KUKUH (3)


 KUKUH (3)

Penulis : Lidwina Ro 


Mataku masih terus mengawasi dari sudut kafe milik Amel dengan hati mulai resah. Desas-desus yang  aku dengar di sekolah, ternyata benar adanya. Ternyata Amel tidak bohong. Amel berkata jujur, bahwa ada gadis lain yang sering ditemui Kris di kafenya di setiap hari Jumat di malam hari, sekitar pukul tujuh.

Mengapa Bima tidak pernah bercerita tentang gadis cantik berambut sebahu itu padaku? Begitu spesialkah gadis itu dibanding aku? Siapa sebenarnya gadis itu? 

“Halo, Alisa. Tak kusangka kita bertemu lagi.”

Aku membelalakkan mata tak percaya. Berkali-kali aku mengerjapkan mata, tetapi sosok jangkung itu masih tegak di hadapanku. Berdiri dengan senyum tengil. Hei! Mengapa lelaki itu ada di sini? Di kafe Amel sahabatnya?

“Masih ingat aku, kan? Halo? Alisa? Kenapa malah bengong?” 

Aku sedikit tersentak kaget, lalu buru-buru tersenyum sumbang menyadari sikapku yang terlihat bodoh.

Kukuh. Ya, tentu aku masih ingat lelaki tengil tetangga sebelah rumah kakekku di desa. Bagaimana bisa aku bertemu dengannya lagi? Tapi kali ini di kafe. 

“Kau temannya Amel, kan? Satu sekolahan dengan Amel, ya?”

“Hm-em” anggukku sambil meneguk lemon tea, sekedar mengurangi kekagetanku atas hadirnya dia, di waktu yang tidak tepat.

Kukuh menyeret kursi dan duduk berhadapan denganku. Pandanganku ke arah Bima jadi tertutup oleh badannya. Aduh! Kukuh ini ... selalu mengganggu.

“Kau sendirian, Al?”

Aku mendelik. Al? Kukuh memanggilku dengan sebutan itu?

“Aku, eh ... iya. Oh, sebenarnya aku sudah janjian dengan Amel, mau ke mal,” sahutku sambil berusaha melirik lagi ke arah Bima. Hatiku resah saat melihat gadis yang bersama Bima, tampak tertawa manja. Bima seperti sedang menggodanya. Bima memang keterlaluan! 

“Alisa?”

Lagi-lagi aku tersentak kaget. 

“Kau kenapa?”

Aku menggeleng buru-buru, dan meneguk lemon tea-ku, sekedar menenangkan jantungku yang berdetak tidak karuan. Sialnya aku tak dapat menyembunyikan rasa panas yang mulai menguasai kedua mataku.

“Kau baik-baik saja? Mengapa kau terlihat gelisah?” tanya Kukuh.

“Maaf, aku ... aku harus pergi sekarang.”

Kukuh tiba-tiba menahan tanganku yang sudah mau berdiri.

“Duduklah dulu.”

“A-apa?”

“Tenangkan dirimu dulu.”

Cekalan tangan Kukuh yang memaksa, membuatku tak berdaya. Dengan setengah hati aku menuruti perkataannya.

“Habiskan minummu dulu. Nanti aku yang mengantarmu pulang.”

Aku mengaduk minumku dengan malas.

“Apa kau sangat mencintainya?”

“Apa!” Aku menatap gusar kearahnya. Apa Kukuh sudah tahu kalau aku sedang memata-matai Bima? 

Kukuh tertawa kecil. “Lelaki yang di ujung itu. Kau mencintainya, Alisa?”

Ah, sial! Kukuh sudah tahu rupanya.



Cikarang, 06.05.23


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU