CUKUP ADIL


CUKUP ADIL

Penulis : Lidwina Ro


Entahlah, bagiku duduk berdua denganmu dengan secangkir kopi Latte di antara kita merupakan kejahatan termanis dalam hidupku.

Mau bagaimana lagi? Setengah dari hatiku sudah terlanjur jatuh di genggamanmu. Meskipun aku tidak terang-terangan mengakuinya, akan tetapi mengapa hatiku teramat sakit saat mengetahui kalau kau lebih memilih gadis yang dijodohkan ibumu ketimbang ngeyel mempertahankanku. Ah, sependek inikah dongeng asmaraku? Tidak seru.

Sebenarnya lelaki macam apa kamu? Mengapa setuju saja balik ke levelnya Siti Nurbaya? Tidak kusangka nyalimu setipis ATM. Sampai di sinikah perjuangan cinta?

“Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bisa menolak pernikahan ini. Ibuku ....”

“Sudahlah. Aku memintamu ke sini bukan untuk membahas itu,” potongku jenuh, mencoba mengukir senyuman manis. Menutup segala bayangan yang berseliweran di dalam otak.

Kesalahan yang telah banyak diperbuat oleh para wanita -termasuk aku- adalah mengisi hati lebih besar dengan ruang harapan baik, dan lupa mengisi hati dengan ruang kecewa. Ini pil pahit bagiku. Kedepannya, aku harus mempersiapkan juga ruang  kecewa, agar memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memotivasi diri, berjaga-jaga agar tidak terpuruk lagi.

“Kau akan menemukan lelaki lain yang lebih baik dariku.”  Entah itu kalimat untuk menyemangati ku, atau untuk meledekku, aku tidak tahu.

“Ayo, minum. Sebelum dingin,” ujarku mengalihkan topik pembicaraannya, sambil melirik ke arah temanku Sandra -bartender kafe- yang membantu misiku. 

“Aku tetap mencintaimu, Sayang.”

Duh, amat klise. Andai saja kalimatmu disertai sedikit perjuangan. Sedikit saja. Bukankah cinta selain ketulusan, juga perlu perjuangan? Aku menghela napas. Sepertinya akan sia-sia berharap lebih pada lelaki sepertimu. Sudah terlambat. Semoga ngopi kali ini menjadi pertemuan yang terakhir. 

Aku meneguk habis latte saat melihat ekspresimu wajahmu dengan tangan sebelah memegang perut. Mungkin sudah tiba waktunya. Bagaimanapun aku akan melanjutkan hidup yang sudah setengahnya kamu remukkan tanpa berpikir dua kali.

Jadi mengapa aku harus berpikir dua kali untuk melakukan ini? Kulambaikan tangan pada Sandra sebelum aku meninggalkan kafe. Biarlah pencahar yang aku masukkan dalam kopi latte-mu menjadi salam perpisahan dariku. Tidak sebanding memang dengan betapa kecewanya hatiku saat ini, akan tetapi ini cukup adil, sekaligus penawar manis buat hatiku yang pahit, jika bisa membuatmu bolak balik ke WC. Rasain!

Cikarang, 131122

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU