GITA


GITA

Penulis : Lidwina Ro 

Sebulan sekali aku pulang. Tentu saja aku pulang ketika saat gajian saja. Aku bekerja dan kos di Surabaya. Kurang lebih tiga jam naik bus, aku sudah sampai di depan pintu rumahku. 

Rumah tampak sepi. Paling-paling Ibu ke rumah kakaknya. Sejak ayah meninggal, ibu memang lebih sering ke rumah sebelah, rumah Bude Sari. Biar saja kedatanganku menjadi surprise nanti. Kuletakkan empat tumpuk kotak kue pia kesukaan Ibu di meja, lalu pergi mandi. 

Aku berhenti menyisir rambut, saat mendengar suara tangisan dekat jendela. Sepertinya aku kenal suara tangisan itu. Bergegas aku membuka jendela kamar. Seperti dugaanku, aku melihat Gita, anak tetangga sebelah kiri rumah ibuku. Dia menangis di teras samping rumahnya yang tepat berhadapan dengan jendela kamarku.

Tanpa pikir panjang, aku meraih sekotak kue pia. Lewat pintu dapur, aku keluar menemui anak tetanggaku yang menggemaskan itu.

“Mana ibumu, Gita? Mengapa.kamu di luar sendirian?” tanyaku saat melirik rumahnya yang sepi. Hanya ada lampu kecil teras yang menyala.

Gita mengusap matanya yang basah ketika aku mendekat dan mengulurkan kue pia kesukaannya.

“Sudah magrib, kue nya dimakan di rumahku saja, sambil menunggu ibumu pulang, ya? Eh iya, ke mana ibumu, Git?” tanyaku sambil lalu.

Anak berumur sekitar empat tahunan itu hanya menggeleng. Kembali terisak-isak dan menatap jauh ke depan. Seolah menanti ibunya kembali.

“Ya sudah, jangan menangis. Nanti hilang cantiknya,” bujukku sambil mengusap pipinya yang basah dan ... dingin.

“Lus? Lus? Kau kah itu, Nduk?” teriak ibuku dari teras rumah.

Aku menoleh ke arah rumah. Ketika aku menyahut, Ibu lalu tergesa menghampiriku.

“Mengapa kau di sini, Lus? Ayo, pulang.” Ibu meraih tanganku dan memaksa pulang. 

“Eh, tunggu dulu, Bu. Gimana dengan Gita? Kita ajak pulang sekalian saja, ya?”

Ibu menghentikan langkah, menatap bingung ke arahku.

“Dia tadi itu menangis, Bu, lalu aku ....”

Aku menoleh ke belakang, dan bingung ketika tidak kudapati Gita di sana. Yang ada hanya sekotak kue pia yang tergeletak di lantai teras.

“Loh, Bu? Gi-Gita mana?” tanyaku gagap. Mataku berkeliling mencari sosok mungil itu di sekitar teras.

“Seminggu yang lalu Gita sudah meninggal, Nduk,” sahut Ibu lirih.

Kutatap mata Ibu dengan bingung. Tak percaya kutengok kembali rumah Gita. Tetapi anak mungil itu benar-benar tidak ada. Kedipan lampu terasnya yang samar seolah menjawab kebenarannya.


Cikarang, 231222




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU