SESAL


 SESAL

Penulis : Lidwina Ro

Aku koma. Kecelakaan tabrak lari telah membuatku terkapar tak berdaya. Pikiran dan mata hatiku masih sanggup mencerna apa yang telah terjadi pada diriku. Aku bahkan sanggup melihat reaksi dokter yang menggeleng samar setiap kali kunjungan/ visite ke ranjang, di mana mataku terpejam rapat sudah seminggu ini.

Hanya satu yang tak sanggup kumengerti, yaitu kehadiran Tante Menik setiap hari.

Istri ke dua Papa itu tidak pernah jauh dari sisi ranjangku. Wanita yang pernah aku hujat habis-habisan karena penyebab perpisahan kedua orang tuaku itu, malah yang merawatku dengan telaten setiap hari. Papa mungkin harus tetap bekerja di kantor setiap hari. Tetapi mamaku? Di mana mama kandungku yang juga sudah menikah lagi itu? Apakah mamaku terlalu sibuk dengan keluarga baru dan bayinya, sehingga sudah melupakan aku, anak kandungnya?

Aku ingin mamaku di sini menemaniku. Tetapi yang kujumpai setiap hari tetap saja wajah Tante Menik. Dia yang menyeka tubuhku, mengganti bajuku, mengoleskan hand body di tangan kakiku, bahkan menggenggam erat jemariku dalam doa Rosarionya yang panjang.

Mengapa harus Tante Menik? Jika sudut mataku basah menitikkan air mata sesal, maka Tante Meniklah yang mengusap lembut dengan tisu. Tak bosan-bosan dia selalu membisikkan kalimat penyemangat, supaya aku lekas membuka mata.

“Bangunlah, Puspa. Jangan terlalu lama bermimpi. Tahu, nggak, rumah sepi tanpamu, Sayang. Janji nanti Tante masakin bistik kesukaanmu di rumah. Oh, ya, juga puding mangga. Tante lebih suka kamu nakal saja seperti biasa. Maafkan Tante, jika selama ini membuatmu kesal. Puspa, jujur, Tante sungguh menyayangimu, tolong bangunlah. Jangan membuat Tante takut. Kamu pasti bisa. Kamu anak yang kuat.”

Rasanya aku ingin melompat dan memeluk Tante Menik dengan erat. Akulah seharusnya yang minta maaf, karena selama ini aku sangat membencinya. Aku melawan setiap perkataannya di rumah. Aku menolak pelukannya, dan selalu menyalahkan kehadirannya. Seharusnya aku belajar, bahwa hubungan orang dewasa begitu rumitnya, dan otakku belum mampu menyerap dengan baik kebenarannya. Aku bahkan sekarang baru mengerti, siapa sesungguhnya yang mencintaiku dengan tulus.

Tuhan, tolong. Pulihkan kesadaranku. Jika Engkau berkenan, akan kutebus jika aku membuka mata nanti, semua kesalahanku pada Tante Menik. Satu persatu.

Cikarang, 211222

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU