BASWARA (4)


BASWARA

Penulis : Lidwina Ro


“Baswara mencarimu.”

Gundah, kutatap Tante Evi yang tersenyum bijak. Jujur saja, belakangan ini banyak hal terjadi di luar kendaliku, yang membuat jiwa ragaku limbung. Pikiranku yang masih konslet ini seolah-olah masih mencoba merangkai beberapa kabel yang berserakan. Entah di mana.

“Tidak apa-apa. Nanti semua akan membaik,” hibur Tante Evi sambil menarikku dalam pelukan, seakan dia tahu keresahanku.

“Kau terlalu kuat untuk tumbang sekarang. Lagi pula ada Ibu di sisimu sekarang.”

Aku menghidu aroma ketulusan dan kekuatan dalam suara Tante Evi, merakit kembali semangatku yang retak.

“Terima kasih ... Ibu.” Bergetar suaraku saat pertama kali memanggilnya ibu. 

Pelukan Tante Evi sontak membeku, kemudian perlahan pelukannya mengerat. Aku bisa merasakan bahuku hangat dan basah.

“Mengapa dulu Ibu meninggalkan aku?” 

Tante Evi mengurai pelukan, menggeleng. “Ibu tidak pernah meninggalkanmu, Yovi. Dari kau lahir, sampai sekarang.”

“Tapi ....”

“Iya, dulu memang nenekmu bersikeras memilih almarhum ibumu untuk mendampingi ayah. Tapi lihatlah, kau tumbuh sempurna dan baik-baik saja, kan? Yang terpenting adalah kau selalu istimewa di hati kami semua.”

Aku terkesima, mencoba mencari kata yang lebih tepat tentang rasa bernama cinta. Meskipun sengatnya luar biasa, ternyata hati bisa bertahan menderita meyakini cinta itu sendiri.

 **

“Apa benar kita sudah bertunangan?” 

Baswara menatapku lama sebelum mengangguk, lalu meraih cangkir kopinya. 

“Mengapa aku tidak ingat sama sekali?

“Aku tidak keberatan menunggumu sampai pulih, Yovi.”

“A-apa ka-kamu mencintaiku?”

Baswara menatapku lurus. “Sangat mencintaimu.”

“Lalu aku? Apa aku juga mencintaimu?” 

Baswara tertawa tanpa suara.  “Memangnya apa ada yang bisa menghalangi cinta kita, Yovi? Aku akan di sisimu sampai kamu sembuh.”

Tentu saja Baswara pasti tahu, kalau aku tidak mencintainya lagi. Ada penghalang di antara kami. Alam bawah sadarku bahkan tidak ingin aku mengingat namanya lagi. Aku hanya mengingat Baswara di permukaan saja. Karena sebenarnya, hatiku sudah berada di tempat lain. Setidaknya itu adalah jawaban dari keresahanku selama ini, setelah semalaman aku menjadi preman mendesak Mbok Mimin dengan berpuluh-puluh pertanyaan.

  **

“Halo? Yo? Kenapa kau diam dari tadi? Yo? Bicaralah!”

“Aku sedang gak ingin bicara.”

“Kenapa nadamu bau hujan? Ada apa? Si Cokelat kabur? Atau dia menggigitmu?”

Hening. Ada rasa puas saat mendengarnya kelabakan. Lalu terdengar ada helaan napas menyerah di ujung sana.

“Masih gak mau ngomong?”

Ternyata sepuas ini mendengar nada cemasnya. Entah mengapa aku begitu bahagia.

“Dasar tukang semedi! Baiklah, aku mengerti, kamu kangen aku, kan? Besok aku ke rumahmu. Tunggu aku, Yo.”

Dan ternyata selega ini aku mendengar kalimatnya. Hatiku pun semerbak, seperti wangi bunga tujuh rupa.


Cikarang, 30.05.23


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBUAH RAHASIA

AYUNAN

TAMAN KOTA (2)