BATAS WAKTU


 BATAS WAKTU

Penulis : Lidwina Ro 


Tidak banyak yang berubah di kafe itu. Masih berupa bangunan berukuran sedang, dengan cat abu-abu muda diselingi garis merah terang di tepinya. Sebuah kafe biasa yang tak mencolok. Tempat parkir yang lumayan luas, dengan taman kecil dan air mancur kecil dekat pintu masuk. Jenis musiknya pun terdengar masih memilih seputar lagu-lagu barat ringan yang sedang populer. 

Aku menajamkan mata, mencoba menelisik ke dalam kafe lewat kaca besar samping pintu masuk, dari dalam mobilku yang terparkir di depan halaman kafe. Kursi-kursi besi, dan sebagian lagi sofa yang empuk di sudut ruang hampir tidak berubah tata letaknya. Bahkan asbaknya yang unik terbuat dari ukiran kayu terlihat masih sama. Oh, rupanya ada yang baru, yaitu beberapa tanaman perdu berwarna hijau kuning, juga tanaman sejenis palem, diletakkan di tiap sudut ruang, menambah nyaman hati pengunjung yang menatapnya.

Sementara dua pramusaji lalu lalang meletakkan menu di setiap meja tamu yang datang.  Senyum mereka selalu tersungging manis, ramah dan luwes, siap melayani setiap tamu yang datang. Mataku tetap mengarah ke sudut kafe, seperti tak mau kehilangan sasaran. Pada seorang kasir yang sibuk dengan kalkulator.

Kutunggu kafe sampai tutup, sambil menghisap rokok. Bulan di atas sana tampak redup dan hampir tertutup awan hitam. Angin dingin menyapu wajahku melalui jendela mobil yang sengaja kubuka. 

Seorang gadis dengan rambut panjang ekor kuda keluar dari kafe paling belakang. Ketika lima temannya tampak bercanda, gadis itu lebih memilih sibuk dengan ponsel di tangannya. Entah siapa yang sedang dia hubungi, tapi aku harus bicara dengannya sekarang juga.

“Yos,” sapaku hati-hati sambil menghampirinya. 

Yosefin, gadis itu mendongak tegang. Matanya mengerjap tak percaya. Seperti yang aku duga, gadis itu terlihat terkejut dan tak sadar mundur menjaga jarak.

“K-kau ....”

Spontan kupegang lengannya, takut terjatuh.

“ Aku antar pulang, Yos? Tidak apa-apa, kan?”

“Tapi, tapi ....”

“Lagi pula mau hujan, Yos. Apa kau senang kalau mamaku mengomeliku, jika tahu aku tidak mengantarmu pulang?”

Demi mendengar nama mama aku sebut

, Yosefin memejamkan mata sesaat. Lalu mengatur napas. Beberapa menit kemudian, Yosefin menunduk. Tanda dia sepakat.


( Bersambung )


Cikarang, 18.05.23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU