DULU KITA MASIH REMAJA
DULU KITA MASIH REMAJA
Penulis : Lidwina Ro
“Halo San.”
Sandra mengenal suara itu! Meskipun lama tidak bertemu dengan lelaki itu, tetapi tetap saja hatinya berdesir ketika mendengar suaranya.
Mimpi apa semalam sehingga bisa bertemu Bram di mal? Bukankah Bram bekerja di Jakarta?
Sandra berbalik. Bram tersenyum bahagia mengacak poni Sandra.
“Ah, kau masih saja punya poni seperti dulu. Bagaimana kabarmu? Masih ingat aku?”
“Baik.” Hanya itu yang bisa keluar dari suara parau Sandra. Bagaimana bisa Sandra lupa pada tetangga sebelah yang sering mengantarnya ke sekolah karena arah mereka sejalan? Jika Ibu kerepotan menjaga adik kembarnya, Ibu selalu menitipkan Sandra pada Bram, dan dengan ramah Bram selalu menyanggupi permintaan Ibu.
“Masih ingat aku tidak, sih?” desak Bram, seolah tidak puas. Ingin mengetes daya ingatan gadis itu.
Sandra mengangguk, tersipu.
“Masih ingat saat ban motorku bocor, dan kita dihukum berdiri di lapangan karena terlambat?”
“Masih ingat kamu menangis dan mengadu ketika di goda Rio? Ingat kamu ngambek ketika aku memboncengkan Dewi?” cecar Bram seolah khawatir Sandra sudah pikun.
Waktu itu Sandra baru SMP. Bram hampir lulus SMA. Sekolah mereka bersebelahan karena masih dalam satu yayasan yang sama. Semua kenangan itu tentu masih melekat sempurna.
“Kalau boleh tahu, mengapa kau menangis waktu aku memboncengkan Dewi?” goda Bram.
Wajah Sandra sontak memucat. Meskipun dirinya tahu bahwa pertanyaan Bram hanya iseng, tetapi dadanya toh bergetar juga.
“Ah, dulu aku masih remaja, masih ingusan dan kolokan.”
“Benarkah?” senyum Bram nakal.
Sebelum Sandra mengklarifikasi jawabannya -untuk jaga gengsi- seorang gadis mendekati mereka. Dewi. Ah, ternyata memang Dewi yang telah berhasil merebut hati Bram. Apalah seorang Sandra bila dibandingkan dengan Dewi yang begitu sempurna?
Setelah berbasa basi, mereka pun pergi. Sandra mengatur napas, mencoba meredakan riuhnya gejolak hati.
“CLBK. Cinta lama belum kelar.”
Sandra terkejut, Bintang tiba-tiba muncul dengan troli belanjaannya. Cengengesan seperti biasa.
“Apaan, sih?” sungut Sandra menyembunyikan rasa kagetnya.
Bintang semakin kumat saja usilnya. “Tadi belum kamu jawab, loh, jadi ... mengapa kamu menangis waktu doi memboncengkan Dewi?”
“Heh! Kamu nguping, ya!” seru Sandra kesal bukan main. Bisa-bisanya Bintang mencuri dengar percakapan mereka tadi. Sungguh tidak sopan sekali Bintang ini!
Terdengar seruan mengaduh, karena sebuah cubitan maut langsung melintir telak, di pinggang Bintang.
Cikarang, 121122
Komentar
Posting Komentar