Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2022

GERIMIS MENCEKAM

Gambar
 GERIMIS MENCEKAM Penulis : Lidwina Ro  Aku gemetar. Tidak mungkin telingaku salah dengar. Ada ketukan di jendela kamarku. Ini untuk yang ke dua kalinya. Sepertinya aku tidak bermimpi. Ritme jantungku meningkat cepat. Penasaran dan takut melebur jadi satu. Untuk kembali tidur, aku sudah tak bisa lagi. Gerimis belum berhenti sejak sore, menambah ciut hatiku. Bapak dan Ibu pergi ke luar kota menjenguk Nenek. Aku malas ikut, karena rencananya mereka hanya menginap semalam saja. Lebih baik aku belajar di rumah karena Senin sudah masuk pekan ulangan. Sepertinya aku mendengar samar ketukan lagi. Kelihatannya berganti tempat. Aku merinding. Pikiranku melayang liar. Jangan-jangan itu arwah tetanggaku sebelah yang tiga hari lalu meninggal. Ah, tidak, tidak! Konyol sekali aku! Musyrik! Si alnya, aku malah kebelet pipis. Duh, menyebalkan! Terpaksa aku turun dari kasur, tak lupa kuselipkan ponsel di saku babbydoll-ku. Suara Cakra Khan masih setia berulang-ulang menemaniku sejak sore gerimis tadi.

MOVE ON

Gambar
 MOVE ON Penulis : Lidwina Ro Pernah jatuh cinta? Bagaimana kira-kira rasanya?  Berjuta rasanya bukan? Semangat dan bahagia bila bisa berjumpa. Berjuta rasanya kata penyanyi  lawas Mbak Titik Puspa. Dan bagaimana dengan putus cinta? Berjuta rasanya juga, lho! Apalagi kalau diputus sepihak. Ibaratnya, bumi seperti berhenti berputar. Aku pernah putus cinta. Makan tidur tidak enak. Kepala terasa berat. Hati dan pikiran saling berperang, campur aduk tak jelas. Semua pertanyaan dan asumsi seolah berputar-putar dalam kepala tanpa jeda. Selanjutnya hidupku mulai hampa, dan labil. Sahabat pun mulai merapat, satu persatu mereka membagikan jurus andalan untuk membantuku keluar dari kesedihan. Mereka berteriak, move on! Ketika itu aku tidak tahu cara move on yang benar. Jangan remehkan rasa yang tertinggal. Apalagi memaksa untuk mengingkari rasa yang tertinggal. Sumpah. Tidak akan pernah berhasil dengan cara itu. Karena sebenarnya move on bukan cara mengingkari atau melupakan perasaan. Sekal

WANITA PENGHIBUR

Gambar
WANITA PENGHIBUR Penulis : Lidwina Ro Namanya Pethi. Seorang wanita jenaka, yang entah dari mana asalnya. Sering berdiri di balik luar terali pagar besi kos kosanku, tepatnya di Jalan Pecindilan Terate. Dia suka memperhatikan kegiatan anak-anak kos. Kadang-kadang dia bertanya, mengajak bercerita, tetapi yang sering terjadi kadang-kadang anak-anak kos malah menjahilinya. Mengerjainya. Sebagai kompensasi, aku dan anak-anak kos sering memberinya camilan, gorengan, juga Indomi bikinan sendiri. Meskipun tutur katanya tidak beraturan, sering kali sukar dimengerti, tetapi kehadiran Pethi menyegarkan bagi kami semua. Bagiku, tak ada Pethi, seperti ada yang kurang. Hari-hariku tidak seru jika belum menjahilinya. Waktu itu Malam Minggu. Ibu kosku terkenal disiplin, jadi aku berusaha pulang tepat waktu, jika tidak ingin diinterogasi oleh wanita tua, asli Madura yang sering bicara dengan logat daerah aslinya itu. Beliau itu biasanya patroli di teras rumah induk, samping kosan. Hari ini tumben seka

Orang Ke Tiga

Gambar
  ORANG KE TIGA Penulis : Lidwina Ro Ketika itu senja masih menyisakan warnanya. Aku menatap kosong pesan singkat dari Melati. Kuselipkan ponsel di tasku, lalu kembali menatap ke atas langit. Pelan-pelan lembayung yang mewarnai senja semakin pudar, seakan mengingatkanku pada kondisi diriku sendiri. Pudar. “Kita pulang sekarang, Rei. Sudah mulai gerimis.” Aku menoleh pada lelaki di sebelahku yang mengangguk samar. Dia berdiri, lalu membantuku berdiri pula. Kami berlari kecil meninggalkan pantai menuju mobil yang di parkir. “Lihat, rambutmu basah, Lel.” Lembut lelaki itu mencoba mengeringkan rambutku dengan tisu setelah kami berada di dalam mobil. Spontan aku memiringkan kepala, menjauh dari jangkauan tangannya.  “Antar aku pulang sekarang, Rei. Aku tahu kau akan ke mana setelah ini.” pintaku sambil tersenyum. Rei menatapku tajam. Kulihat ada sekelebat sinar yang tidak kumengerti terselip di kedua mata legamnya. Tetapi Rei tidak berbicara apa-apa sampai mobilnya berhenti tepat di depan r

