KELIRU (3)
KELIRU (3)
Penulis : Lidwina Ro
Sopir itu malah sudah mendorongku lembut, untuk segera duduk di samping Rian. Dengan canggung aku pun duduk di sebelah anak itu.
“Aku Rian,” ujar anak itu dengan nada ringan dan polos.
“A-aku Didi,” sahutku terbata.
“Sudah lama aku ingin berkenalan denganmu. Tapi, yaa ... begitulah, belum sempat,” Rian tersenyum riang sambil mengangkat bahu.
Aku mengangguk. Mencuri pandang ke bawah, pada kaki Rian. Hatiku sangat tidak nyaman, merasa bersalah karena sudah menghakimi Rian sebagai anak yang sombong.
“Aku sering melihatmu bermain sepak bola di lapangan dekat rumah. Andai saja aku bisa ikut main sepak bola ....”
Entah kapan Rian melihatku main sepak bola, tetapi setiap hari Minggu, aku memang sering pergi bermain sepak bola di lapangan dekat rumahku bersama teman-teman.
“Apa hobimu?” tanyaku.
“Main domino, main di kolam, oh, iya, aku juga suka menonton film. Banyak VCD bagus di rumahku. Kau mau main ke rumahku? Nanti kita bisa nonton berdama-sama.”
“Ke-ke rumahmu?”
“Rumah kita, kan dekat, Di. Mainlah ke rumahku, ya?”
“Orang tuamu tidak marah?”
Rian tertawa geli. “Tentu saja tidak marah. Papa mamaku berangkat kerja pagi-pagi, dan malam baru pulang. Kalaupun mereka tahu, mereka tidak akan marah.”
“Jadi seharian kau sendirian di rumah, Rian?” tanyaku heran.
“Tentu saja tidak. Ada Pak No yang siap mengantar jemput aku sekolah, juga ada Bi Sumi yang memasakkan aku. Iya, kan, Pak No?”
Sopir yang sedang mengemudi itu terlihat tersenyum, dan mengiyakan. Aku pun mengangguk, tanda mengerti. Pak No bahkan bercerita Rian punya ikan koi banyak di halaman belakang. Pak No juga ikut membujuk supaya aku kapan-kapan mau mampir dan bermain bersama Rian.
Ketika Pak No menurunkan aku di depan rumah, hujan agak reda. Hanya tersisa gerimis kecil.
“Kapan-kapan main ke rumah Mas Rian, ya. Kasihan, dia enggak punya teman. Sejak kecelakaan yang membuat sebelah kakinya di amputasi, Mas Rian berubah. Penyendiri, dan tidak pede. Baru kali ini Mas Rian ingin punya teman, yaitu kamu, Mas Didi. Hari Minggu nanti main, ya?”
Tiba-tiba seperti ada gerimis yang turun di hatiku. Tas sobek, sepatu mangap, dan sepiring nasi goreng dingin tanpa lauk, seolah-olah menjadi tidak berarti lagi, bila dibandingkan dengan keadaan teman baruku, Rian. Ternyata, selama ini aku keliru menilainya.
Komentar
Posting Komentar