KENCAN (2)


KENCAN (2)

Penulis : Lidwina Ro 



Hujan sudah reda, menyisakan aroma petrikor dan udara yang lembab dan menenangkan. Tapi entah mengapa, kali ini aku penasaran tidak menemukan alamat Arini yang sudah dia share kemarin.

Sudah lima kali aku bolak balik menyusuri jalan ini, akan tetapi selalu berakhir di ujung pertigaan jalan yang merupakan tanah kosong. Sialnya, Arini tidak bisa aku hubungi lagi, sejak percakapan siang di hujan deras tadi. Mengapa, ya, tiba-tiba ponsel Arini tidak aktif? Sebenarnya ke mana dia?

Aku menghela napas. Setelah memarkir sepeda motor di depan tanah kosong, aku mencoba membaca nomor rumah Arini sekali lagi. Lalu menatap tajam tanah kosong yang tampak terlihat lama tak dijamah manusia lagi. Banyak ditumbuhi ilalang, tak terawat, kotor dan ....

“Mas!”

Aku menoleh kaget. Seorang wanita paruh baya tampak keluar dari rumah, persis di sebelah tanah kosong itu. Aku segera mengangguk sopan.

“Masnya mencari siapa, ya?”

“Eh, anu, Bu. Mohon maaf, saya sedang mencari alamat Arini. Apa Ibu mengenal Arini?”

Wanita itu diam, matanya melirik ke arah tanah kosong itu sejenak, lalu menatapku lurus dan datar. Perlahan kepalanya mengangguk samar. Hatiku pun lega, ternyata ada yang mengenal Arini.

“Arini ... adalah anak Ibu.”

Ah, aku pun semakin lega.

“Tunggu dulu, ya, Mas. Ibu panggilkan.”

“Terima kasih, Bu. Eh, saya ambil motor dulu.”

Hatiku riang. Kencan akan berlanjut. Aku pun berbalik mengambil sepeda motor. Ketika aku hendak menuntun motorku memasuki pintu gerbang rumah ibunya Arini, dua orang lelaki melintas. Salah seorang menyapa, dan menepuk halus bahuku. Melihat sarung dan peci mereka, aku mengira mereka akan pergi salat ke masjid.

“Eh, Mas, tunggu dulu. Masnya ini mau ke mana?”

“Selamat malam, Pak. Saya mau bertemu dengan teman saya, Arini.”

Kedua lelaki itu sontak saling pandang. Lelaki yang agak tua lalu berdehem, sedang yang satunya menyeletuk, hampir membuat jantungku copot.

“Arini yang berbaju merah itu?”

Aku mengernyit. Perasaanku mulai tak enak. Hei, dari mana mereka tahu dress code Arini yang akan berkencan denganku malam ini? Di saat aku berusaha mengumpulkan logika, kembali lelaki yang agak tua itu menepuk bahuku.

“Sudahlah, Mas pulang saja. Sesungguhnya Arini telah lama meninggal. Sudah banyak lelaki yang diganggu Arini. Ya, seperti anda ini.”

“Jadi ... jadi Arini? Inalillahi ....”

Kedua lelaki paruh baya itu mengangguk-angguk, sambil menatap iba.

“Lalu ibunya? Tapi saya tadi bertemu ibunya.”

Aku membeku, menatap tak percaya rumah di mana ibunya Arini tadi, baru saja masuk ke dalam rumah. Kulihat rumah itu sepi, sama seperti tanah kosong sebelahnya. Banyak ilalang tumbuh liar, kotor, dan rumahnya .... tiba-tiba aku baru sadar rumahnya berubah seperti tak terurus. Aku mengucek mata, seolah mencoba mengembalikan akal sehatku yang tersesat. Jangan-jangan ini waktuku kena karma, seperti kata Mario tadi siang?

“Ibunya Arini juga sudah lama meninggal. Mereka berdua meninggal dalam kecelakaan bus yang sama. Pulanglah, Mas. Dan banyak istighfar. Allah masih melindungimu. Mari, Mas, kami salat dulu.”

Aku mengangguk gugup, tak lupa mengucap salam dan terima kasih. Rasa dingin masih menjalari tubuh dan kudukku. Aku perlu waktu untuk mengembalikan keterkejutanku. Tiba-tiba ponselku bergetar. Gemetar tangan dan seluruh tubuh, saat melihat muncul sebuah nama di sana. Arini.


( Selesai )


Cikarang, 22.05.23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBUAH RAHASIA

AYUNAN

TAMAN KOTA (2)