LANGIT BIRU


 LANGIT BIRU

Penulis : Lidwina Ro

“Kau harus lekas menikahi Ranti. Anak pak Jayadi.”

Hening. Tak ada sahutan dari Mas Dika. Semenit, dua menit, telingaku yang menempel lekat di balik pintu, menguping dengan hati yang riuh. Apa kira-kira jawaban Dika untuk ibunya? Apakah lelaki itu akan menyerah dengan keinginan ibunya?

“Mau sampai kapan ibu menunggu? Ibumu ini sudah terlalu tua, Dika. Kamu anak ibu satu-satunya. Berilah kebahagiaan sedikit untuk orang yang sudah renta dan sakit-sakitan ini.”

Masih hening. Dika tak merespons. Aku yakin lelaki itu pasti menghisap rokok seperti biasa, sambil menatap datar ke sembarang arah. Selain ibunya.

“Apa coba kekurangan Ranti? Dia sangat baik, lembut, tak banyak tingkah, dan perhatian denganmu. Dari dulu.”

Aku menghela napas. Ingatanku melayang pada Ranti, sahabatku semasa kuliah. Ranti juga adalah tetangga kami. Mas Dika, aku dan Ranti, sama-sama satu perumahan, hanya berbeda blok saja. Gadis itu memang baik. Terlalu baik malah. Mana ada gadis sebaik Ranti? Saking baiknya sehingga rela mundur saat menyadari ketika Mas Dika lebih mencintai dan memilihku sebagai istrinya?

Tiba-tiba sentakan tangan yang lembut menarik tanganku dari belakang.

“Bu, ada apa? Mengapa ibu di situ?”

Aku menyeringai malu, salah tingkah ketahuan menguping. Kugandeng Nikita menjauh dari pintu kamar. Aku menggiringnya ke tempat tidur, dan memangkunya.

“Mana Ayah, Bu?”

Aku menunjuk ke arah pintu. “Di luar. Masih bicara dengan Nenek.”

“Apa Nenek memarahinya lagi, Bu?”

Aku hanya bisa tersenyum getir. Kupeluk Nikita erat-erat, tanpa tahu bagaimana cara menjelaskan dengan baik, pada anak sekecil ini.

“Nenek hanya ingin yang terbaik buat ayahmu.”

Aku tahu, tidak mudah membujuk Dika. Dia lelaki keras kepala. Dia punya prinsip yang kuat tentang pasangan hidup.

Tetapi itu dulu. Sekarang, kan, semuanya sudah berubah total. Mengapa Dika masih menolak menikahi Ranti?

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Mas Dika masuk dan melempar jaketnya sembarangan di kursi. Wajahnya tampak keruh. Muram. Aku rasa Mas Dika masih tidak bisa membuang memori tentang kecelakaan itu.

“Ayah!” Nikita tersenyum senang melihat Mas Dika. Dengan cekatan aku segera menahan lengan Nikita agar tidak memeluk ayahnya.

Dika menegakkan punggung, matanya tiba-tiba menoleh ke segala arah, seolah mendengar sesuatu.

“Kenapa, Bu?”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBUAH RAHASIA

AYUNAN

TAMAN KOTA (2)