LUPA KAMAR
LUPA KAMAR
Penulis : Lidwina Ro
“Bu, aku kebelet pipis,” bisikku pada Ibu yang sedang menyuapi Mbak Ajeng.
Ibu yang sedang menyuapi makan Mbak Ajeng menoleh. “Raden tahu jalannya kamar mandi? Atau Ibu antar?”
“Sendiri saja. Aku masih ingat jalannya, kok, Bu,” sahutku penuh percaya diri.
Tetapi ternyata, setelah habis pipis, aku lupa jalan menuju kamar Mbak Ajeng dirawat karena sakit tipes. Beberapa kali aku salah memasuki kamar. Celakanya lagi aku tidak hafal nomor kamar Mbak Ajeng di rawat.
Lorong rumah sakit begitu panjang. Di kanan kirinya berjajar banyak kamar yang hampir semua sama. Aroma karbol di sepanjang koridor rumah sakit sesekali tercium menyengat. Aku sungguh tidak suka.
Seorang anak lelaki yang sebaya denganku, sedang duduk di salah satu bangku sendirian. Wajahnya juga sebingung aku. Memandangi satu persatu orang yang bergantian keluar masuk ke dalam kamar dengan melongo.
“Hei, apa kau juga lupa kamarmu?” tanyaku kemudian, setelah duduk di dekatnya.
Anak itu terkejut ketika melihatku. Buru-buru dia mengangguk. “Eh, kau dapat melihatku?”
Ganti aku yang bingung. “Tentu saja aku melihatmu. Siapa namamu? Aku Raden.”
“A-aku Dimas.”
“Aku lupa jalan ke ruangan kakakku, Mbak Ajeng. Kau sendiri bagaimana?”
“Aku tidak lupa. Itu kamarku.” Dimas menunjuk kamar di balik punggungnya.
“Lalu kenapa kamu tidak masuk? Siapa yang sakit?”
Dimas menatapku lama, dan menggeleng kuat-kuat, lalu menunduk. Sepertinya dia menahan tangis.
“Ayah, ibuku, semua tidak mau melihatku,” sahut Dimas lirih.
“Mengapa begitu?”
Dimas lagi-lagi menggeleng, wajahnya cemas dan bingung.
Karena penasaran, aku mendekati jendela, dan berjinjit, mencoba mengintip dari balik jendela kamar. Ada banyak orang menangis di dalam sana. Mengapa mereka kelihatan sedih? Apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang ditangisi orang-orang itu?
“Loh, Adek mencari siapa?” seorang perawat menepuk bahuku. Aku terjingkat kaget. Mengejutkan aku saja!
“Anu, Suster ... tadi Dimas, tadi Dimas ....”
Aku celingukan mencari Dimas yang tadi duduk di bangku sebelahku.
“Oh, jadi kamu teman sekolahnya Dimas?”
“Di mana Dimas, Suster?” tanyaku heran.
“Temanmu baru saja meninggal, maaf, ya, Dek.”
Aku melongo. Menatap perawat itu tak percaya. Berkali-kali aku mengucek mata menatap bangku yang baru saja diduduki Dimas. Tetapi Dimas memang tidak ada di situ lagi. Ke mana Dimas? Jadi tadi itu ... siapa? Aku segera berlari menyusul perawat, untuk mencarikan kamar Mbak Ajeng.
Cikarang, 251222
Komentar
Posting Komentar