KARAM


 KARAM

Penulis : Lidwina Ro 


Aku bertemu dia. Lelaki jangkung berhidung tinggi dengan garis rahang tegas dan dagu yang meninggalkan bekas sisa cukurannya. Aromanya begitu maskulin. Aku berani bertaruh, setiap gadis pasti akan sejenak menahan napas bila dia melintas. 

Hari masih pagi. Seharusnya menjadi Senin yang menyebalkan, karena aku harus kembali melakukan pekerjaan rutinku. Tetapi untuk pertama kalinya hari ini aku sedikit bersemangat. Entah mengapa, ada sunyi yang mengepung telingaku, dan memaku tatapanku ke arahnya. Hati ini seperti tidak rela kehilangan momen yang aneh ini.

“Mau ke mana, Mbak?”

Ya, ampun! Apa wajahku kelihatan konyol sehingga dia terpaksa menyapaku? Suaranya sopan dan dalam. Tidak ada kilat iseng dalam nada dan sorot matanya. Membuat diam-diam aku merasa sedikit tersanjung, lebih tepatnya lagi ... aku lega.

“Kerja,” sahutku sambil membuang muka ke samping, pura-pura mencari angkot. Dalam hati aku ingin, dia bertanya sesuatu lagi padaku. Dih, noraknya aku!

“Kerjanya di mana?”

Aku segera menyebutkan nama dan lokasi tempat kerjaku. Woi, apa-apaan aku?! Mengapa aku kelihatan murahan begini? Tetapi dia melempar senyum tipis. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Otakku sungguh-sungguh buntu, tak mampu menerka lagi.

“Kapan-kapan aku ke tempat kerjamu. Sudah, ya, aku duluan.” 

Hah? Apa katanya? Mau ke tempat kerjaku? Aku mematung, tak dapat bereaksi, hanya bungkam. Hanya mampu melihat dia berlari kecil menuju bus kota yang nyaris bergerak keluar dari terminal. 

Beberapa menit kemudian aku tersadar dan tersenyum bodoh. Buset! Aku bahkan tidak tahu siapa nama lelaki itu. Mengapa aku begitu konyol, menatap sedih kepergiannya? Aku seperti kapal yang karam perlahan. Gundah segera menyambutku, dan menyeretku dalam penyesalan yang aneh. Perasaan macam apa ini? Mengapa kali ini hatiku dilanda hampa tak jelas? Parahnya lagi, mengapa aku merasa kehilangan dia?

Siapa dia? Siapa sebenarnya lelaki itu? Aku bahkan hanya bertemu sekali dengannya di jalan! Sudahlah, lupakan dia! Aku menghela napas, seperti hendak menghempaskan semua rasa aneh yang baru pertama kali mengusik di hati. Keterlaluan. Tetapi memang begini adanya., Mau bagaimana lagi? Ah, lebih baik aku mengejar angkot, daripada malah terlambat kerja. 


Cikarang, 26 Des 22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU