AINI
AINI
Penulis : Lidwina Ro
“Bangun, Aini, aku di sini.” Aku menatap sendu pada gadis koma, yang tergolek lemah dengan harapan-harapan baik yang tak pernah putus.
Entah sudah berapa kali aku berbisik di telinga gadis itu, tapi sia-sia. Mata Aini tetap tertutup. Tidak ada respons yang berarti, setelah tiga hari berlalu. Aini seperti sedang tertidur panjang, dan tidak mau diganggu. Tangis cemas seluruh keluarganya, seperti tak dianggap, seakan angin lalu yang datang dan pergi begitu saja. Sumpek benar dadaku melihat keadaan Aini yang mencoba mengakhiri hidupnya dengan meminum obat tidur berlebihan.
Aku baru saja hendak keluar meninggalkan kamar pasien yang di dominasi dengan warna hangat krem muda itu, saat aku mendengar Aini merintih. Segera aku membalikkan badan. Sambil menggumam tidak jelas, tangan Aini menggapai di udara. Seolah mencari pegangan. Ah! Akhirnya! Akhirnya Aini mulai sadar juga dari koma.
“Jangan ... jangan tinggalkan aku. Aku mohon ....”
Aku tertegun mendengar gumaman itu, lalu menghela napas berat. Bagaimana mungkin Aini sangat begitu keras kepala? Mengapa Aini tetap menyusahkan diri sendiri?
Aku mengamati wajah berkulit kuning langsat itu. Meskipun matanya masih terpejam, tapi aku yakin sebentar lagi kesadarannya akan pulih. Aku berharap, ketika Aini pulih nanti, hatinya semoga bisa melembut.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar. Aku pelan-pelan kembali ke sudut. Kulihat Tante Atik -ibunya Aini- menerjang masuk dan memeluk haru anak semata wayangnya, sambil mengucap syukur berkali-kali. Air matanya menetes tak henti-henti. Tangan Tante Atik mengelus lembut kepala Aini.
“Syukurlah, kau bangun juga, Aini. Syukurlah. Kau membuat ibumu takut setengah mati.”
Tante Atik sebenarnya tidak bersalah juga. Ibu mana yang mau menerima dengan ikhlas jika anak satu-satunya memutuskan tidak mau menikah gara-gara patah hati. Kedengaran konyol, dan kekanakan. Akan tetapi itulah Aini, sosok pribadi yang setenang air sungai, mengalir apa adanya. Permukaan tenang yang membuat siapa saja nyaman berada di dekatnya.
Satu persatu keluarga Aini masuk ke dalam kamar dengan wajah yang teelihat lega. Ah, semoga Aini ke depannya lebih dewasa dalam mengelola hatinya yang remuk itu. Waktu terus berjalan, semoga Aini tidak terlalu erat menggenggam cinta lamanya, dan hanya menyimpan rasa itu baik-baik di bilik hatinya yang paling dalam.
( Bersambung )
Komentar
Posting Komentar