DENDAM


 DENDAM 

Penulis : Lidwina Ro


Aku terpaku di depan sebuah kontrakan kumuh. Entah mengapa kedua kakiku berat melanjutkan langkah. Bayangan silih berganti menyerbu pikiranku. Suara makian, teriakan kasar, kembali berdengung. Kututup telinga, mencoba mengusir semua suara.

Ibu merengkuh bahuku. Sama seperti aku, luka menganga ada di matanya. Ketika aku hampir berbalik, Ibu menahan lenganku.

“Dia sedang sakit keras, Ras.” Ibu mengingatkanku.

Kutarik napas panjang, melonggarkan semua sesak yang mengimpit dada. Jujur, aku tidak ingin peduli dengan kondisinya. Bukankah dulu dia juga tidak pernah peduli kondisiku dan Ibu? Entah aku sekolah atau tidak, sakit atau takut, sudah makan atau belum.

Yang tertinggal di kepalaku hanya makian kasar, seruan kotor, bantingan piring, kartu remi, bau alkohol, dan wanita penggoda yang sering dibawanya ke kontrakan.

Lembut Ibu mengusap pipiku yang basah “Kita masuk sebentar, Ras.”

Aku terkadang heran dengan ibuku. Terbuat dari emas kah hati ibuku ini? Mengapa Ibu selalu sanggup menghadapi monster itu, meskipun tahu jelas-jelas diusir, tak dihargai, dikhianati? Tapi Ibu, ish! Aku tak habis pikir!

Dendamku masih meluap, seperti banjir bandang yang siap memuntahkan sampah. Kalau saja tetangga lamaku tidak kebetulan bertemu Ibu dan bercerita, tidak mungkin kami kembali pada kontrakan lama setelah aku hidup mapan.

Ibu mengetuk pintu. Tidak lama kemudian pintu tripleks terbuka, dan wanita penggoda segera menepi, menyilakan kami masuk.

Dalam ranjang reyot, lelaki tua tak berdaging tergolek lemah. Matanya bercahaya begitu melihatku. “Laras anakku.”

Aku membeku. Suara Bapak! Suara lunak yang pernah aku rindukan setengah mati saat aku masih kecil dulu. Mengapa baru sekarang memanggilku lembut?

“Jangan maafkan Bapak, Ras. Bapak tahu, tidak layak untuk dimaafkan. Bapak hanya ingin memelukmu sebentar saja, se-sebelum Bapak pergi.”

Tangan yang tinggal tulang itu menggapaiku dengan pipi basah. Wajah Bapak melukiskan sengsara, pucat seperti mayat hidup. Entah hukuman apa yang sudah ditimpakan Tuhan. Mungkin kah Bapak sudah bertobat dan menyesali semua kesahannya? Hanya Tuhan yang tahu.

“Bapak!” Gemetar aku peluk tubuh kurus bapak dengan hati yang sangat pedih. Dendamku pun luruh. Lesap, entah ke mana.

Cikarang, 181222

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU