SEIRIS HARI


 SEIRIS HARI

Penulis : Lidwina Ro 


Aku tidak pernah mengerti. Mengapa lelaki itu selalu kembali dan kembali lagi. Berbicara dengan nada tinggi, dan mengganggu tidurku. Dia juga selalu mengganggu ibuku, sampai menangis. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa lelaki itu memarahi ibuku? Apa salah ibuku? Ah, aku benar-benar tidak mengerti.


Sepertinya lelaki itu bukan orang baik. Menemui ibuku kapan saja, dan membuatnya menangis. Tetapi kali ini ibuku bersuara tak kalah lantang dan melawan, bahkan berteriak histeris mengusir lelaki itu. Kemudian sepi. Kelihatannya dia sudah benar-benar sudah pergi. Kemudian mengelusku lembut, mencoba membujukku agar tidak takut lagi. Merasakan ibuku tenang kembali, aku pun ikut merasa tenang.


Beberapa hari tidak muncul, kali ini lelaki itu datang bersama dua orang asing. Aku tidak mengenal suara asing itu. Tetapi ibu tidak lagi menangis atau berteriak histeris ketika dua orang asing itu berturut kata dengan lembut. Siapa kedua orang itu, ya? Ah, aku jadi penasaran. 

 ***

Suara-suara bising memekakkan telinga itu membangunkanku. Apa itu? Apakah itu suara lelaki  pengganggu ibuku? Tetapi, sepertinya bukan! Suara bising itu belum pernah aku dengar sebelumnya.


Ibu! Aku takut! Suara apa ini? Mengapa suara-suara bising itu membuatku gemetar dan panik luar biasa? Dan ... ini mengerikan sekali! Aku sangat kesakitan! Aku menjerit-jerit kencang ketakutan memanggil ibuku. Ibu, ada apa denganku? Lalu tiba-tiba semua menjadi gelap, dalam sekejap. Aku tak ingat apa-apa lagi kecuali rasa sakit yang luar biasa.

 ***


“Relakan dia, Lestari. Relakan. Jangan menangis. Ingat, masa depanmu masih panjang. Fokuslah untuk lulus ujian dulu. Sudah, percaya sama ibu, dan jangan buat malu keluarga.”


“Sudah, Les. Jangan menangis lagi, Patuh sama Bapak Ibu, ya.”


“Tapi aku menginginkan bayiku, Bu!” 


“Lestari!” Kedua orang tua itu panik saat Lestari tiba-tiba terkulai, pingsan.


Dalam balutan cahaya terang, aku menangis tersedu-sedu melihat Lestari, ibuku sayang yang tak sadarkan diri. Meskipun aku kini tak bisa lagi merasakan bisikan dan belai lembut tangan Ibu, tetapi aku janji akan tetap menyayangimu, dan akan mengingat wajahmu, Bu. Tetaplah kuat selagi aku tidak berada di sampingmu, Bu. Ayo, lekas bangun, Ibu. Izinkan seiris hari ini menjadi kenangan terakhir untukku.


Cikarang, 051212


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU