MALAM PERTAMA
MALAM PERTAMA
Penulis : Lidwina Ro
“Mas, kenapa lampunya?” tanyaku gugup ketika lampu tiba-tiba padam, saat aku masuk ke kamar. Jujur saja aku belum siap kalau lampu dipadamkan sekarang.
Sementara itu lamat-lamat aku mencium aroma wangi bunga. Makin lama harumnya makin menguat, tetapi sayang otakku tak mampu mengira-ngira harum bunga apa itu.
“Mas?” desakku saat tak mendengar sahutan.
“Aku tidak mematikan lampunya, Lasti.”
“Kalau begitu, siapa?”
“Mungkin listrik mati.”
Jawaban yang aman. Mengapa kebetulan sekali listriknya mati?
“Nyalakan lampu ponselmu, Mas. Aku tak bisa melihat apa-apa.”
Kami berdua gugup, duduk di atas tikar tanpa kata. Kamar yang tidak begitu luas dan gelap ini semakin membuat jantung kami berdegup keras. Begitu hening di luar sana. Tak ada suara apa pun. Sementara wangi bunga kian menjadi-jadi. Seolah-olah mengitari kepala kami. Celakanya lagi aku merasa ada yang meniup belakang leherku. Dingin sekali. Aku bertaruh, malam nanti pasti akan bertambah dahsyat. Aku bahkan sudah mulai merasa belaian di lenganku, juga punggungku.
“Mas, a-aku takut.”
“Jangan berlebihan, Lasti. Lebih baik kita konsentrasi. Ingat, kita harus berhasil malam ini.”
Konyol! Tapi semua sudah terlambat. Aku memejamkan mata dan perlahan melepas kalungku. Mulai merabai satu persatu butir-butirnya, lalu mencoba berdoa khusuk, untuk mengusir semua ketakutan dan semua bayangan gelap yang mulai mencengkeram dadaku.
***
“Bagaimana kalian bisa bertahan dalam rumah kosong dan angker itu?” Arman dan teman-teman lelaki sekolahku yang lain menatap kami bergantian dengan muka jengkel, juga penasaran. Mereka sudah kalah taruhan, sehingga terpaksa menyerahkan sejumlah uang yang sudah disepakati sebelumnya.
“Siapa bilang perempuan takut setan? Taruhannya dua kali lipat, kalau kalian mau aku dan Lasti ke sana untuk malam ke dua nanti.”
Arman menyeringai getir, menggelengkan kepala, isyarat menyerah.
“Sudah, sudah lupakan saja, Masiroh. Iya, iya ... kalian berdua menang! Sudah membuat kami bangkrut pula! Ayo pergi dari sini,” sahut Arman.
Aku dan Masiroh tersenyum. Puas sudah berhasil mengantongi sejumlah uang taruhan yang lumayan. Aku dan teman-teman sekolah bergerak mulai meninggalkan rumah kosong yang terkenal dengan keangkerannya itu.
Diam-diam kucubit lengan Masiroh. “Emang kau berani kalau bermalam di rumah kosong itu lagi, Mas? Aku sih, ogah!”
Masih lekat dalam ingatanku, betapa hebat interaksi yang terjadi kemarin malam. Kalau tidak ingat aku dan Masiroh sangat membutuhkan uang taruhannya, tidak sudi aku menuruti Masiroh, yang dengan entengnya menyanggupi taruhan konyol itu.
“Tenang, Las. Yang penting kita sudah menang, dan berhasil melalui malam pertama kita,” sahut Masiroh sambil terkekeh.
Sahabatku satu bangku, Masiroh sangat tomboi ini memang sudah putus urat takutnya!
Komentar
Posting Komentar