Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2023

YANG INGIN KUMULAI

Gambar
 YANG INGIN KUMULAI Penulis : Lidwina Ro Judul kali ini cukup istimewa dan unik. Pernyataan yang menarik bagi aku. Apa saja yang ingin kumulai? Wah, rasanya seperti membangkitkan banyak keinginan jaman dulu yang telah lama tertinggal di belakangku. Sebenarnya banyak hal-hal menarik yang menjadi angan-anganku sejak dulu. Tetapi karena tenaga dan pikiran banyak tersita untuk urusan rumah tangga dan merawat anak, akhirnya angan-anganku pun mulai pudar tergerus waktu. Kini anak-anak sudah besar. Kesempatan dan celah untuk mewujudkan anganku tampaknya mulai terbuka. Salah satu yang ingin kumulai nanti adalah : 1. Aku ingin mulai mengunjungi beberapa tempat yang indah-indah dan punya kesenian khas di luar kota, serta bisa mbolang di pasar tradisional, mengicip berbagai ragam kuliner makanan daerahnya. 2. Aku ingin mulai hidup lebih sehat lagi, harus bisa mengurangi makanan manis dan berlemak seperti JCo, mi gacoan level lima, martabak bangka full keju cokelat, nasi padang dengan paru yan

NO KOMEN

Gambar
 NO KOMEN Penulis : Lidwina Ro  Pernah enggak, sih,  dicurhati oleh teman satu kantor atau teman satu geng arisan, teman satu sanggar senam atau teman apa sajalah, tentang pasangannya atau apa saja? Pasti pernah lah, ya. Aku pun juga pernah, kok. Ketidak nyamanan, perselisihan, atau kecemburuan dalam hati kadang-kadang mereka ceritakan usai kegiatan selesai. Aku yang sepertinya seorang pendengar tulen, dengan tenang selalu menyimak unek-unek mereka. Aku tahu setelah mengeluarkan unek-unek dari pikiran, setidaknya dapat mengurangi beban, dan menjadi lebih lega, apa pun versi mereka. “Sebel aku sama suamiku. Bayangkan saja, Mbak Lid. Masak iya sebulannya hanya ngasih uang segini. Zaman sekarang apa-apa mahal. Beras, telur, cabai naik terus. Belum untuk jajannya anak-anak, beli ini itu ...” “Tahu Jeng Kelin, kan, Mbak Lid? Itu, member senam yang baru itu, loh. Punya mobil baru seken saja, dah kayak gitu. Sekarang jadi berubah, sok tajir banget.” Seperti nenek tua yang sudah kehilangan day

KADO

Gambar
 KADO Penulis : Lidwina Ro  Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia, semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia. Bagiku hidup ini adalah anugerah (biar mudah, membayangkannya seperti kita diberi kado oleh seseorang di saat kita berulang tahun) Jadi hidup ini seperti kado, hanya pemberian belaka. Tentu saja kita tidak dapat memilih kado atau menentukan isi kado dari orang yang memberikan. Yang bisa Kita lakukan hanya dapat menerimanya saja dengan bersyukur dan berterima kasih. (untung loh, ada yang ngasih ucapan selamat atau kado pas ultah, sebagai tanda perhatian dan sayang. Lah kalau enggak ada yang ngasih gimana? Kasihan, deh lo ...)  Hidup bagiku juga sebuah misteri. Dari rahim siapa kita dilahirkan, apakah lahir prematur atau normal, apakah orang tua kita kaya raya atau biasa-biasa saja, bahkan ditakdirkan lahir  di lingkungan bahagia atau di lingkungan toxic pun kita tidak

STOP MENENGOK

Gambar
 STOP MENENGOK Penulis : Lidwina Ro “Dia dulu pernah berbohong padaku. Jadi aku tidak percaya padanya lagi.” “Bagaimana kalau ternyata dia tidak berubah? Aku masih curiga dan selalu waswas.” “Pengkhianatannya tidak pernah akan aku lupakan.” Pernah mendengar curhatan seperti ini? Aku sering. Sadar atau tidak sadar, kita sering menyimpan kesalahan-kesalahan orang. Pengalaman buruk dan kegagalan-kegagalan kita di masa lalu sering kali tidak mudah kita lepaskan begitu saja dari dalam pikiran kita. Ya, semua itu begitu sulit untuk kita lupakan. Semua hal negatif berkumpul di bagian otak kita, dan tiba-tiba bisa mencuat muncul di waktu tertentu. Seolah rajin mengingatkan kita kembali pada kejadian buruk di sama lampau. Mengaduk-aduk perasaan dan membuat kita sedih, marah, kecewa lagi, dan akhirnya menjadi bad mood. Halo teman-teman yang baik hati, boleh tidak kalau sekarang kita stop menengok ke belakang? Kita seharusnya mulai belajar dan bijak memandang ke depan. Tidak menoleh ke belakan

BARU TAHU

Gambar
 Baru Tahu  Penulis : Lidwina Ro  Awam dalam dunia literasi, membuatku terheran-heran bingung dan kagum pada semua teman menulisku. Bagaimana tidak heran, kalau setiap hari mereka mampu menulis, bahkan dengan berbagai genre. Dalam hatiku selalu bertanya-tanya, dari mana semua ide itu mengalir, ya? Sudah seperti sulapan saja, setiap hari bisa menulis dengan rutin dan konsisten. Karena penasaran, aku pun mencoba ikut-ikutan bergabung dengan komunitas menulis atas dasar rekomendasi salah seorang sahabat baikku. Setelah ikut beberapa bulan dalam banyak komunitas menulis, akhirnya aku baru tahu, dari mana semua ide menulis itu muncul.  Jadi, rahasianya ternyata gampang-gampang puyeng, ya. Ini, kunci rahasianya, yaitu ATM. Bukan Anjungan Tunai Mandiri, ya! Melainkan singkatan dari : Amati Tiru  Modifikasi. Wow sekali, ya?  Lalu apa dan bagaimana itu? Maka aku pun ( tidak pakai lama ) mencoba menjalankan saran kakak-kakak seniorku tersebut. A.Amati. Jadi bahan untuk menulis itu, bisa diperole

MASA REMAJA

Gambar
 MASA REMAJA Penulis : Lidwina Ro  “Eh, aku saja yang dekat jendela, ya!” “Serah, kau sajalah, Coi” “Asyik, asyik!” “Biasa aja, kali!” “Kau memang besti-ku yang tak ada duanya!” Suara ceria khas remaja itu membuatku berhenti menggulir layar ponsel, dan menoleh pada dua gadis muda membawa ransel di bahu, yang baru saja naik dari stasiun Poncol. Dua remaja itu lalu duduk bersebelahan. Gadis yang mendapat bagian di sebelah jendela itu lalu sibuk dengan charger dan ponselnya, sedang yang di sebelahnya asyik membongkar tas Mc Donald’s. Otakku pun lalu berspekulasi, tentang apa yang muncul dari tas cokelat besar itu. Tidak aku sangka, gadis itu ternyata mengambil nasi bungkus. Lalu tidak pakai lama, gadis itu bersikap dan ‘muluk’ nasinya dengan lahap (makan dengan menggunakan tangan) Wow! Dalam hati aku tersenyum sendiri. Untuk ukuran remaja kekinian, dengan celana ketat biru, T-shirt dan jaket jeans, tingkah gadis itu termasuk unik. Dia sama sekali tidak malu makan nasi bungkus di atas kere

SANG WAKTU

Gambar
 SANG WAKTU Penulis : Lidwina Ro  Tahu petis yang tersaji panas di atas tikar belum lah habis, saat mataku menatap sebuah keluarga kecil tak jauh dariku yang sedang lesehan. Mereka duduk di tikar yang lain. Tepat berada di sebelah kananku. Sang ibu tampak memangku anak perempuannya. Sedang ayahnya menuntun anak lelakinya yang baru bisa berjalan di pinggir rerumputan alun-alun. Sang kakak bertepuk tangan menyemangati langkah adiknya yang terseok-seok. Dan si adik membalas dengan tawa riang di antara liurnya yang menetes. Ah, lucu sekali. Semua tertawa dengan riang. Wah, keluarga yang bahagia. Sebenarnya untuk  bahagia tidaklah susah, bukan? Pemandangan itu lantas mengembalikan ingatanku pada tahun-tahun lama. Tahun yang dulu pernah aku alami juga. Kehangatan suasana kebersamaan dan tawa anak-anakku yang dulu, kini amat sangat kurindukan. Dulu aku harus memutuskan untuk tidak bekerja lagi karena harus mengasuh anak-anak di rumah. Setiap hari mengurus keperluan seluruh rumah tangga dan me

TENTANG JANJI

Gambar
 TENTANG JANJI Penulis : Lidwina Ro  Mata jernih itu membulat sempurna melihatku berdiri di sisi luar gerbang tempat lesnya. Setengah berlari Dara menghampiriku. Untuk beberapa saat hatiku menghangat melihat cahaya kecil yang berpendar dalam kedua matanya yang biasanya sendu. “Tumben kau menjemputku, Lang,” sapanya riang dengan senyum polos. Aku tersenyum. Menikmati diam-diam kebahagiaan kecil yang tak bisa disembunyikannya di depanku. Sejenak aku larut dalam senyumnya. Sebagai orang kepercayaan Tuan Mahendra -papanya Dara- salah satu tugasku adalah menjemputnya pulang dari kampus, lalu kembali ke kantor. Hanya sampai di situ saja kesempatanku bertemu Dara.  “Kita mampir minum es pocong dulu, ya?” ajak Dara penuh harap. Matanya  Aku hanya menggeleng. Beberapa kali aku memang mengajak Dara makan santai. Dulu sesungguhnya aku hanya iseng mencoba mengurai sendu dan penat di matanya. Yang ada malah dia ketagihan diajak makan di tempat receh, di mana dia leluasa dapat curhat sesuka hati. Me

HI, DEAR

Gambar
 HI, DEAR Penulis : Lidwina Ro  Akhirnya hanya kita yang tersisa, Dear adikku sayang. Hanya tinggal kita berdua. Apakah mungkin kamu seperti aku, merasa semua sudah berubah? Sudah tidak sama seperti dulu lagi. Hati kita ini terasa berlubang. Pertama-tama ibu yang berpulang, lalu saudara kita -si tengah- menyusulnya pulang. Selanjutnya ayah juga menyusul, dan terakhir Om yang tunadaksa dan tinggal di rumah bersama kita, ikut berpulang juga. Rumah yang dulu hangat dan penuh kasih sayang, kini terasa asing bagi kita. Terkadang pulang kembali ke rumah malah membuat hati kita terluka. Setiap melihat rumah, sama saja dengan membuka kenangan lama, membuat hati menjadi sendu. Luka seakan menghampiri kembali. Masih ingatkah kamu, adikku? Harum wangi masakan Ibu. Donat meses yang digoreng ibu? Atau gado-gado bertabur saus kacang yang lezat? Atau sarapan nasi gorengnya yang sumer? Masih ingat kan? Semuanya sudah berlalu. Dan kita hanya sering terdiam di pojok dapur ibu. Taman dan kolam ikan yang

TENTANG MENGAMPUNI

Gambar
 TENTANG MENGAMPUNI Penulis : Lidwina. Ro Kata mengampuni adalah kata yang sering dibicarakan orang. Akan tetapi apakah hati yang mengampuni itu bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari? Membicarakan pengampunan itu lebih mudah dari pada melakukannya. Nyatanya mengampuni itu sulit. Benar bukan? Mengapa mengampuni sering kali sulit kita lakukan? Itu karena kita mengalami luka batin yang dalam. Kita berpikir jika kita mengampuninya begitu saja, ah ... rasanya tidak adil orang yang sudah menyakiti hati itu kita ampuni. Kesalahannya terlalu besar dan fatal! Tidak layak untuk kita ampuni. Ya, kita sulit mengampuni karena kita tidak bisa menerima perlakuan buruknya kepada kita. Kita juga sulit mengampuni karena merasa orang yang telah menyakiti kita, harus mendapat balasan yang setimpal dan seadil-adilnya. Jika luka fisik dapat disembuhkan, sebaliknya, luka batin belum tentu mudah disembuhkan. Butuh waktu untuk bisa mengampuni. Sekali lagi mari kita belajar, ketika kita sulit meng

TENTANG CINTA

Gambar
 TENTANG CINTA Penulis : Lidwina Ro  Sebuah caption atau pesan pendek di sebuah sosial media yang melintas di pagi hari ini, mampu membuatku sejenak tersenyum-senyum sendiri. Caption, mah, bebas! Isinya begini : Puncak tertinggi cinta adalah selalu mencintai walaupun tidak dicintai. Selalu rela membersamai walaupun sering ditinggalkan. Selalu menyayangi, walaupun dikhianati Selalu merindukan, walaupun tidak dirindukan. Benarkah pernyataan yang luar binasa ini? Kelihatannya, kok, bucin banget ya? Kok, begitu ‘melas’, nelangsa,  dan sengsaranya mencintai sendiri. Dua sejoli yang saling cinta saja, sang waktu bisa berkuasa melunturkan cinta sinergis mereka. Lha apalagi yang cintanya bertepuk sebelah tangan? Sampai kapan menunggu cinta terbalas? Apalagi jika dia sudah menjadi milik orang lain? (Eh, yang terakhir ini just joke, loh ya ...)  Yang paling penting cintai dan hargai diri sendiri dulu sepenuh hati. Jangan sampai mencintai sampai membuat meleset kewarasan cara berpikir kita. Beri

Screenshot

Gambar
 SCREENSHOT Penulis : Lidwina Ro  Ingin langsing tetapi tidak mau menderita? Wah, wanita siapa yang tidak mau langsing dengan cara enak dan bahagia? Pasti semua mau, dong! Selain rutin olah raga, semua yang masuk ke dalam mulut kita adalah penentunya. Bermula dari tubuhku yang mulai berubah bentuk dari hari ke hari (dah, buka aib) aku jadi iseng membaca-baca bagaimana caranya agar tubuh bisa kembali langsing plus sehat di sosial media.  Aku sering melongo dan speechless ketika membandingkan ukuran baju seragam kantor -waktu pertama kali bekerja- dengan ukuran bajuku yang sekarang, setelah menikah. Wah, mata ini tiba-tiba serasa mengandung bawang merah. Dah lah, terima saja kenyataan yang ada. Hahaha. Menurut aku, belajar mengubah pola makan sehat, adalah langkah awal dan hal paling penting untuk mulai aku simak dan cermati. Jadi mulailah aku scroll ponsel mencari informasi tentang defisit kalori. Tak kuduga, ternyata banyak sekali panduan menu diet kalori yang muncul. Daripada tertimbu

Glass Bridge

Gambar
 GLASS BRIDGE Penulis : Lidwina Ro  Beberapa waktu yang lalu, aku melihat acara bagus di TV, ada satu wisata keren yaitu Zhangjiajie Glass Bridge, Hunan, di kawasan Wulingyuan, China. Jembatan layang tersebut berdasar kaca yang transparan. Memiliki panjang 430 meter, lebar 6 meter, berada di ketinggian sekitar 300 meter di atas tanah. Jembatan kaca tersebut dirancang oleh arsitek Israel bernama Haim Dotan. Jembatan kaca yang tertinggi dan yang terpanjang di dunia itu banyak dikunjungi oleh para wisatawan. Ada yang memang penasaran menjajal melewatinya sambil menikmati panorama yang memang luar biasa hebat itu, atau sekedar untuk kebutuhan ngonten, whatever. Semua orang punya masing-masing alasan pergi berwisata ke Glass Bridge Zhangjiajie di China. Yang aku ingin tahu adalah bagaimana pikiran orang-orang tersebut saat berjalan di atas jembatan kaca dengan ketinggian sekitar 300 meter itu? Aku melihat ada orang yang bisa melewati jembatan itu dengan tenang. Ada yang melangkah hati-hati

KEROKAN

Gambar
 KEROKAN  Penulis : Lidwina Ro  Siapa yang pernah masuk angin? Badan dan kepala terasa berat, makan malas, perut mual. Pokoknya mager saja. Keluargaku termasuk orang yang gemar kerokan. Untuk mengatasi masuk angin, aku hanya perlu kerokan, atau kerikan saja. Cara sederhana ini terbukti ampuh. Hanya saja perlu ada orang yang membantu kita untuk kerokan. Cukup buka baju, balurkan balsem, remason, atau minyak kayu putih secukupnya di atas punggung, lalu kerok dengan uang logam. Sekarang alat keroknya bisa terbuat dari besi atau kayu yang sudah dimodifikasi. Aku sendiri biasanya memakai ori, uang logam jaman dulu. Semakin kuno uang logamnya, semakin mantap kerokannya.  Arah kerokannya miring, mengikuti searah tulang iga, boleh juga sampai ke leher. Jangan ketinggalan lengan atas, ya. Wah, mantap sekali itu. Masih separuh jalan ritual kerokan, biasanya akan selalu ada obrolan. “Eh, piye? Abang ora?” (Eh, gimana, merah nggak?) “Wah, ora mung abang meneh. Gosong iki!” (Wah, tidak hanya merah

Fatamorgana

Gambar
 FATAMORGANA Penulis : Lidwina Ro  “Hei, anak Ibu sudah ngantuk, ya? ” tanyaku sambil menciumi pipi gembul Aira yang putih. Anak dalam gendonganku itu tersenyum dengan mata separuh terpejam. Di sudut mulutnya mengalir susu formula dari dot yang sedang dihisapnya. Sepertinya Aira sudah kekenyangan, karena itu pelan-pelan melepas dotnya. Ketika Aira sudah benar-benar lelap, pelan-pelan aku menaruhnya di ranjangku. Begitu menyentuh kasur, anak itu menggeliat, dan langsung membuka matanya, dengan ekspresi mulai menangis. Ah, rupanya Aira tidak mau diletakkan di ranjang. Aku tersenyum, lalu kembali menggendongnya. Tidak butuh waktu terlalu lama, Aira terlelap kembali dalam dekapanku. Aku tak bisa berhenti menciuminya. Aku sangat mencintainya. Hampir semua yang ada pada Aira adalah duplikat Mas Bayu. Matanya, hidungnya, senyumnya. Apa yang dimiliki Aira mampu mengikis segala kepedihan yang sudah lama menghantuiku. Hanya karena kehadiran anak inilah aku benar-benar hidup sekarang ini.  Belum

JARAK

Gambar
 JARAK Penulis : Lidwina Ra  “Ma, mamama, ma ....” Mataku terbelalak bahagia, menatap pada anak yang belum genap berumur setahun itu. Sudah dua hari ini aku mendekatinya, baru kali ini, Tiara memanggilku walau ragu-ragu. Tapi tidak masalah. Yang penting, Tiara tidak lupa padaku.  Ini sudah hampir tengah malam. Mengapa Tiara belum tidur juga? Apa karena dia haus? Di mana pula pengasuhnya, Marni? Mengapa dia tidak berada di dalam kamar menemani Tiara? Ah, aku kenal dengan baik Marni yang sering terjaga malam-malam. Dia pasti sedang ke kamar mandi untuk pipis. Aku mendekati box bayi. Meskipun celoteh Tiara tidak begitu jelas, tetapi aku mengerti bahasa kerinduannya. Lihat! Tiara menendang-nendang selimutnya, seolah tidak sabar ingin masuk dalam pelukanku. Coba kulihat dulu wajahnya yang seperti bidadari. Hm .... Senyum dan hidungnya mirip aku, tetapi mata dan rambut ikalnya persis Mas Galang. Suamiku.  Sebersit sedih pun menggilas hati mengingat Mas Galang. Mengapa semalam ini dia belum p

SKENARIO TUHAN

Gambar
 SKENARIO TUHAN Penulis : Lidwina Ro  Ketika aku sudah cukup umur, akhirnya Suster Sisil bercerita, dulu aku ditemukannya di depan pintu gerbang panti asuhan. Sedih? Pasti. Kecewa? Tentu saja. Siapa yang tidak sedih dan kecewa ketika mengetahui bahwa kehadirannya tidak diinginkan? Tetapi Suster Sisil selalu punya pandangan lain. Dengan santai dia memeluk bahuku sambil tersenyum, dan mengatakan kalau Tuhan memang jagonya membuat skenario. Bukan skenario kacangan. Tetapi skenario hebat yang sudah pasti diukur dengan jitu. Tuhan itu ibarat guru, yang tidak salah membagi soal ujian pada murid-murid. Kata Suster Sisil, tidak mungkin Tuhan membagi soal ujian murid SMA pada murid SD. Semua soal ujian dibagikan sesuai dengan takaran pelajaran dan kelas masing-masing murid. Jadi kerjakan saja dengan tenang, dan jawab soal-soalnya di kertas ujian tanpa banyak tanya.  “Kalau ada soal yang tak bisa aku jawab bagaimana, Suster?” tanyaku penasaran. Suster Sisil membelai kepalaku, dan tersenyum lembu

ANAK PERTAMA

Gambar
 ANAK PERTAMA Penulis : lidwina Ro  Nah, aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ini sedikit coretanku tentang menjadi anak pertama. Benar tidaknya relatif, kembali pada masing-masing latar belakang seseorang. Anak pertama biasanya dimanja, karena anak pertama adalah anak yang dinanti-nanti oleh kedua belah pihak keluarga. Segala kasih sayang dan materi, kebanyakan tercurah penuh untuk anak pertama. Dianggap sebagai sang penerus keturunan  keluarga. Kata orang anak pertama adalah anak yang istimewa. Tetapi tidak semua juga. Semua anak adalah anugerah dari Tuhan. Anak pertama biasanya orang yang tangguh. Secara tidak sadar, anak pertama dijadikan contoh untuk adik-adiknya. Pokoknya, semua harus serba bisa dan menguasai keadaan, juga mengurus segalanya. Misalnya harus mengalah pada adik. Harus bisa melindungi adik yang usianya lebih muda, menjaga mengajari adik membuat PR. Pokoknya  panutan untuk adik, sehingga tidak boleh ada kesalahan apa pun. Bahkan anak pertama sering kehilanga

DRAMA HIDUP

Gambar
 DRAMA HIDUP Penulis : Lidwina Ro Benar kata orang. Dunia memang sempit. Setelah sekian lama dengan susah payah aku membangun hidupku dengan mengabaikan perasaanku sendiri, mengapa hari ini aku justru merasa akan kembali goyah?  Dari sekian resto di seluruh penjuru kota, mengapa aku harus bertemu dengan Riko di tempat yang sama? Skenario apa lagi yang akan disodorkan Tuhan untukku?  “Kau sendirian?” Erik masih menatapku lurus, sementara aku kelimpungan. Sepertinya seluruh kosa kataku lenyap begitu saja, digantikan dengan gelisah yang mulai hinggap. Sudah lama tidak bertemu dengan Erik. Aku pikir aku akan terbiasa sendiri, mandiri dan melupakan apa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Tetapi nyatanya malah terbalik. Aku belum bisa melupakan Erik. Terutama pada semua yang pernah dia lakukan padaku. Erik meninggalkanku. Dulu. Dan lebih memilih mendahulukan permintaan ibunya ketika sakit keras, untuk menikahi wanita pilihan beliau.  “Akhirnya aku menemukan jejakmu.” Erik mencariku selama ini?

HIDUP SEPERTI PLAY-DOHH

Gambar
 HIDUP SEPERTI PLAY-DOH Penulis : Lidwina Ro Sejatinya aku tidak dapat mengontrol kehidupan di dunia ini. Ya! Semula hal yang aku pikir sudah oke, sudah sesuai dengan yang aku persiapkan matang jauh-jauh hari, ternyata bisa juga mendadak meleset, jauh dari harapan. Semua rencanaku, bisa tiba-tiba ambyar, berubah dalam sekejap. Pernah mengalaminya juga, kan? Pasti pernah. Masing-masing dari kita mempunyai hidup yang berbeda dan unik. Bagaimana menggambarkannya, pasti punya persepsi sendiri-sendiri. Hidupku ini ternyata seperti naik jet-coaster, naik turunnya ... suka-sukanya Sang Pencipta Semesta Jet-Coaster Hidup. Kadang posisi kita ada di bawah, lalu mendadak posisi kita tiba-tiba berada di atas. Tanpa kita duga. Tanpa kita rencanakan pula. Semua mengalir, terjadi begitu saja. Begitu lah hidup, setia menunggu respons positif dari kita. Bereaksi lah yang tepat. Sebelum memutuskan untuk melangkah atau merespons, biasanya aku selalu berdiam diri dan berdoa untuk meminta hikmat dari Tuhan

SEWINDU

Gambar
SEWINDU Penulis : Lidwina Ro  Aku memutuskan minggat, meninggalkan rumah dan keluargaku. Tujuanku menumpang di rumah Budeku yang janda di Jakarta, dan sejak itu, aku tak pernah kembali ke rumah. Dengan gigih aku mencari kerja, dan mandiri menghidupi diri, tanpa campur tangan dari orang tua.  Mungkin aku sedikit memaksa diri bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku, sehingga waktu luangku untuk Riko menjadi berkurang. Kucium dahi Riko yang demam dengan sesal yang dalam. Aku berjanji dalam hati untuk mengurangi lembur ke depannya. Seorang perawat memanggil nama Riko dengan nyaring. Aku mengangguk, dan bergegas masuk ke ruangan spesialis dokter anak. “Hm, Enriko? Silakan duduk.” Kakiku membeku mendengar suara dokter itu. Raka! Sementara perawat menarik kursi untukku, aku masih kaku berdiri, dengan jantung nyaris berhenti. Cekalanku pada Riko semakin erat. Apa-apan ini! Mengapa takdir begitu keterlaluan padaku? Mengapa harus Raka dokternya? Melihat tak ada respons dari pasien, sang dokter

DOMPET

Gambar
 DOMPET Penulis : Lidwina Ro  “Bos, dompetnya kosong!” Sambil mengumpat kesal, Aris melempar sebuah dompet kumal ke tong sampah. Sayang lemparannya meleset. Dompet cokelat itu terpental dan jatuh hampir mengenai kakiku. Aku yang sedang menghitung hasil jerih payah anak buahku, melirik sekilas. Sontak keningku berkerut. Sekelebat ingatanku yang terpenjara pada sesuatu hal, mendadak menyeruak ke permukaan, menghangatkan jiwa.  Bergetar tanganku memungut benda lusuh itu. Keringat dingin muncul saat aku yakin mengenali dompet itu. Mungkin kah pemiliknya sama?  Dengan gemetar aku membuka dompet hati-hati. Seketika mataku menghangat. Sesal dan haru melihat sebuah foto usang yang tak lagi utuh, tersembul di sana. Tidak salah lagi, pemilik dompet ini masih sama! Mataku masih basah, saat berteriak. “Di mana pemilik dompet ini, Ris?” “Tadi di sekitar kios gamis. Ada apa, Bos?” Aris balik bertanya sambil mendekat ke arahku dengan ke dua mata berkilat khawatir. Tangisku semakin tak terbendung, sam

Jajan Pasar

Gambar
 JAJAN PASAR Penulis : Lidwina Ro  Salah satu tempat favoritku adalah pasar. Walaupun di pasar tradisional terkadang becek, sempit, dan bau, tidak menjadi masalah bagiku. Adakah yang memperhatikan setiap tutur kata rayuan setiap pedagang yang menjajakan jualannya? Atau memperhatikan setiap wajah penjualnya yang penuh harap dagangannya dibeli? Di sudut tikungan ke tiga dalam pasar, aku selalu betah berjubel dengan pembeli lain di kios jajanan. Puluhan kue tradisional dijajar rapi, memanjakan mata. Semua jajan pasar kelihatan menggiurkan. Dimulai dari kue tradisional, ada onde-onde, putu ayu, putu mayang, cara bikang, serabi solo, talam jagung, kue jongkong, kue mangkok, kue lapis, apem, klepon, getuk lindri, tiwul, gatot dan kawan-kawan, dijamin semua ada. Astaga, lengkapnya! Tidak hanya kue tradisional, jajan modern pun tak mau kalah unjuk gigi, merontokkan niat diet-ku. Pastel, risoles mayo, kroket kentang, lumpur lapindo, donat keju, bronies dan sekutunya sungguh memanjakan mataku. “

BUKA GERBANGNYA

Gambar
 BUKA GERBANGNYA Penulis : Lidwina Ro  Meskipun kesepakatan di antara mereka kelihatan janggal, Dinar tidak mau mundur. Pagi-pagi sekali berbekal sebotol air, dia masuk kembali ke dalam hutan. Suara serangga yang berisik di antara dedaunan rimbun hutan, tidak membuatnya gentar. Lelehan air mata Ibu juga tidak dapat menahan langkahnya menuju hutan.  “Tenang, Bu. Aku akan kembali bersama Dinda.” Itu janji Dinar pada ibunya. Di tempat yang dijanjikan, Nenek ternyata sudah menunggu. Kali ini Nenek tidak sendirian. Ada pemuda tampan di samping Nenek, memegang kapak. Terlihat setumpuk kayu bakar dekat kaki mereka. Nenek tersenyum melihat Dinar datang. Seperti kemarin, Nenek meminta air botol minum Dinar, lalu meneguknya sampai habis. “Apa kira-kira Nenek tahu, ke mana aku harus mencari adikku?” tanya Dinar penuh harap. “Mengapa kau sangat ingin menemukan adikmu?” tanya Nenek, menatap tajam.  “Karena aku amat menyayanginya, Nek. Dia adikku satu-satunya.” Nenek tertawa. Tetapi Dinar tidak tahu

TAMAN SERIBU BUNGA

Gambar
 TAMAN SERIBU BUNGA Penulis : Lidwina Ro  Dinda menatap sekelilingnya. Sebenarnya dirinya senang berada di taman yang luas penuh aneka bunga ini. Semua bunga sangat harum, cantik, dan tertata rapi. Rasanya Dinda tidak akan pernah jemu bermain di tempat asing ini. Entah bagaimana dirinya bisa masuk ke sini. Dinda juga selalu teringat Ibu dan Mbak Dinar. Mereka pasti sedih dan bingung ketika dirinya tidak pulang. Sudah berkali-kali Dinda berputar putar mencari pintu keluar, tetapi usahanya tidak pernah berhasil. Taman di ujung perkampungan ini seolah tak punya celah pintu keluar. Semua seolah tertutup oleh banyaknya ribuan bunga. “Din, ayo pulang!” Dinda menoleh. Nastiti, gadis kecil sebayanya itu melambaikan tangan, mengajak pulang. Beberapa hari ini, Dinda memang tidur di rumah Nastiti, teman barunya. Nastiti juga lah yang pertama kali menemukannya menangis kebingungan di taman seribu bunga ini. “Aku mau pulang, Nas. Keluargaku pasti mencariku ke mana-mana. Bisakah kau menolongku, di m

Kekasih Bayangan

Gambar
 KEKASIH BAYANGAN Penulis : Lidwina Ro  Ini untuk yang ke sekian kalinya aku menolak halus keinginan ibuku untuk menjodohkanku dengan anak sahabatnya. Ardian memang memenuhi kriteria untuk dijadikan pasangan hidup. Ardian sudah mapan dan termasuk berkepribadian baik. Sebenarnya aku pun juga sudah lama mengenalnya dengan baik. Tetapi entahlah, aku tidak pernah menemukan rasa yang pernah aku rasakan sebelumnya. Ardian sepertinya juga pantang menyerah. Terkadang aku geram padanya. Dia malah mematuhi perjodohan kuno di antara ibuku dan ibunya. Aneh kan? Seperti tidak ada wanita lain di dunia ini saja. Mengapa dia malah ikut-ikutan aku menjomlo? Lucu. Sepertinya ada yang ganjil pada lelaki itu. “Mengapa tidak kau bujuk ibumu untuk membatalkan perjodohan kita, Ar? Aku yakin banyak gadis yang naksir padamu.” Aku mencoba sekali lagi mengubah cara pandangnya. “Tidak semudah itu,” sahutnya pendek. Tanpa ekspresi. Aku mengernyit mendengar jawabannya. “Apa kau takut pada ibumu?” korekku hati-hati,

HIRAP (2)

Gambar
 HIRAP (2) Penulis : Lidwina Ro Langkah Dinar membeku. Jantungnya berdebar kencang ketika matanya menyapu onggokan ranting kering di bawah sebuah pohon. Pasti itu ranting-ranting yang sudah dikumpulkan oleh adiknya. Lalu ke mana Dinda? Mengapa adiknya tidak lekas pulang? Ke mana kira-kira Dinda sekarang? Dinar menyipitkan mata menatap ke langit. Sudah mulai sore. Senja di atas sana mulai berubah gelap, segelap hati Dinar yang mengkuatirkan adiknya. Tiba-tiba mata Dinar tertumbuk pada biji kacang tanah kering yang tak beraturan jaraknya, tetapi hati Dinar mengatakan, ini kacang milik Dinda. Gegas Dinar mengikuti arah kacang itu. Setelah mengikuti jejak kacang, akhirnya Dinar berhenti pada satu tempat, yaitu pada pohon yang saling melengkung dan bertaut pada ujungnya. Beberapa kali Dinar memeriksa, tetapi tidak ada kacang lagi di situ. Dinar terdiam. Matanya berkeliling mencari adiknya, sambil berteriak-teriak memanggil nama Dinda. “Kau mencari siapa?” Dinar menoleh kaget. Seorang nen

HIRAP

Gambar
 HIRAP Penulis : Lidwina Ro  Seekor kupu-kupu biru hinggap di ujung rumput. Sayapnya bergerak-gerak lembut, menarik perhatian Dinda. Anak kecil itu terkesiap menahan kagum, lalu  meletakkan perlahan ranting-ranting kering yang dipeluknya ke rerumputan. Rasa heran bercampur penasaran menyelimuti hatinya. Hati-hati dia berjinjit mendekati kupu-kupu biru itu. Baru saja Dinda akan mengulurkan tangan untuk menangkapnya, kupu-kupu itu sudah menyingkir terbang. Dinda terkejut, kecewa melihat kupu-kupu menjauh masuk hutan. Belum pernah dia melihat kupu-kupu berwarna biru bermotif cantik selama ini. Padahal Dinda sering masuk ke hutan kecil ini untuk mencari ranting kering buat memasak ibunya. Biasanya hanya ada kupu-kupu kuning atau hitam yang dia temui di hutan. Tumben sekali, hari ini ada kupu-kupu bersayap lebar biru yang cantik sekali.  Dinda menatap ragu ke hutan. Haruskah dia mengikuti kupu-kupu biru itu? Tapi Mbak Dinar selalu bilang, jangan masuk terlalu jauh ke dalam hutan jika sore.

PULANG

Gambar
 PULANG Penulis : Lidwina Ro Kalau ada bulan yang mempunyai tempat istimewa di hatiku itu adalah bulan Desember. Pada bulan Desember itu, ibu rumah tangga biasa seperti aku, bisa sedikit punya waktu untuk meluruskan punggung sejenak, keluar dari rutinitas sehari-hari.  Ke dua orang tuaku, dan juga mertua, tak henti-hentinya heboh menelepon, menanyakan kapan anak-anak pulang karena libur Natal sudah tiba. Aku pun tak kalah hebohnya menyiapkan oleh-oleh dan lain-lain untuk menyambut Natal. Seperti lebaran, Natal pun adalah kesempatan emas dan kesempatan langka untuk bisa bertemu kembali dengan orang tua tercinta, saudara, dan keponakan, yang kebetulan berpencar di berbagai pelosok kota. Masih terpatri dalam ingatanku, betapa bahagia orang tuaku bisa berkumpul dengan anak dan cucunya. Tertawa bersama, bercanda ramai, nonton TV bersama, main kartu remi sampai malam, makan bersama, piknik bersama dengan mengajak orang tua dan saudara, adalah kegiatan yang biasanya aku lakukan jika pulang