KARAM

Gambar
 KARAM Penulis : Lidwina Ro  Aku bertemu dia. Lelaki jangkung berhidung tinggi dengan garis rahang tegas dan dagu yang meninggalkan bekas sisa cukurannya. Aromanya begitu maskulin. Aku berani bertaruh, setiap gadis pasti akan sejenak menahan napas bila dia melintas.  Hari masih pagi. Seharusnya menjadi Senin yang menyebalkan, karena aku harus kembali melakukan pekerjaan rutinku. Tetapi untuk pertama kalinya hari ini aku sedikit bersemangat. Entah mengapa, ada sunyi yang mengepung telingaku, dan memaku tatapanku ke arahnya. Hati ini seperti tidak rela kehilangan momen yang aneh ini. “Mau ke mana, Mbak?” Ya, ampun! Apa wajahku kelihatan konyol sehingga dia terpaksa menyapaku? Suaranya sopan dan dalam. Tidak ada kilat iseng dalam nada dan sorot matanya. Membuat diam-diam aku merasa sedikit tersanjung, lebih tepatnya lagi ... aku lega. “Kerja,” sahutku sambil membuang muka ke samping, pura-pura mencari angkot. Dalam hati aku ingin, dia bertanya sesuatu lagi padaku. Dih, noraknya aku! “Kerj

LUPA KAMAR

Gambar
 LUPA KAMAR Penulis : Lidwina Ro  “Bu, aku kebelet pipis,” bisikku pada Ibu yang sedang menyuapi Mbak Ajeng. Ibu yang sedang menyuapi makan Mbak Ajeng menoleh. “Raden tahu jalannya kamar mandi? Atau Ibu antar?” “Sendiri saja. Aku masih ingat jalannya, kok, Bu,” sahutku penuh percaya diri. Tetapi ternyata, setelah habis pipis,  aku lupa jalan menuju kamar Mbak Ajeng dirawat karena  sakit tipes. Beberapa kali aku salah memasuki kamar. Celakanya lagi aku tidak hafal nomor kamar Mbak Ajeng di rawat. Lorong rumah sakit begitu panjang. Di kanan kirinya berjajar banyak kamar yang hampir semua sama. Aroma karbol di sepanjang koridor rumah sakit sesekali tercium menyengat. Aku sungguh tidak suka.  Seorang anak lelaki yang sebaya denganku, sedang duduk di salah satu bangku sendirian. Wajahnya juga sebingung aku. Memandangi satu persatu orang yang bergantian keluar masuk ke dalam kamar dengan melongo. “Hei, apa kau juga lupa kamarmu?” tanyaku kemudian, setelah duduk di dekatnya. Anak itu terkejut

DUNIA MAYA

Gambar
 DUNIA MAYA Penulis : Lidwina Ro Dengan kesal aku menyalakan batang rokokku yang ke empat. Seharusnya ini adalah malam kemenangan, dan mungkin malam yang penuh sensasi. Bagaimana tidak. Hampir setahun aku merayu Hera -teman facebook-ku- untuk temu kangen, tetapi gadis itu selalu menolak dengan halus, dengan berbagai macam alasan pula. Mungkinkah Hera membatalkan pertemuan malam ini? Dengan gusar aku menggulir layar ponsel. Sekali lagi aku memaki dalam hati, karena jawabannya masih centang satu. Apa iya gadis itu mempermainkan aku? Apa iya Hera menipuku? Atau ... apa mungkin dia sedang terjebak macet? Atau jangan-jangan dia sudah punya pacar? Dadaku seperti erupsi membayangkan gadis dunia maya-ku bergandengan tangan dengan pria lain. Dengan segera kutepis anganku yang liar. Tidak mungkin! Hera-ku tidak mungkin sejahat itu. Hera adalah gadis polos dan tidak gampangan, karena itulah aku penasaran, semakin mengejarnya. Berkali-kali Hera mengelak, dan terus menerus membuat setumpuk alasan

GITA

Gambar
GITA Penulis : Lidwina Ro  Sebulan sekali aku pulang. Tentu saja aku pulang ketika saat gajian saja. Aku bekerja dan kos di Surabaya. Kurang lebih tiga jam naik bus, aku sudah sampai di depan pintu rumahku.  Rumah tampak sepi. Paling-paling Ibu ke rumah kakaknya. Sejak ayah meninggal, ibu memang lebih sering ke rumah sebelah, rumah Bude Sari. Biar saja kedatanganku menjadi surprise nanti. Kuletakkan empat tumpuk kotak kue pia kesukaan Ibu di meja, lalu pergi mandi.  Aku berhenti menyisir rambut, saat mendengar suara tangisan dekat jendela. Sepertinya aku kenal suara tangisan itu. Bergegas aku membuka jendela kamar. Seperti dugaanku, aku melihat Gita, anak tetangga sebelah kiri rumah ibuku. Dia menangis di teras samping rumahnya yang tepat berhadapan dengan jendela kamarku. Tanpa pikir panjang, aku meraih sekotak kue pia. Lewat pintu dapur, aku keluar menemui anak tetanggaku yang menggemaskan itu. “Mana ibumu, Gita? Mengapa.kamu di luar sendirian?” tanyaku saat melirik rumahnya yang sep

Move On

Gambar
MOVE ON Penulis : Lidwina Ro  Hujan belum juga reda. Aku terpaksa harus duduk kembali di sudut kafe, padahal kakiku sudah tidak sabar untuk minggat dari sini. Khawatir mataku yang sudah pedas ini menyerah membuka bendungan air mata. Duh, mengapa aku jadi cengeng? Diam-diam aku menyesal, mengapa memilih singgah di kafe yang penuh kenangan ini.  Aku berusaha fokus pada secangkir Latte-ku yang masih sisa separo. Berkali-kali aku menggulir layar ponsel, untuk memeriksa pesan masuk, tetapi masih sama. Centang satu.  Sementara dalam bilik hati yang paling dalam, keluar satu persatu siluet wajah yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatanku. Bagaimana bisa, penghianat cinta itu masih ada di dalam hatiku? Lebih aneh lagi, mengapa aku belum berhasil menendangnya keluar dari dalam hatiku? Kalau ini yang namanya cinta, pasti omong kosong! Cinta itu seharusnya bisa membuat perasaan nyaman dan bahagia.  Meskipun aku sudah mencoba merelakannya pergi, tetapi tetap saja ada bagian dalam hatiku yan

SESAL

Gambar
 SESAL Penulis : Lidwina Ro Aku koma. Kecelakaan tabrak lari telah membuatku terkapar tak berdaya. Pikiran dan mata hatiku masih sanggup mencerna apa yang telah terjadi pada diriku. Aku bahkan sanggup melihat reaksi dokter yang menggeleng samar setiap kali kunjungan/ visite ke ranjang, di mana mataku terpejam rapat sudah seminggu ini. Hanya satu yang tak sanggup kumengerti, yaitu kehadiran Tante Menik setiap hari. Istri ke dua Papa itu tidak pernah jauh dari sisi ranjangku. Wanita yang pernah aku hujat habis-habisan karena penyebab perpisahan kedua orang tuaku itu, malah yang merawatku dengan telaten setiap hari. Papa mungkin harus tetap bekerja di kantor setiap hari. Tetapi mamaku? Di mana mama kandungku yang juga sudah menikah lagi itu? Apakah mamaku terlalu sibuk dengan keluarga baru dan bayinya, sehingga sudah melupakan aku, anak kandungnya? Aku ingin mamaku di sini menemaniku. Tetapi yang kujumpai setiap hari tetap saja wajah Tante Menik. Dia yang menyeka tubuhku, mengganti bajuk

SEGO PECEL MADIUN

Gambar
 SEGO PECEL MADIUN Penulis : Lidwina Ro Sebentar lagi liburan Natal dan tahun baru. Seperti biasa aku selalu pulang kampung ke Madiun. Kota Madiun dijuluki dengan kota brem, Sudah tahu, kan, makanan khas Madiun? Ya, selain brem, kota Madiun juga terkenal dengan sambel pecel yang bahan utamanya adalah kacang tanah. Berbagai merk sambel pecel home-made di Madiun tersebar di seluruh penjuru kota. Sego pecel atau nasi pecel adalah salah satu makanan wajib jika singgah ke kota Madiun. Banyak titik penjual nasi pecel yang terkenal enak. Di antaranya Nasi Pecel Pojok, Nasi Pecel Podang, Nasi Pecel Mbah Gembrot, atau Nasi Pecel Rahayu. Dan masih banyak lagi, lho, ya! Ada yang berjualan di pagi hari. Ada yang berjualan hanya malam saja. Ada juga yang berjualan sepanjang hari, dari pagi sampai malam. Mungkin saja tidak semuanya sependapat denganku, tetapi liburan bagiku identik dengan berkumpul dengan keluarga, jalan-jalan dan kuliner. Ketiga-tiganya sangat menyenangkan bagiku. Nah, Nasi Pecel R

RAWON

Gambar
 RAWON Penulis : Lidwina Ro Ketika menghadiri reuni Sekolah Asisten Apoteker Malang bulan Agustus kemarin, aku dan teman-teman menyempatkan sarapan rawon di dekat lapangan Rampal di Malang. Tepatnya di jalan Panglima Sudirman Malang. Tempatnya sebenarnya sederhana. Seperti warung-warung kebanyakan. Tapi ketika aku dan teman-teman tiba pukul tujuh pagi, yang makan dan antre sudah banyak. Maklum, Rawon Rampal memang sudah legendaris. Terkenal lezat. Porsi nasinya juga banyak. Aku juga menyukai empal manisnya. Rawon adalah makanan favoritku. Masakan berkuah hitam dengan bahan dasar irisan daging sapi yang empuk. Hitamnya kuah berasal dari satu bahan bumbu yang bernama keluwek. Cita rasanya begitu khas. Sayang sekali, sahabatku satu bangku, malah tidak menyukai rawon. Duh, sungguh sayang sekali ya. Mungkin baginya penampakan rawon begitu horor, karena jorok, hitam seperti air got. Untunglah di Rawon Rampal, menyediakan nasi pecel komplit, sehingga selamatlah dia. Masih bisa mengisi perut.

DENDAM

Gambar
 DENDAM  Penulis : Lidwina Ro Aku terpaku di depan sebuah kontrakan kumuh. Entah mengapa kedua kakiku berat melanjutkan langkah. Bayangan silih berganti menyerbu pikiranku. Suara makian, teriakan kasar, kembali berdengung. Kututup telinga, mencoba mengusir semua suara. Ibu merengkuh bahuku. Sama seperti aku, luka menganga ada di matanya. Ketika aku hampir berbalik, Ibu menahan lenganku. “Dia sedang sakit keras, Ras.” Ibu mengingatkanku. Kutarik napas panjang, melonggarkan semua sesak yang mengimpit dada. Jujur, aku tidak ingin peduli dengan kondisinya. Bukankah dulu dia juga tidak pernah peduli kondisiku dan Ibu? Entah aku sekolah atau tidak, sakit atau takut, sudah makan atau belum. Yang tertinggal di kepalaku hanya makian kasar, seruan kotor, bantingan piring, kartu remi, bau alkohol, dan wanita penggoda yang sering dibawanya ke kontrakan. Lembut Ibu mengusap pipiku yang basah “Kita masuk sebentar, Ras.” Aku terkadang heran dengan ibuku. Terbuat dari emas kah hati ibuku ini? Mengapa

REALITY

Gambar
 REALITY Penulis : Lidwina Ro  Sepiring sosis solo sudah siap aku tata secantik mungkin dalam piring. Beberapa rawit hijau kuselipkan sebagai penambah selera. Kata mereka aku jago memasak beragam kudapan. Itulah sebabnya Mbak Agnes sangat menyayangiku. Terdengar suara gerbang dibuka. Aku mengintip dari jendela dapur. Benar saja, Mas Danang yang datang! Lelaki bertubuh atletis itu memang luar biasa ganteng. Bagiku dia seperti jelmaan manusia separuh dewa. Hidungnya tinggi, rahang kuat. Senyumnya magis, bisa membuat dunia berhenti berputar. Bagiku, mata Mas Danang, sangat membius! Weleh! Aku menahan senyum.  Buru-buru kutuang dua gelas jeruk peras dingin yang sudah kusiapkan sebelumnya di kulkas. Sambil bersenandung, aku menambahkan dua sendok kecil gula. Yes! Semua sudah siap! Kulirik bajuku. Sudah rapi! Sejenak mengendus aromaku. Ah, harum, kok! Aku pun tersenyum puas. Jangan sampailah aku terlihat memalukan di depan Mas Danang nanti. Gugup kulirik pintu yang menghubungkan ruang makan

JUST LAUGH

Gambar
 JUST LAUGH Penulis : Lidwina Ro  Kepungan kegiatan rutinitasku setiap hari sering kali membuatku jenuh. Setiap hari bangun pagi, berbelanja, menyiapkan bekal sekolah anak, memasak, bersih-bersih, lalu berangkat kerja, adalah sesi pertama pagiku.  Rutinitas di tempat kerja, juga tidak terlalu berbeda. Semua kegiatan kantor begitu monoton seperti biasa. Jika pekerjaan pajakku sudah rampung, aku selalu menggulir ponselku mencari tontonan kesukaanku. Tontonan yang dapat menyegarkan jiwa ragaku, yaitu seputar penggalan film komedi anak-anak, juga film pendek humor. Meskipun aku sudah bukan kanak-kanak lagi, tetapi aku masih menyukai dan hobi menonton Tom and Jerry, Masha and The Bear, Larva, Upin dan Ipin, Kungfu Panda, bahkan Adit Sopo Jarwo! Wah, ibu-ib  yang luar binasa, bukan? Jika aku sedang banyak pikiran dan stres, menonton film komedi adalah salah satu solusiku. Menurutku, film yang dapat membuatku tertawa kembali, baik untuk kesehatanku, jantungku, paru-paruku, juga sebuah terapi

THREE IN ONE

Gambar
 THREE IN ONE Penulis : Lidwina Ro Mataku seketika gelisah menatap jalanan, saat Yoga menghampiriku. Tubuhku yang dari tadi panas dingin sejak mengikuti rangkaian acara reuni SMA, kini tambah ambyar, berasa tak menentu. Dadaku seperti meledak ketika mata Yoga menatapku lekat. Tujuh tahun sudah berlalu, tetapi mengapa hatiku masih terasa sakit bukan kepalang. Harusnya aku tak menghadiri reuni ini. Melihat Yoga, sama saja seperti membuka luka lama. Pedihnya bukan kepalang.  “Sudah mau pulang, Mika?” tanyanya dengan kedua tangan terbenam di saku celananya. Aku hanya mampu mengangguk. Harum maskulinnya seketika menyeret ingatan ke masa lampau. Sungguh, sesak sekali dadaku mendengar suara baritonnya. Aduh, aduh. “Lama kau tak pernah menghadiri reuni. Apa kau menghindariku?” Mata Yoga menyipit, seperti paranormal yang sudah tahu akar persoalan. “Aku sibuk,” bantahku cepat. Padahal iya, iya! Aku memang menghindarinya. Entah mengapa sulit sekali mengusir bayangan Yoga, padahal lelaki itu sudah

HAI, PENGANTIN

Gambar
 HAI, PENGANTIN  Penulis : Lidwina Ro  Sudah tiga hari ini aku tak pernah absen, duduk paling depan menonton TV. Berkali-kali aku mengganti Chanel TV, demi mengikuti dengan utuh rangkaian acara pernikahan Kaesang dan Erina. Acara awal, yaitu siraman sampai resepsi malam pernikahan di hari Minggu dari anak bungsu presiden Indonesia, aku menontonnya dengan antusias. Walaupun tidak mengenal mereka berdua (hanya sekedar tahu di TV) akan tetapi aku tetap ikut berbahagia untuk mereka. Semoga bahagia dan langgeng sampai kakek nenek. Pernikahan selalu menjadi topik besar, menarik, bahkan istimewa untuk dibicarakan. Bayangkan saja, bersatunya dua insan dengan karakter, latar belakang, sifat berbeda, akan berjanji seiya sekata, berkomitmen untuk menjalani hidup bersama-sama. Belajar mandiri, harus meninggalkan segala bentuk campur tangan orang tua, lalu membentuk keluarga kecil baru bersama pasangan. Apa harapan sebuah pernikahan? Berakhir hidup bahagia berdua untuk selama-lamanya? Seperti donge

MALAM PERTAMA

Gambar
 MALAM PERTAMA Penulis : Lidwina Ro “Mas, kenapa lampunya?” tanyaku gugup ketika lampu tiba-tiba padam, saat aku masuk ke kamar. Jujur saja aku belum siap kalau lampu dipadamkan sekarang. Sementara itu lamat-lamat aku mencium aroma wangi bunga. Makin lama harumnya makin menguat, tetapi sayang otakku tak mampu mengira-ngira harum bunga apa itu.  “Mas?” desakku saat tak mendengar sahutan. “Aku tidak mematikan lampunya, Lasti.” “Kalau begitu, siapa?”  “Mungkin listrik mati.” Jawaban yang aman. Mengapa kebetulan sekali listriknya mati?  “Nyalakan lampu ponselmu, Mas. Aku tak bisa melihat apa-apa.” Kami berdua gugup, duduk di atas tikar tanpa kata. Kamar yang tidak begitu luas dan gelap ini semakin membuat jantung kami berdegup keras. Begitu hening di luar sana. Tak ada suara apa pun.  Sementara wangi bunga kian menjadi-jadi. Seolah-olah mengitari kepala kami. Celakanya lagi aku merasa ada yang meniup belakang leherku. Dingin sekali. Aku bertaruh, malam nanti pasti akan bertambah dahsyat. A

INGKAR YANG INDAH

Gambar
INGKAR YANG INDAH Penulis : Lidwina Ro Mataku terpaku melihat tawa riang Monika saat Bagas berlari menghindari gelembung balon yang menyerbu ke arahnya. Semakin Bagaskara mencoba berlari menjauh, semakin gencar anak berumur lima tahun itu mengejarnya dan meniupkan cairan sabunnya. Seperti biasa Bagas menyerah dan minta ampun, lalu dengan sekali angkat, Monika sudah berada dalam rengkuhannya. Mereka berdua pun tertawa bersama-sama, dan mengitari alun-alun yang ramai penjual, untuk mencari makanan.  Kualihkan pandangan ke arah langit yang mulai gelap. Mencoba menolak sekelebat kenangan lama yang tiba-tiba menyergap. Lentera dalam dadanya diam-diam menghangat. Kalau saja enam tahun lalu, Bagas menolak gadis pilihan ibunya, pasti ceritanya berujung lain. Tetapi pria selembut Bagas, mana tega membantah ibunya yang sedang sakit keras, sehingga Bagas menuruti apa pun keinginan ibunya. Dan semua terjadi begitu cepat. Sudah terlambat untuk memperbaiki semuanya. “Ma, es krim!” Tiba-tiba Monika m

MIMPI YANG SAMA

Gambar
 MIMPI YANG SAMA Penulis : Lidwina Ro Malam semakin pekat. Sinar bulan sabit yang sendu di atas sana mengingatkanku pada sorot mata Ibu. Dan rintik gerimis mengingatkanku pada linangan air matanya yang tak pernah kering. Sudah dua jam berlalu. Tetapi mata ini seolah tak rela terpejam. Kutarik sarung usang sampai ke dagu, dan berharap agar nyamuk salah alamat. Mimpiku tetap sama. Sebuah rumah sederhana. Ada makanan lezat yang dimasak ibu. Ada kebun sayur di belakang rumah. Beberapa ayam dan kolam lele. Aku, Lastri dan Laila bisa berangkat sekolah bersama-sama teman sebaya. Bercanda tertawa riang sepanjang jalan. Suara rengek Laila membuatku terjaga. Kulihat Ibu sedang membereskan tas besarnya, sambil menggendong Laila yang masih mengantuk. Suara berisik lalu lalang kendaraan di atas kepala, segera memulihkan kesadaranku. Kulipat selimut usang, dan kumasukkan tas ransel. “Aku lapar, Bu,” celutuk Lastri. Tetapi Ibu tidak menjawab, dia malah menatapku. “Kita berangkat lagi, Le.” “Ke mana

MENCINTAI ATAU DICINTAI

Gambar
MENCINTAI ATAU DICINTAI Penulis : Lidwina Ro   “Jika kau disuruh memilih, akan pilih mana, Rin? mencintai apa dicintai doimu?” tanyaku pada Rini, teman baikku. Rini dengan cepat menyahut. “Pilih mencintai, dong. Paling tidak harus sama-sama mencintailah. Lah, orang dua-duanya sudah saling cinta saja bisa saling tikung dan bubar, apalagi kalau yang cinta sepihak. Apa tidak tambah ambyar?” Aku hanya mangut-mangut. Mencoba masuk ke dalam imajinasi Rini. “Kalau aku pilih dicintai,” celutuk Heni tiba-tiba. Heni teman baikku juga. Seketika aku Rini menoleh.  “Aku rasa wanita lebih  nyaman jika dicintai, karena dia akan punya tempat lebih istimewa di hati. Doi pasti akan lebih sayang, lebih mengalah, dan lebih membahagiakan kita. Bener nggak, sih? Bener, kan?” Aku kembali mangut-mangut, boleh juga pendapat Heni. Sementara Rini merengut tak setuju. Kedua temanku itu pun lantas saling adu argumen. Masing-masing mempertahankan pendapat. Diam-diam aku keluar dari kelas. Puyeng mendengar mereka be

As Warm As The Sun

Gambar
 As Warm As The Sun Penulis : Lidwina Ro. Malam sangat dingin. Bilik rumah temanmu rupanya tidak mampu menahan terobosan anginnya. Samar-samar kudengar suara candamu dengan teman-temanmu di bilik sebelah, setelah akhirnya aku tertidur kecapekan. Meringkuk kedinginan dalam sarung yang kaupinjami. Pertama kali aku baru tahu, bahwa angin malam pegunungan bisa seganas itu. Jeruk keprok yang bergelantungan rendah di dahannya, adalah pemandangan terindah ketika aku bangun pagi. Rasanya sayang untuk memetik dan memakannya. Aku juga suka pada suasana pegunungan sunyi yang khas. Anginnya tidak sedingin kemarin malam, tetapi aku memakai jaket. Semangkuk mi kuah dengan telur ceplok di atasnya, adalah makanan ternikmat pagi itu. Rasanya tidak rugi, aku mengambil cuti dan ikut bertualang denganmu, anggota HIMAPALA UNS. Kami berenam -empat di antaranya teman kampusnya- naik sedikit lagi, tujuan kami menuju hutan pinus. Lagi-lagi aku merasa takjub. Aku terkesan dengan guguran daunnya yang berserakan

SEKEPING DUSTA

Gambar
 SEKEPING DUSTA Penulis : Lidwina Ro “Mengapa Na?”  Bima menatapku dengan mata penuh luka, juga amarah. Aku tersenyum. Akhirnya Bima tahu kalau aku jalan dengan Reo. Jangan dikira aku tidak tahu rasanya terluka. Akulah pertama kali yang tahu rasanya. Kukeraskan hatiku, semua ini memang harus terjadi.  “Maaf, Bim. Aku tidak mencintaimu,” sahutku lirih. “Lalu sejak kapan kau mencintai Reo?” Bima menatap tajam, sampai lemas lututku menahan pengapnya dada yang sudah dari tadi kutahan-tahan. “Sudah lama.” Rahang Bima mengeras, tangannya mengepal. Aku sendiri sudah tidak tahan lagi berdiri di depan Bima. Kuputuskan untuk menyingkir, sesudah meminta maaf berkali-kali. Aku tidak mau air mataku sampai terlihat Bima.   *** “Na? Kau baik-baik saja?” Reo kembali mengulurkan tisu untuk menyeka pipiku. “Sebaiknya kau jujur pada Bima dan keluargamu. Rencanamu ini ....” “Rencanaku ini sebentar lagi berhasil. Kau jangan mengacaukannya, Re! Please.” potongku cepat.  “Lalu kamu? Kamu tidak memikirkan dir

MENGINTIP KARMA

Gambar
 MENGINTIP KARMA  Penulis : Lidwina Ro Siang itu Om Totok pulang dari sekolah, dengan tas di pungung. Wajahnya yang putih bersih tampak ceria. Senyuman ramah menghiasi bibir. Sesekali matanya yang juling melirik ke kanan dan ke kiri. Aku dan sepupuku memang sedang berlibur di rumah Nenek. Mengamati tingkah laku Om Totok adalah kegiatan yang menyenangkan, dan lucu.  Mbak Hani yang duduk di teras, memanggilnya. “Sini dulu, Om!” “Enggak mau, enggak mau.” “Eh, sini dulu, nanti aku kasih kue,” bujuk Mbak Hani cengengesan. Aku pun ikut cengengesan. Sepupuku itu pasti kumat lagi usilnya. Mendengar kata kue, Om Totok senang. Matanya langsung bersinar senang. Aku segera mendekati mereka.  “Tadi diajari apa di sekolah, Om?”  “Menulis.” “Coba lihat, mana bukunya?” sambung Mbak Hani tak sabar. Om Totok mengeluarkan buku tulisnya, dan dengan bangga menunjukkan pada kami. Melihat halaman pertama, aku dan Mbak Hani tersenyum-senyum. Lanjut membuka halaman berikutnya, aku dan Mbak Hani tak bisa  membe

SEIRIS HARI

Gambar
 SEIRIS HARI Penulis : Lidwina Ro  Aku tidak pernah mengerti. Mengapa lelaki itu selalu kembali dan kembali lagi. Berbicara dengan nada tinggi, dan mengganggu tidurku. Dia juga selalu mengganggu ibuku, sampai menangis. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa lelaki itu memarahi ibuku? Apa salah ibuku? Ah, aku benar-benar tidak mengerti. Sepertinya lelaki itu bukan orang baik. Menemui ibuku kapan saja, dan membuatnya menangis. Tetapi kali ini ibuku bersuara tak kalah lantang dan melawan, bahkan berteriak histeris mengusir lelaki itu. Kemudian sepi. Kelihatannya dia sudah benar-benar sudah pergi. Kemudian mengelusku lembut, mencoba membujukku agar tidak takut lagi. Merasakan ibuku tenang kembali, aku pun ikut merasa tenang. Beberapa hari tidak muncul, kali ini lelaki itu datang bersama dua orang asing. Aku tidak mengenal suara asing itu. Tetapi ibu tidak lagi menangis atau berteriak histeris ketika dua orang asing itu berturut kata dengan lembut. Siapa kedua orang itu, ya? Ah, aku jadi pena

DUNIA MAYA

Gambar
 DUNIA MAYA Penulis : Lidwina Ro “Mbakmu belum pulang, Luna.” Kaget aku menatap ibuku yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Selapis pilu menghiasi matanya yang sudah dipenuhi keriput. Akhir-akhir ini Mbak Maya memang berubah. Lebih banyak berdiam diri di kamar. Sekalinya keluar rumah, pulangnya tak jelas. Bilang ke warung sebelah sebentar beli pembalut, tahu-tahu pulangnya sore. Entah ke mana dia selama itu pergi. Pernah juga izin Ibu untuk beli nasi padang, tapi pulangnya malah membawa sekeresek kerang. Kerang! Ah, itu dia! Aku tahu di mana harus mencari Mbak Maya. Mungkin dia kembali ke pantai itu lagi. Pantai di mana dia dulu sering pergi menghabiskan waktu bersama pacarnya. Bergegas aku meraih helmku. Lapar yang aku tahan selama di kampus mendadak lenyap. Aku harus segera membawa Mbak Maya pulang, sebelum Ibu bertambah khawatir. “Tunggu sebentar, ya, Bu. Biar aku jemput Mbak Maya, dia mungkin pergi ke pantai.” pamitku pada Ibu yang hanya bisa mengangguk pasrah.   *** Bena

TIDAK SEMUA

Gambar
 TIDAK SEMUA  Penulis : Lidwina Ro  Sebuah buku terjatuh di lantai saat aku memindahkan setumpuk buku-bukuku dari kardus, ke rak buku yang baru. Kutu buku seperti aku ini memang tidak pernah membuang buku, setua apa pun, bahkan edisi lama. Aku selalu mengepak rapi dan menyimpannya dalam kardus. Sejenak aku tertegun. Meraih buku itu, lalu menyeret sebuah kursi. Aku ingat siapa pemberinya. Sambil mengusap sampul bukunya, kembali aku diingatkan pada beberapa tanya yang sampai kini tak pernah terjawab oleh waktu. Waktu itu .... Ibu kos mengetuk pintu kamarku, mengatakan ada seseorang yang mencariku. Wow, ini masih belum hari Sabtu. Mengapa doi sudah kangen? Sungguh memalukan,  hatiku melonjak kegirangan. Buru-buru aku mengganti daster dan menuju ke teras, di mana tamu lelaki hanya diperbolehkan duduk di sana oleh pemilik kos. Di tempat yang terang benderang. Mungkin biar setan tidak bisa ikutan nimbrung.  Namun langkahku membeku saat tahu siapa yang datang. Dia, adalah Mas Han. Bukan doi y

Selamat Datang Desember

Gambar
 Selamat Datang Desember Penulis : Lidwina Ro Bulan dua belas adalah bulan yang sangat kunanti dan kurindukan. Mendengar bulan Desember, aku seperti memperoleh semangat ekstra dan lebih antusias menyongsong hari. Ya, bagiku Desember adalah bulan spesial. Desember identik dengan liburan anak sekolah. Liburan akan bertambah panjang, karena ada tambahan libur akhir tahun dan tahun baru. Libur sekolah anak artinya libur juga buatku. Nah, kok bisa begitu? Bisa, dong. Seorang ibu rumah tangga seperti aku, sudah biasa tidur paling larut, dan bangun paling awal di antara anggota keluarga. Ketika suami dan anak-anak masih tidur di pagi hari, aku sudah harus mengerjakan tugas dapur sendiri. Bangun dengan bantuan alarm, sering membuat kepalaku pusing, karena kaget. Tetapi tetap saja aku ke pasar, memasak dan menyiapkan sarapan, sekaligus untuk bekal makan siang anak. Pokoknya harus makanan sehat. Menanak nasi, memasak sayur dan lauk harus bisa dieksekusi dalam waktu singkat dan cepat, juga tepat

RAHASIA HATI (4)

Gambar
RAHASIA HATI (4) Penulis : Lidwina Ro  Hatiku ini ... ternyata susah sekali melupakan Wulan. Tak bisa berpindah ke lain hati. Bagaimana mungkin aku masih mencintai wanita yang sudah menjadi milik orang lain itu? Kelihatan konyol, tapi ini kenyataan. “Kali ini aku sendiri yang akan pulang. Tenang saja.” “Apa ada yang penting, Bos?” tanya Raisa menyelidik. Aku mengangguk, dan memejamkan mata sambil menghela napas panjang. Masih teringat kemarin Mbah Uti berbisik lirih, ketika aku dan Raisa pamit mau kembali ke kota. “Sehari setelah Wulan menikah, dan kau sudah pergi mencari kerja di kota, Wulan mencarimu.” “Mencariku?” Aku menatap Mbah Uti tidak percaya. “Wulan menceritakan semuanya pada Mbah.” “Wulan cerita apa, Mbah?” desakku makin heran. “Kalau dia sudah berbadan dua.” Tubuhku sontak menegang, kupandang Mbah Uti dengan jantung yang hampir meledak karena kaget. Tunggu, tunggu. Apa aku tidak salah dengar? Tetapi Mbah Uti tetap menatapku serius, membuat lututku jadi gemetar.  “Ja-jadi an