang menembus awan, dan tak ingin turun ke bawah lagi.  “Lihat, rambutmu sangat hitam ... ikal bagus sekali. Siapa namamu, Cantik?’ Tangan wanita itu lalu turun, mengelus rambut dekat telinga sampai bahu, juga mempermainkan rambutku yang melintir alami di pucuknya. Dadaku seakan-akan ingin meledak saking senangnya mendengar perkataan wanita yang wangi ini. Ibu Bertha dan Mbak Lastri juga sering berkata bahwa rambutku hitam ikal dan bagus. “Kirana,” jawabku lirih. Malu. “Hm, Kirana? Nama yang bagus.” Aku tersenyum. Makin malu dan menunduk. Seperti biasa aku memilin ujung rokku bila gugup, berusaha menyembunyikan wajahku yang mulai memanas malu.  “Kau cantik sekali, Kirana. Mengapa kau dudu

RAWON RAMPAL

Gambar
  RAWON RAMPAL Penulis : Lidwina Ro Masih pagi-pagi sekali ketika aku terjaga dari mimpi yang tak panjang. Ya, itu karena kemarin aku hampir tidak tidur karena ngrumpinya berjilid-jilid dengan teman sekamar. Lebih tepatnya lagi, teman sebangku di masa sekolah. Apa istilahnya sekarang? Kalau tidak salah, Besty, ya? Wah, gokil banget pastinya, kan? Akan tetapi suara heboh teman-teman yang kamarnya  berada di bawah, toh sanggup membangunkan mimpi kami juga.  Sebenarnya besty-ku ini enggan ikut sarapan. Lho, kenapa? Ya karena menunya rawon. Mungkin dia trauma sesuatu atau juga bisa membayangkan betapa joroknya kuah rawon yang kumuh bak air comberan di muka halaman apoteknya ( emoji ngakak berat, deh pokoknya ) Setelah aku bujuk-bujuk, akhirnya besty-ku ini mau juga bersiap-siap, cuci muka dan gosok gigi, karena menu di sana tidak hanya ada rawon. Bisa sarapan selain rawon, kok! Untunglah rayuan mautku ini berhasil melunakkan hatinya. Padahal sudah ratusan tahun lamanya, aku tidak pernah la

AKU DAN TIARA (3)

Gambar
  AKU DAN TIARA (3) Penulis : Lidwina Ro “Apa Mbak Menik nanti balik lagi ke sini?” Aku mengangguk samar penuh ragu. Tidak bisa bercerita lebih lanjut, karena aku baru saja mendapat kabar mendadak, kalau ibuku jatuh sakit. Tidak ada yang merawat ibuku sementara ini, karena hanya aku satu-satunya seseorang yang dimiliki ibuku. “Nanti kan ada Pak Mo yang akan mengantar dan menjemput Non Tiara. Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja, Non.” “Tapi, tapi Mbak Menik janji dulu, akan pulang ke sini lagi!”  Aku hanya menatap sepasang mata yang berkilat-kilat penuh kecemasan itu. Pada sepasang mata yang memantulkan rasa gelisah yang teramat dalam itu, aku bisa merasakan dengan tepat bagaimana memaknai arti kesepian dan arti kepahitan. Tapi aku bisa apa?   *** Tiara, anak kecil kelas dua SD itu langsung menghambur padaku seusai turun dari mobil. Di belakangnya, Pak Mo menjinjing tas sekolah Tiara lalu membawa tas itu masuk ke dalam rumah. Masih dengan seragam lengkap, Tiara menarik tanganku. “J

AKU DAN TIARA (2)

Gambar
AKU DAN TIARA (2) Penulis : Lidwina Rohani Perempuan anggun yang mempunyai usaha dan perusahaan sendiri itu hanya menggeleng. Rambut lurusnya yang wangi sepunggung, berwarna cokelat muda terang terurai rapi itu bergoyang lembut seirama dengan gelengan kepalanya. Sangat cantik dan elegan. Sambil menenteng tas kerjanya, Bu Maya melewatiku. Sejurus kemudian, langkahnya terhenti, dan memutar badan. Mata Bu Maya menatapku serius.  “Jangan lupa menjemput Tiara di sekolah, ya, Nik. Juga antar ke les balet sore nanti. Hari ini jadwalnya bukan?” “Iya, Bu. Siap. Jangan khawatir," jawabku mengangguk hormat.   *** Sebuah kepala mungil menyembul dari balik pintu kamarku. Wajahnya putih bersih, dan cantik. Ada sekelebat kabut tipis samar yang memantul di kedua bola matanya. Aku meletakkan tas ranselku, mematikan TV ukuran kecil yang berada dalam kamarku, lalu segera berdiri dan mendekat menuju pintu. “Non Tiara? Mengapa malam-malam ke sini, Non? Lapar? Mau makan lagi? Ingin apa, Non?” Anak itu

AKU dan Tiara

Gambar
 AKU DAN TIARA Penulis : Lidwina Rohani Sejak aku mendengar satu dua kalimat teriakan emosi dari sepasang suami istri di mana aku menumpang tidur di rumah mereka, sejak itu pula aura suasana rumah itu menebar aroma suram dan mencengkam. Sepertinya pertengkaran suami istri di rumah megah ini, berlanjut dengan perang dingin yang menegangkan. Bapak Arya masih bertahan dengan style-nya dengan mengunci mulut rapat-rapat, sementara Ibu Maya bersikukuh bersikap masa bodoh di balik kemarahannya. Kedua suami istri itu sama-sama enggan bicara, tidak sudi bertegur sapa, dan sedapat mungkin menghindar bertemu satu sama lain. Kalau sudah begini, aku adalah satu-satunya orang di rumah yang paling bingung, selain Mbok Mo. Bagaimana tidak bingung, jika tuan rumah tidak akur lagi dan tidak sudi bersapa satu sama lain. Selalu aku atau Mbok Mo yang menjadi sasaran juru bicara atas ketidaknyamanan situasi mereka. Sekalinya mereka terpaksa berbicara, gencatan senjata yang akan banyak beraksi, tak jarang di