MIMPI YANG SAMA


 MIMPI YANG SAMA

Penulis : Lidwina Ro

Malam semakin pekat. Sinar bulan sabit yang sendu di atas sana mengingatkanku pada sorot mata Ibu. Dan rintik gerimis mengingatkanku pada linangan air matanya yang tak pernah kering.

Sudah dua jam berlalu. Tetapi mata ini seolah tak rela terpejam. Kutarik sarung usang sampai ke dagu, dan berharap agar nyamuk salah alamat.

Mimpiku tetap sama. Sebuah rumah sederhana. Ada makanan lezat yang dimasak ibu. Ada kebun sayur di belakang rumah. Beberapa ayam dan kolam lele. Aku, Lastri dan Laila bisa berangkat sekolah bersama-sama teman sebaya. Bercanda tertawa riang sepanjang jalan.

Suara rengek Laila membuatku terjaga. Kulihat Ibu sedang membereskan tas besarnya, sambil menggendong Laila yang masih mengantuk. Suara berisik lalu lalang kendaraan di atas kepala, segera memulihkan kesadaranku. Kulipat selimut usang, dan kumasukkan tas ransel.

“Aku lapar, Bu,” celutuk Lastri.

Tetapi Ibu tidak menjawab, dia malah menatapku. “Kita berangkat lagi, Le.”

“Ke mana lagi kita mencari Bapak, Bu?” sahutku pasrah.

“Ke mana saja.”

“Pulang saja, Bu,” rengek Lastri.

Ibu menggeleng tegas, tetapi wajahnya tampak rapuh dan letih. “Kata Pakde Tarno, dia sempat melihat bapakmu mengayak pasir di sekitar proyek pembangunan ruko itu.”

“Sudah tiga hari kita mencari Bapak, dan tidak ketemu, Bu.”

“Kita cari sekali lagi, ya, Le?”

“Ajak Ibu pulang, Mas Bagus,” bujuk Lastri sambil merengut ke arahku.

Aku mengelus punggung Lastri dengan iba. Wajah dan tangannya bentol-bentol merah. Pasti digigit nyamuk semalam. Membujuk Ibu kali ini bukan perkara mudah. Memang sulit menerima kenyataan, kalau ditinggalkan Bapak begitu saja tanpa kabar. Bapak mengadu nasib di kota menjadi buruh bangunan setahun yang lalu, tidak pernah pulang lagi. Wajar kalau ibu mencarinya sendiri ke kota dengan bekal info minim dari Pakde Tarno.

Setelah membereskan tikar dan sarung, kugandeng Lastri ke salah satu penjual gorengan yang berjajar. Untunglah masih ada sisa dua lembar uang lima ribuan lusuh di saku celanaku. Setelah mengulurkan sekeresek gorengan untuk pengganjal perut Lastri, kami pun meninggalkan kolong jembatan, mengikuti langkah Ibu, entah ke mana kali ini.

Cikarang, 111222

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU