REALITY
REALITY
Penulis : Lidwina Ro
Sepiring sosis solo sudah siap aku tata secantik mungkin dalam piring. Beberapa rawit hijau kuselipkan sebagai penambah selera. Kata mereka aku jago memasak beragam kudapan. Itulah sebabnya Mbak Agnes sangat menyayangiku.
Terdengar suara gerbang dibuka. Aku mengintip dari jendela dapur. Benar saja, Mas Danang yang datang! Lelaki bertubuh atletis itu memang luar biasa ganteng. Bagiku dia seperti jelmaan manusia separuh dewa. Hidungnya tinggi, rahang kuat. Senyumnya magis, bisa membuat dunia berhenti berputar. Bagiku, mata Mas Danang, sangat membius! Weleh! Aku menahan senyum.
Buru-buru kutuang dua gelas jeruk peras dingin yang sudah kusiapkan sebelumnya di kulkas. Sambil bersenandung, aku menambahkan dua sendok kecil gula. Yes! Semua sudah siap!
Kulirik bajuku. Sudah rapi! Sejenak mengendus aromaku. Ah, harum, kok! Aku pun tersenyum puas. Jangan sampailah aku terlihat memalukan di depan Mas Danang nanti. Gugup kulirik pintu yang menghubungkan ruang makan dan ruang tamu.
Setelah menunggu beberapa saat, sebuah kepala akhirnya menyembul. Tersenyum manis. Khas wajah orang yang sedang jatuh cinta berat.
“Stt, sudah siap hidangannya, Sri?”
“Siap, Mbak!”
“Ayo, bawa ke depan.”
Sigap kubawa nampan ke ruang tamu. Hatiku langsung meleleh melihat Mas Danang tersenyum saat kuletakkan dua gelas jeruk peras dingin dan sepiring sosis solo.
“Terima kasih, ya, Sri.”
Alamak! Aku kelimpungan melihat senyumnya, buru-buru undur diri. Duh, Gusti, mengapa ada orang seganteng Mas Danang?
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri, Sri? Ada tamu siapa?” tanya Simbok melirik curiga.
“Anu, itu, Mas Danang.”
“Lah, pacar Mbak Agnes yang datang, kenapa malah kamu yang senyum-senyum senang?” cecar Simbok bingung. Aku langsung cemberut.
“Ingat, loh, Sri. Kita ini hanya pembantu di sini. Harus kerja yang bener. Kamu nggak usah neko-neko,” ujar Simbok mulai dengan petuah saktinya.
Ah, Simbok memang selalu begitu! Curigaan melulu bawaannya! Tidak senang melihat anaknya senang sedikit saja. Aku tidak pernah lupa pada reality, Mbok.
“Tenang saja, Mbok. Aku sudah tahu harus bagaimana bersikap,” sahutku untuk menenangkan Simbok.
Aku, kan, hanya mengagumi kegantengan Mas Danang saja. Tidak lebih dari itu, kok. Aku pun tersenyum-senyum sendiri. Ingat lagi dengan senyum manis Mas Danang.
Cikarang, 171222
Komentar
Posting Komentar