Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2022

PIM REUNI batch2 (2)

Gambar
 PIM REUNI batch2 (2) Penulis : Lidwina Rohani  Meskipun hari ini, saya sudah kembali ke laptop alias kembali nguli di Cikarang ( padahal sampai di rumah pukul 03.00 dini hari lho ) keseruan, keakraban, dan perasaan mengharu biru pada hari Minggu, tanggal 28 Agustus 2022 kemarin, masih kental tersisa di dalam hati. Perasaan kami seperti kembali ke masa lalu. Banyak bayangan yang bermunculan tergali. Raut wajah yang gembira, polos, antusias. Wajah-wajah siswa yang rajin belajar, juga wajah-wajah bandel yang tengil ketika menjalani serangkaian kegiatan belajar mengajar ( termasuk saya, ya, yang bandel, karena sering ikutan membolos bersama-sama sohib, demi menonton film di bioskop yang tidak jauh dari sekolah, ah, ketahuan, deh, nakalnya! ) Tentu saja lebih banyak event kenakalan dan keisengan khas siswa farmasi yang terekam paten di dalam pikiran kami. Beberapa guru-guru yang sudah sepuh ada yang menyempatkan datang ke acara reuni kemarin, misalnya Pak Karya ( guru Ilmu Resep) Banyak ce

PIM REUNI batch2

Gambar
 PIM REUNI batch2 Penulis : Lidwina Rohani Akhirnya reuni batch 2 PIM ( Putera Indonesia Malang) digelar lagi setelah dua tahun. Sekolah Farmasi yang terletak di jalan Barito di kota Malang itu memang menjadi cikal bakal di mulainya perjalanan hidup. Banyak kenangan lebur menjadi satu di jalan Barito tersebut. Baik kenangan manis atau kenangan pahit. Lho, kok kenangan pahit? Ya, iya lah, telat membayar SPP adalah salah satu kenangan pahit. Bagaimana tidak pahit, karena wali selalu dipanggil menghadap pihak sekolah untuk di interogasi. Hehehe. Duh, maafkan! Sekedar melepas sejenak rindu pada keseruan suasana masa-masa muda di sekolah farmasi, maka ijin mbolang pun diberi suami.  Minggu, tanggal 28 Agustus adalah reuni puncaknya atau reuni Akbar bersama seluruh angkatan, mulai dari angkatan tahun 1969. Wah, berul-betul surprise bisa melihat kakak-kakak angkatan pertama bisa hadir di acara. Memang tidak semua bisa hadir, akan tetapi perwakilan dari mereka yang sudah sepuh, sangat mengharu

DI BALIK PELANGI

Gambar
 DI BALIK PELANGI Penulis : Lidwina Ro Ketukan pada pintu utama kembali terdengar. Sekilas ada bayangan di balik gorden dekat pintu masuk. Tidak terlalu nyata karena terhalang gorden. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam lewat. Huh! Semalam ini masih ada orang yang ingin bertamu?  Dengan setengah hati kakiku menggaet sandal jepit kuning yang tergeletak tak jauh dari meja ruang tengah, lalu berdiri meletakkan remot TV di sofa. Bergegas aku membuka pintu dengan sedikit menggerutu. Meninggalkan talkshow yang sedang tayang seru di televisi. Menyebalkan memang. Siapa sebenarnya yang mengetuk pintu terus menerus ini? Apa tidak tahu kalau sekarang sudah terlalu malam untuk bertamu ke rumah seseorang? Dengan sedikit penasaran aku memutar kunci dan ... sosok menjulang tinggi sudah menantiku dengan sepasang mata yang menatap tajam. Bola mataku membesar, menatap tidak percaya pada sang tamu yang melipat kedua tangannya di depan dada. Tak sadar kakiku mundur selangkah. Entah mengapa kedua

HAPPY TRAVELING

Gambar
 HAPPY TRAVELING Penulis : Lidwina Rohani Entah sudah berapa lama tidak menikmati lagi bepergian dengan menggunakan kereta api. Mungkin sejak menikah. Karena setelah menikah, mobillah yang menjadi andalan di setiap perjalanan ke luar kota. Entah menengok mertua, atau berlibur ketika musim liburan semester anak-anak tiba. Mulai tanggal 1 Maret 2022, ada kabar gembira karena PT. Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI melayani 11 perjalanan kereta api jarak jauh (KAJJ) Pulang pergi (PP) dengan berbagai tujuan. Kota-kota tersebut di antaranya adalah : Cirebon, Purwokerto, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya dan Malang. PT KAI Daop 1 sudah menyiapkan beberapa fasilitas pendukung di Stasiun Cikarang seperti Loket Go Show, Layanan Pelanggan, Gate Boarding, ruang tunggu, mini market dan sebagainya. Untuk masa sekarang, calon penumpang kereta api tidak lagi harus melakukan Test Antigen kalau sudah memenuhi persyaratan. Apakah syaratnya? Yaitu sudah melakukan 3 vaksin. Cara pemesanan

MENDUA (3)

Gambar
Penulos : Lidwina Ro  Kedua keluarga besar kemarin sudah saling bertemu. Berarti tinggal menetapkan hari pertunanganku. Ibu dan Bapak tidak bisa lagi memohon kepada Kak Jingga, karena sudah ada janin dalam perut kakakku bersama dengan kekasih barunya. Orang tuaku berencana akan menikahkan mereka secepatnya. Apakah jarak yang memisahkan antara Kak Jingga dan Bimo adalah penyebab adanya orang ke tiga masuk? Entah lah. Tapi aku bisa menangkap sekelebat penyesalan Kak Jingga di sela-sela permohonan maafnya padaku kemarin. “Aku tidak menyangka Kakek masih bersikeras menjadikan Bimo bagian dari keluarga setelah aku melakukan kesalahan, Lis. Maafkan aku.” Melihat tangisan kakak kandungku yang terlanjur berbadan dua, aku menjadi lunglai, merasa kalah, dan tidak berkutik. “Lis, meskipun Bimo tidak terlalu suka bicara, tapi Bimo lelaki baik dan bisa dipercaya. Kakak bersalah sudah mengecewakannya.” Rasanya aku ingin berteriak saja di depan wajah Kak Jingga. Kalau Bimo lelaki baik, mengapa Kakak

MENDUA (2)

Gambar
Penulis : Lidwina Ro  Mengapa di dunia ini masih ada stok lelaki macam Bimo? Aneh bin ajaib. Ketika Kak Jingga kabur bersama kekasih barunya, bisa-bisanya dia dengan gampang menyetujui saran orang tuanya untuk tetap meneruskan ikatan antara dua keluarga yang sudah lama bersahabat. Caranya? Ya dengan menyambung kembali pertunangan yang telah kandas. Kan, ini tidak masuk akal sama sekali? Seperti tidak ada wanita lain di dunia ini saja.  “Kita jalani saja dulu, Lis,” gumam Bimo dengan kalem, ketika menerima tatapan tidak senang dariku. Hm, enteng sekali lelaki itu bicara. “Tapi ... tapi aku sudah punya pacar, Bim. Kau tahu itu.” “Tapi kau juga tahu, kan, penyakit yang di derita oleh kakekmu dan kakekku?” Aku terpaksa menggigit lidahku sendiri. Bimo benar. Entah untuk berapa lama lagi, kakekku bisa bertahan bertarung hidup di dunia ini. Akan tetapi, haruskah perjodohan konyol yang sudah ketinggalan zaman ini dipertahankan, dan memakan korban? Aku meniup kopi aren yang sudah tersaji bebera

MENDUA

Gambar
 MENDUA Penulis : Lidwina Ro Dari dalam dapur aku mencuri pandang ke arah Bimo. Lelaki itu tampak bersikap santai di tengah-tengah kehangatan canda tawa dua keluarga. Garis wajahnya yang di topang rahang tegas memancarkan kedewasaan. Sepasang matanya bersinar, seakan lebur bersama kegembiraan canda tawa seisi rumah. Tidak ada gurat penyesalan. Tidak ada kesedihan sama sekali. Semua seperti terlihat normal. Munafik!  “Lho, kok? Mengapa Non Lisi malah ada di sini?” Aku sedikit tersentak kaget. Dengan sedikit enggan terpaksa aku mengakhiri pantauanku. Segera tanganku menyambar sembarangan sebuah gelas di rak piring. Bi Murni seperti biasa tersenyum lembut, buru-buru pembantu tua itu menghampiri aku.  “Ingin minum apa, Non? Sini Bibi buatkan. Mau kopi aren, ya?”   Pembantu tua yang sudah hafal minuman kesukaanku itu, langsung mengambil gelas dari tanganku sambil terkekeh, dan membawa gelas menuju termos yang terletak di ujung meja dapur. Aku hanya bisa terdiam dengan linglung, dan membiark

PERMINTAAN (4)

Gambar
PERMINTAAN (4) Penulis : Lidwina Rohani   Mataku lalu bergeser. Ke arah lelaki yang ada di sebelah Jihan. Sedetik, dua detik aku merasakan dingin di sekujur tubuh. Hati yang tercekat ini, seakan lupa bagaimana cara menjerit. Susah payah aku mencoba meredam rasa sakit yang menguasai dada. Setengah mati aku mencoba bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi mataku ini, seolah-olah ogah berkompromi. Mataku mulai memanas.  “Kau ....” Lelaki di sisi Jihan itu mendadak hilang suaranya, terperanjat menatapku. Seakan tidak percaya. Jadi dugaan Melani yang selama ini sering diceritakan padaku ternyata benar. Jihan, teman satu kos Melani ternyata mempunyai kekasih yang ... sama denganku! Bagaimana bisa semua ini terjadi padaku? Bagaimana bisa!  “Apa kalian saling mengenal?” tanya Jihan sambil mengerjapkan mata, menatapku dari atas ke bawah, dengan pandangan mata sedikit menyelidik. “Radit itu temanku,” ujar Birawa yang tiba-tiba datang memperkenalkan diri di tengah kerumunan yang kaku. 

PERMINTAAN (3)

Gambar
PERMINTAAN (3) Penulis : Lidwina Rohani   “Kau mau ke mana?” Birawa lagi-lagi menarik pergelangan tanganku. Ah, aku lupa. Ada satpam di belakangku. Tentu saja dengan sepasang mata cokelat muda yang selalu waspada mengawasiku dengan siaga penuh. “Itu ... mau ke sana. Itu Melani, temanku.” Birawa lalu melepas cekalannya setelah menatap arah yang aku tunjuk. Melihat sahabatku yang melambai centil itu, Birawa  mengangguk samar. Duh, genit cara sekali Melani tebar pesona. Melani langsung terkekeh saat aku sudah berada di sampingnya.  “Di mana Mas Agung, Lin? Mengapa kau membawa buldog ganteng yang lain?” Melani yang sudah paham dengan peraturan kakakku, cekikikan geli. Aku mencubit lengan Melani sambil ikut cekikikan. Lalu tiba-tiba aku ingat akan misi yang sedang kami kerjakan berdua. Mataku sayu menatap Melani. Teringat kembali pada kecurigaan Melani pada teman salah satu kosnya, yang sudah sering dia ceritakan kepadaku. “Gimana, Mel? Apa teman kosmu sudah datang juga?” bisikku sedikit ce

PERMINTAAN (2)

Gambar
PERMINTAAN (2) Penulis : Lidwina Rohani   Setelah menunggu Birawa memarkir mobil, Aku dan Birawa bersiap masuk di dalam sebuah gedung pernikahan mewah, di area sekitar Taman Mini Indonesia Indah. Gedung resepsi yang cukup megah dan mewah. Di luar gedung berjajar banyak karangan bunga ucapan selamat kepada kedua mempelai. Panitia dengan seragam kebaya krem juga berjajar rapi di mulut pintu gedung. Tampak cantik dan anggun dengan seulas senyum merekah dan ramah di bibir.  “Birawa, kan?”  Birawa spontan menarik tanganku, memaksa aku berhenti melangkah. Kami berdua menoleh pada seorang gadis tinggi langsing berbalut seragam kebaya nuansa krem di antara panitia penerima tamu.  “Febi, ya?” Birawa akhirnya berhasil mengeja sebuah nama setelah beberapa saat mengerutkan alis. Gadis itu mengangguk antusias. Bola matanya yang indah penuh cahaya seperti kejora, dan gadis itu mundur dari barisan penerima tamu, seolah ingin melanjutkan obrolan dengan Birawa. Baiklah, aku mengikuti mereka menepi dan

PERMINTAAN

Gambar
 PERMINTAAN Penulis : Lidwina Rohani Birawa melotot tidak percaya ke arahku. Aku mengangguk beberapa kali, mengisyaratkan bahwa aku tidak main-main dengan permintaanku. Lambat laun matanya yang melotot itu meredup, dan manik yang berwarna cokelat muda itu lalu berubah menyipit tajam, menelisik. Seperti sebilah pisau milik Bi Suci, yang siap mencincang daging ayam untuk isian perkedel kesukaanku. Waduh, celaka ini! Diam-diam kedua tanganku yang sudah berkeringat, saling meremas di balik punggung. Kalau mata Birawa menyipit seperti ini, alamat lelaki ini akan banyak bertanya-tanya. Lagaknya mengingatkan aku seperti polisi yang sedang menginterogasi maling ayam. Bahkan jemari yang tadi power full memetik senar gitar itu kini menurunkan nada. Sambil jarinya masih lincah menari di antara senar gitar, Birawa tidak melepas tatapannya padaku. Intro lagu Ruang Rindu Letto masih sayup-sayup terdengar. Ih, melow sekali Birawa ini. “Mengantarmu ... ke mana tadi?” tanya Birawa mengusik lamunan. “Eh

RACUN

Gambar
RACUN Penulis : Lidwina Rohani  Mempunyai keluarga yang harmonis adalah impian dan harapan banyak orang. Misalnya anggota keluarga yang saling suport satu sama lain dan kompak saling membantu tanpa diminta terlebih dahulu.  Tetapi pada kenyataannya, tidak semua orang bisa beruntung mengalami hal-hal tersebut, yaitu merasakan dukungan secara moral dan material, bukan? Di dalam sebuah keluarga, ada istilah yang disebut toxic family. Apa itu toxic family?  Toxic family adalah sifat seorang anggota keluarga yang menghambat perkembangan diri saudaranya. Sifat-sifat beracun dari keluarga ini bisa datang dari mana saja, misalnya relasi antara orang tua dan anak, suami dan istri, bahkan kerabat dalam lainnya.  Ciri-ciri dari orang-orang beracun ini terlihat dari cara yang suka mengatur hidup seseorang, suka menonjolkan dirinya sendiri, selalu berpandangan negatif, membuat situasi seolah-olah terlihat begitu buruk atau suram, mengabaikan perasaan orang lain dan menganggap diri mereka sendiri ya

MEMBACA

Gambar
MEMBACA Penulis : Lidwina Rohani  Ratna kecil dari awal sudah tertarik dengan susunan huruf yang kecil-kecil. Dari awal sudah besar sekali niatnya untuk bisa cepat membaca. Ketika masih TK, kadang-kadang Ratna memungut lembaran koran bekas yang kadang ditemukannya di pinggir jalan, ketika berjalan pulang, usai sekolah. Dia melipat dan membawanya ke rumah, lalu memberikan pada ibunya. “Bu, ini membacanya bagaimana?” tanya Ratna dengan mata membola. Jelas sekali dia ingin belajar membaca. Ibu pun tersenyum. Setelah selesai memasak, biasanya Ibu memanggil Ratna, dan memangkunya. Perlahan-lahan dan telaten, Ibu mengajari Ratna mengenal huruf-huruf setiap sore. Setelah duduk di sekolah dasar, Ratna semakin suka membaca. Tidak jarang Ratna meminjam buku cerita dari perpustakaan sekolah. Begitu cepatnya dia membaca, sehingga dapat menyelesaikan bacaannya dengan kilat, dan meminjam lagi di perpustakaan. Sebenarnya Ratna adalah anak yang pendiam. Tetapi karena sangat suka membaca, akhirnya Ratn

BUNGA (3)

Gambar
  BUNGA (3) Penulis : Lidwina Rohani “Mbak Vani sedang apa di teras? Tadi itu ... bicara dengan siapa?” tanya Via lagi penuh selidik. Lehernya menjulur ke teras, dan dengan tajam matanya mengedar ke sekeliling, seolah sedang memeriksa situasi di teras. Lebih tepatnya seperti mencari sesuatu.  “Tadi aku menyuruh Bunga masuk ke rumah. Dia bermain sendirian di teras, tadi dia ... tadi dia ada di situ ....”  Aku tergagap saat mengikuti arah pandangan Via ke teras, dan tidak menemukan Bunga di sana. Hei, di mana Bunga? Mengapa tidak ada siapa-siapa di teras? Hanya ada kursi teras rotan panjang dan sebuah meja kecil di sana. Lalu pergi ke mana Bunga? Seperti Via, mataku segera berkeliling, mencari sosok kecil mungil yang memeluk boneka. Ketika aku akan bergerak melangkah mencari di sekitar teras, dengan sigap tangan Via menahanku dengan erat. Aku kaget. “Via, sungguh aku tadi melihat Bunga ... tadi Bunga ....” “Mbak Vani!” bisik Via tertahan sambil matanya membola sempurna. Buru-buru Via men

BUNGA (2)

Gambar
BUNGA (2) Penulis : Lidwina Rohani   “Masih ingin main, Ma ...” “Iya, tapi mainnya di dalam saja, ya?” bujukku sambil meraih lengan Bunga. Sedetik aku tersentak saat merasakan betapa dingin lengan anakku, Bunga. Ah, angin malam pasti sudah lama mengepungnya sejak tadi. Entah sejak kapan Bunga keluar dari kamar dan bermain di teras sendirian. Memangnya ke mana kakaknya Mega? Dan ke mana pula adikku Via sekarang? Masak sampai tidak tahu kalau Bunga keluar dari kamar sendirian? Aku celingukan sesaat mencari keberadaan mereka. Di luar tampak sepi dan gelap. Hanya ada kegelapan malam yang diterangi lampu temaram di sepanjang jalan.  “Cepat masuk, Bunga. Nanti tidur bersama Mama,” rayuku sambil menggandeng tangan mungil itu untuk masuk ke dalam rumah. Senyum kecil menghiasi mulut Bunga, membuat aku segera menariknya dalam pelukan. Rambut Bunga yang hitam aku elus. “Apa mama sayang sama Bunga?” cetusnya pelan, terdengar sendu saat aku mendekap erat. Aku mengangguk pada suara lirih yang jauh i

BUNGA

Gambar
 BUNGA Penulis : Lidwina Rohani Mimpi buruk selalu menghampiriku bila di tinggal dinas malam oleh Mas Erik. Belum lagi sakit kepalaku yang kumat. Selalu begitu. Menyebalkan! Entah mengapa belakangan ini, aku selalu dihantui oleh mimpi buruk. Seolah dikepung dengan suara-suara tembang Jawa yang sangat lirih dan meresahkan.  Sampai-sampai aku terbangun dari tidur dan berkeringat dingin. Ah, lebih baik menyegarkan tenggorokan yang kering ini dulu. Aku pun bangkit dari kasur, dan menuju ruang makan. Sambil meneguk habis segelas air putih, tidak sengaja mataku menatap kamar Bunga yang sedikit terbuka. Sinar lampu dari arah kamar Bunga tampak benderang, menyeruak di antara celah pintu. Heh? Mengapa pintu kamar Bunga anakku bisa terbuka, ya? Dan apakah Bunga ... Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menyelinap. Merambat perlahan tapi pasti. Mengajak halusinasi berkreasi tidak pasti. Ah, lebih baik aku memeriksa kamar Bunga yang terbuka. Aku lekas meletakkan gelas, dan bergegas menuju ke kamar Bun

SUATU SENJA (3)

Gambar
SUATU SENJA (3) Penulis : Lidwina Rohani “Bagaimana? Apa kau sudah merasa puas?” Abram bertanya tanpa menoleh. Matanya lurus, tetap fokus menyetir, dan konsentrasi pada jalan raya yang masih padat dengan kendaraan. Sementara mobil yang dikendarai Abram meluncur tenang, aku sibuk mempertanyakan keadaan hatiku sendiri. Apakah aku sudah puas? Pertanyaan Abram sepertinya agak kurang sopan, akan tetapi dia ada benarnya juga.  Aku menoleh pada teman baruku, sekaligus tetangga dan pelanggan setia resto tanteku di mana tiga tahun ini aku membantu pekerjaan Tante. Tempat tinggal Abram hanya berjarak dua rumah dari rumahnya Tante. Lelaki bernama Abram itu adalah penghuni kos yang suka nongkrong dengan teman-temannya di resto milik Tante. Sosoknya yang periang dan hangat, membuatku tak sadar menjadikannya sebagai teman mengobrol yang istimewa. Undangan pernikahan Lia yang semula membuatku bimbang untuk datang, tiba-tiba terpecahkan dengan mudah saat aku meminta tolong Abram mengantarku ke rumah s

SUATU SENJA (2)

Gambar
SUATU SENJA (2) Penulis : Lidwina Rohani Ketika aku duduk di sofa, Leo masih menatap intens. Membuatku panas dingin, ingin segera lenyap dari muka bumi. Aku ingin segera bertemu dengan Lia, tetapi mengapa kakaknya yang malah duduk di sini?  “Di-di mana Lia?” tanyaku gugup. Meskipun tiga tahun sudah berlalu, tatapan elangnya masih sempurna mengguncang hatiku. “Apa kau baik-baik saja? Di mana kau selama ini? Kau menghilang sangat lama, Yo.” Apa benar nada bariton itu menyiratkan rindu? Ah! Aku meremas ujung rok untuk mengusir gelisah. Dadaku juga sesak, tidak sanggup lagi menatap mata elang itu. Tidak aku sangka, setelah tiga tahun menghilang dari kehidupan Leo, aku masih belum bisa juga menata hatiku yang berantakan. Ternyata hatiku masih belum berubah juga. “A-aku kerja, ikut Tante. Eh, boleh bertemu dengan Lia sekarang?” “Aku di sini!”  Lia muncul dari dalam rumah dan menghambur memelukku. Untunglah Lia segera datang, sehingga aku tidak perlu tersiksa lagi di dekat Leo. Ternyata tidak

SUATU SENJA

Gambar
 SUATU SENJA Penulis : Lidwina Rohani “Ingat pesanku!” ujarku pada sopir yang menatapku sambil cengengesan itu. “Siap, bos.” Langit masih memuntahkan gerimis saat aku turun dari mobil. Sambil mengembangkan payung, aku berlari kecil masuk ke halaman rumah Lia yang pagarnya tidak di kunci. Rumah besar yang tiga tahun tidak pernah kusambangi lagi itu, tampak lengang. Sepi. Apakah Lia tidak ada di rumah? Akan tetapi, bukankah tadi mereka sudah sepakat dalam WhatsApp akan bertemu senja ini? Tanganku sejenak ragu untuk mengetuk pintu. Langkahku juga mendadak terhenti. Tiba-tiba kilasan-kilasan peristiwa dan sebuah wajah memenuhi kepala. Tidak dapat aku ungkiri, dadaku pelan-pelan terasa perih. Sambil meremas ujung rok, aku memejamkan mata. Berusaha menghalau rasa hangat yang berdenyut dan berdesakan di sudut mata. Segera aku menghirup udara dalam-dalam, seolah ingin mengumpulkan segenap kekuatan yang ada. Ketika menoleh ke arah mobil yang terparkir di luar, mataku menangkap beberapa karan

JERAT (2)

Gambar
JERAT (2) Penulis : Lidwina Rohani  Aku tergagap. Ke arah mana pembicaraan Bima ini? Ah, perasaanku, kok, jadi tidak enak? Adrian termasuk pemuda yang lumayan banyak penggemarnya. Tidak saja good looking, Adrian bawaannya cool dan humble, jadi pasti banyak gadis yang auto menempel padanya. Ini bukan topik baru lagi. “Memang ada apa, Tuan Bima? Come on, please tell us.” Kali ini malah Naning yang sudah tidak sabar. Gadis itu mengguncang pelan lengan Bima, agar segera membuka mulut. Bima kini menatapku lurus. Seolah sedang menimbang apakah sekarang waktunya untuk berbicara. Bisa jadi Bima sedang menunggu izinku untuk mengatakan  sesuatu yang penting?Melihat Naning sudah tidak sabar lagi, akhirnya aku mengangguk pada Bima. “Kemarin malam aku melihat Adrian mengajak gadis yang sama seperti Minggu lalu, nonton bioskop. Kamu ke mana saja kemarin, San?” Dugaanku benar. Adrian terlihat oleh Bima lagi. Ini kali kedua, Bima memergoki Adrian jalan tidak denganku. Bagaimana ini? Duh! Naning berdeh

JERAT (1)

Gambar
JERAT Penulis : Lidwina Ro Ada apa dengan cinta? Apa yang salah dengan cinta? Lebih tepatnya lagi apa yang salah dengan diriku sehingga tidak bisa lepas dari pesona jerat cinta? Ih, sebenarnya memalukan kalau mengingat betapa aku sangat mengharapkan bisa sering dekat dengan orang yang aku sukai di setiap waktu. Di mana, ya, logikaku?  “Apa kamu betul-betul menyukai Adrian?” tanya Bima tanpa melihatku. Mulutnya penuh, sibuk mengunyah pentol bakso jumbo dengan lahap. Seperti biasa kami sedang makan bakso di kedai pak No, langganan kami. “Bisa tidak, sih, makanmu pelan-pelan saja, Mas?” sungutku merasa risi dengan cara makan Bima. Bima hanya menyeringai masa bodoh. Lalu melanjutkan makannya dengan lahap. Naning yang duduk di sisi Bima menyambut dengan tawa cekikikan. Kami memang bersahabat sejak aku dan Naning masih kelas satu SMA, sementara Bima dan kakakku Sardi di kelas tiga SMA. Sementara kakakku di terima bekerja di luar kota, kami bertiga masih sesekali makan dan nongkrong bersama b

INGKAR (3)

Gambar
INGKAR (3) Penulis : Lidwina Ro  Dengan tergesa aku membalikkan badan. Senja yang mulai memayungi pantai tidak akan menipu mataku. Benar sekali. Bara tersenyum, berdiri tegak menggenggam kedua bahuku dengan erat. Senyumnya menenangkan hati. Tidak salahkah mataku ini?  “Aku akan selalu menemanimu, di mana pun kamu berada. Aku juga merindukanmu, Rat. Kau akan baik-baik saja, Sayang,” bisiknya lembut sambil mengetuk dahiku tiga kali. Kebiasaan lama Bara yang tak pernah hilang. Hati ini terasa menghangat oleh kerinduan yang dalam. Mataku sudah terasa panas, ingin menangis. Tapi Bara menggeleng. “Kau gadisku yang kuat, jangan menangis.” Bara membawaku dalam pelukannya. Untuk sesaat aku merasa tenang dalam pelukannya. Meskipun aku berusaha menahan tangis, tetapi tetap saja pipiku basah. Bara mengusap-usap halus punggungku sekedar menenangkan.  “Perjalananmu masih panjang. Kau harus kuat, demi anak kita.” Aku makin membenamkan kepalaku dalam dadanya. Tidak ingin Bara pergi lagi. Aku hanya in

INGKAR (2)

Gambar
 INGKAR (2) Penulis : Lidwina Rohani  Aku menoleh, dan menemukan suara yang mengusik kesendirianku yang semula tenang dan damai. Sambil tersenyum aku mengulurkan tangan, menggapai jemari Maharani untuk duduk di dekatku. Anak semata wayangku mendekat, lalu duduk, dan merebahkan kepalanya dengan manja di bahuku. Sebelah tangannya merangkul dengan hangat. “Ayo kita pulang. Tapi kita cari makan dulu, ya? Ibu enggak lapar apa, dari tadi hanya diam, memandang laut,” ujar Maharani dengan nada penasaran. Aku lagi-lagi hanya tersenyum. Maharani selalu menarikku ke dunia nyata. Dunia sesungguhnya yang harus aku hadapi, harus aku sikapi dengan bijak. Entah bagaimana kalau Maharani tidak ada di sampingku. Karena sekarang hanya dia satu-satunya teman sejati dalam hidup, setelah Bara meninggalkan kami. “Apa yang Ibu pikirkan?” tanya Maharani sambil menatapku lekat. Matanya yang berwarna cokelat tua menelisik dalam. “Sepiring rawon panas dengan sambal yang pedas,” sahutku cepat,  mengalihkan penasara

INGKAR

Gambar
 INGKAR Penulis : Lidwina Rohani Bara ingkar janji. Dalam hatiku yang paling dalam rasanya aku tidak ingin memaafkannya. Bagaimana mungkin bisa Bara melupakan janjinya begitu saja padaku? Mengapa hati Bara menjadi berubah? Apa aku penyebab hati Bara berubah? Aku menarik napas panjang, seolah mencoba mengusir sumpek di dadaku dengan udara laut yang beraroma pasir dan asin. Perlahan aku meraba pipiku. Apa pipiku sudah keriput? Apa aku sudah tidak cantik lagi? Ah, konyol. Bara tidak akan berpikiran seperti itu. Aku yakin. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Ratna.” Masih segar dalam ingatanku saat Bara berbisik lembut tepat di telinga, di hari pernikahan kami. Waktu itu aku hanya sanggup tersenyum, karena aku sangat percaya pada Bara. Segala yang dikatakannya aku percaya penuh. Tanpa perlu berpikir dua kali. Bara bahkan sudah membuktikan rasa cinta dan sayangnya jauh-jauh sebelum kami menikah. Dia menjaga dan melindungiku dengan segenap jiwa raganya. Tetapi sebagai wanita kolokan yang

SERIN (3)

Gambar
 SERIN (3) Penulis : Lidwina Ro Langkah kecil menghampiriku dengan ragu. Aku menoleh. Serin dengan seragam putih birunya, menatap datar, sangat kental dengan keraguan. Aku gemas dengan cara Serin memandangku. Akan tetapi juga geli dan trenyuh, karena tatapan itu sama persis dengan tatapanku dulu, di mana aku juga pernah ada di posisi Serin yang sekarang. Menjadi anak broken home memang tidak pernah mudah. Jiwa yang terluka dan terbuang selalu melekat erat, membayangi ke mana saja kaki melangkah. Teman yang memandang iba, menjadi beban tersendiri yang tak pernah berkurang timbangannya. Perasaan akan kehadiran yang tidak diinginkan orang tua adalah mimpi abadi pada malam kelam. Tekanan batin setiap hari akan semakin bertambah, menghajar saraf, memunculkan pemberontakan dan kebencian yang samar, yang entah dari mana munculnya. “Apa raporku bagus? Apa Ayah nanti tidak marah lagi?” Beberapa detik aku tertegun sendiri dengan kalimat yang terucap lirih itu. Lalu aku mendekatinya. Dengan er