WANITA PENGHIBUR

WANITA PENGHIBUR

Penulis : Lidwina Ro


Namanya Pethi. Seorang wanita jenaka, yang entah dari mana asalnya. Sering berdiri di balik luar terali pagar besi kos kosanku, tepatnya di Jalan Pecindilan Terate. Dia suka memperhatikan kegiatan anak-anak kos. Kadang-kadang dia bertanya, mengajak bercerita, tetapi yang sering terjadi kadang-kadang anak-anak kos malah menjahilinya. Mengerjainya. Sebagai kompensasi, aku dan anak-anak kos sering memberinya camilan, gorengan, juga Indomi bikinan sendiri.

Meskipun tutur katanya tidak beraturan, sering kali sukar dimengerti, tetapi kehadiran Pethi menyegarkan bagi kami semua. Bagiku, tak ada Pethi, seperti ada yang kurang. Hari-hariku tidak seru jika belum menjahilinya.

Waktu itu Malam Minggu. Ibu kosku terkenal disiplin, jadi aku berusaha pulang tepat waktu, jika tidak ingin diinterogasi oleh wanita tua, asli Madura yang sering bicara dengan logat daerah aslinya itu. Beliau itu biasanya patroli di teras rumah induk, samping kosan.

Hari ini tumben sekali ibu kos tidak kelihatan duduk di teras. Yang ada malah Pethi. Seperti biasa wanita itu memegang teralis besi di depan pintu gerbang.

Akan tetapi aku tak jadi berlama-lama lega, karena mataku menangkap bayangan Andi yang baru saja keluar dari pintu gerbang. Waduh! Mengapa Andi tidak berkabar dulu kalau mau main ke kosan? Aku pun menghampiri Andi.

“Aku baru saja mau pulang. Sudah lama aku menunggumu. Kau dari mana saja?” tanya Andi dengan datar.

“Oh, anu ... aku keluar cari makan tadi.”

“Sendirian?”

Aku menahan napas sesaat sebelum mengangguk, tak lupa mencoba menenangkan jantungku yang berdebar keras tak menentu. “Ya, sendirian.”

“Mbak Pipit mbujuki (bohong) Mas. Tadi Mbak Pipit pergi sama pacarnya, kok.”

Aku langsung mendelik ke arah Pethi. Tak mengira dia dengan enteng menginterupsi. Bukannya takut, Pethi malah mengikik geli melihatku jengkel.

“Jadi kau sudah punya pacar?” tanya Andi dengan nada kecewa.

Pethi tertawa, kelihatan senang kejahatanku terbongkar. Aku yang salah tingkah, akhirnya hanya bisa mengangguk. Sejak berkenalan dengan Andi, aku memang tidak bercerita lebih jauh tentang diriku sendiri.

Kalau begini ending-nya, jadi ambyar semua rencanaku untuk mendua. Ih! Dasar! Rasanya ingin kujitak keras-keras kepala Pethi! Biar kapok! Ikut campur urusan orang saja!

Setelah Andi berlalu, kupandangi Pethi dengan pikiran penuh asumsi. Wanita yang sering menghiburku di kos dengan banyolannya yang tidak jelas itu masih menatapku sambil tersenyum jahil. Sepertinya dia sedang membalas kejahilanku yang sudah-sudah. Atau ... mungkinkah wanita yang otaknya bergeser sedikit ini, sedang mengingatkanku untuk bersikap lebih baik lagi dan bijaksana? Bukankah Tuhan mampu memakai cara apa saja untuk menyadarkan umatNya?

Aku tersenyum getir. Tiba-tiba aku jadi ingat, tadi Mas Riko membelikanku camilan. Segera aku mencari dalam tasku.

“Ini ada pukis Thi. Makan dan pulanglah. Ini sudah malam.”

Seketika wajah Pethi berseri-seri. “Pukis, Mbak Pit?” Dia menerima sekeresek pukis dengan wajah sukacita seperti anak berumur lima tahun. Sambil mengucap terima kasih, Pethi yang somplak, wanita penghibur anak kos di Pecindilan Terate itu pun pergi. Entah ke mana wanita gelandangan itu pulang, karena aku tidak pernah tahu tempat tinggalnya. Sampai sekarang.

Cikarang, 281222

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU