RAHASIA HATI (4)



RAHASIA HATI (4)
Penulis : Lidwina Ro 

Hatiku ini ... ternyata susah sekali melupakan Wulan. Tak bisa berpindah ke lain hati. Bagaimana mungkin aku masih mencintai wanita yang sudah menjadi milik orang lain itu? Kelihatan konyol, tapi ini kenyataan.
“Kali ini aku sendiri yang akan pulang. Tenang saja.”
“Apa ada yang penting, Bos?” tanya Raisa menyelidik.
Aku mengangguk, dan memejamkan mata sambil menghela napas panjang. Masih teringat kemarin Mbah Uti berbisik lirih, ketika aku dan Raisa pamit mau kembali ke kota.
“Sehari setelah Wulan menikah, dan kau sudah pergi mencari kerja di kota, Wulan mencarimu.”
“Mencariku?” Aku menatap Mbah Uti tidak percaya.
“Wulan menceritakan semuanya pada Mbah.”
“Wulan cerita apa, Mbah?” desakku makin heran.
“Kalau dia sudah berbadan dua.”
Tubuhku sontak menegang, kupandang Mbah Uti dengan jantung yang hampir meledak karena kaget. Tunggu, tunggu. Apa aku tidak salah dengar? Tetapi Mbah Uti tetap menatapku serius, membuat lututku jadi gemetar. 
“Ja-jadi anak Wulan itu ....”
“Anak kandungmu, Le.”
Aku menahan napas, seakan puluhan pisau menghunjam ke leherku.  “A-apa? Kenapa tidak ada yang memberi tahuku sebelumnya, Mbah?!”
Mendengar suara kerasku, mata Mbah Uti mulai berembun, dengan penuh sayang, dia lalu mengusap bahuku sambil menghela napas berat.
“Apa yang akan kau lakukan kalau Mbah dulu mengatakan semuanya padamu? Wulan sudah terlanjur menikah, Le. Dengan pilihan orang tuanya. Terus kau mau apa? Menyeret Wulan?  Yang ada malah kamu dihujat oleh orang tuanya, dan digebuki orang sekampung.  Lagi pula Mbah tidak tahu bagaimana cara mengabarimu. Kau tidak pernah pulang setelah itu, Le. Hanya memberi uang setiap bulan lewat Cahyo, teman sekolahmu dulu itu.”
Tubuhku bergetar hebat. Mencoba merekam kembali raut wajah Wulan saat di danau kemarin. Wulan juga bungkam! Tidak mencoba mengatakan yang sebenarnya. Apakah karena Wulan mengira aku akan menikah, jadi dia berniat akan mengubur sendiri penderitaannya? 
Inikah seninya hidup? Ketika aku berusaha mewujudkan harapan banyak orang, justru harapanku sendiri yang makin menjauh dariku. Tuhan, takdir macam apa ini?
“Mbah, aku ingin bertemu dengan anakku,” pintaku menahan perih.
“Masih banyak waktu, Le. Tenanglah. Pikirkan semua pelan-pelan dengan bijak.”
Wajah Wulan kembali melintas. Ternyata hatinya sekuat itu, mencoba menanggung sendiri penderitaan dan rahasia hatinya. Ah, hati perempuan. Mengapa aku tidak pernah bisa mengerti.


(Selesai)

Cikarang , 011212

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU