DUA WARSA


 DUA WARSA

Penulis : Lidwina Ro


Sudah menjadi kebiasaanku sebelum ziarah, membeli sekantung keresek bunga tabur di pasar pinggir jalan, tidak jauh dari pemakaman umum desa. Mbah Gami adalah salah satu penjual bunga langgananku. Wajah yang dipenuhi keriput di sana sini itu tampak semringah saat melihatku mampir ke lapaknya. Sebuah meja tua dari bambu yang sudah reot kehitaman.

“Mbak Muna sudah lama enggak kelihatan. Jarang sekali pulang.”

Aku mengangguk sambil mengulurkan uang. Sejak ibuku meninggal dua tahun yang lalu, aku memang tidak pernah pulang. Entahlah, bagiku pulang ke desa malah membuat hatiku semakin berat. Jujur saja aku belum mampu menghapus semua kenangan di sini. Terlalu banyak luka yang harus aku terima. Puncaknya saat Ibu -satu-satunya keluarga yang aku miliki di dunia- meninggal, praktis tidak ada alasanku untuk  harus kembali ke desa ini lagi. Bagiku lebih baik mencari kerja di kota, dan mengganti nomor ponsel, lalu mencoba menata hidup mulai dari awal lagi. Bukankah pilihanku ini sudah yang terbaik?

“Banyak kerjaan, Mbah,” sahutku basa basi, tentu saja dengan memasang senyum bahagia yang palsu. Tidak ingin pembicaraan kami berlanjut, aku pun segera pamit.

Mbah Gami tersenyum maklum. Tidak banyak bertanya. 

Jarak dari pasar ke makam, tidak terlalu jauh. Tidak sampai lima belas menit kalau berjalan kaki. Sebenarnya banyak tukang ojek yang berusaha menawarkan jasa. Tetapi karena masih pagi, masih belum panas, maka kuputuskan untuk berjalan kaki saja. 

Masih sama seperti dua tahun yang lalu, pemakaman desa tidak berubah. Lorong jalan menuju makam dipenuhi dengan guguran daun jati kering. Area pemakaman memang dikelilingi oleh pepohonan jati. Sunyi. Apalagi yang aku harapkan selain kesunyian? 

Aku mencari makam ibuku. Ada rasa bersalah karena dua tahun tidak menyambanginya. Kesedihan, kesepian, dan kesakitan yang selama ini aku pendam, luruh bersama tetesan  air mataku yang tertahan lama dan terjepit di relung hati.

Baiklah, jika aku minta diberi kekuatan, maka Tuhan akan memberikan kesulitan supaya aku kuat. Ini adalah jawaban yang setimpal untuk semua doaku bukan? Sebenarnya Tuhan menjawab semua doa.

Hanya saja mengapa hatiku masih terasa hampa karena sakit? Untuk sejenak kuloloskan butiran hangat dari sudut mataku tanpa berniat untuk menahannya seperti biasa. Dada yang terasa sesak dan pengap ini, biar lah sejenak lega.

Aku menghela napas, mencoba meredakan ledakan emosi sambil melayangkan pandang ke sekeliling. Mataku sontak menangkap seorang perempuan yang berdiri di bawah pohon, tak jauh dariku. Mataku menyipit, aku seperti mengenalinya. 

Benar saja. Perempuan itu tersenyum. Seketika dadaku bergemuruh. Tak salah lagi. Itu Rina. Perempuan yang berhasil mengacaukan hidupku, sehingga aku harus menerima dengan terpaksa pembatalan pernikahanku. Mau apa dia ada di sini? Belum cukupkah dia menghancurkan aku?

(Bersambung)

Cikarang, 191122

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU