KUKUH (8)
KUKUH (8)
Penulis : Lidwina Ro
Apa pantas aku menonton berdua dengan Kukuh? Memang aku sudah kelas tiga SMA. Jika bicara waktu, sudah waktuku untuk mengenal sosok laki-laki, seperti gadis-gadis normal lain pada umumnya. Tetapi masalahnya, aku juga baru putus dengan Bima yang tidak jelas itu. Jadi ada rasa malas yang sangat mengganjal untuk memulai hubungan lagi dari awal.
Salah satu penyebab aku malas adalah ... seorang gadis berambut pendek sebahu yang sudah akrab dengan Kukuh. Sarah. Ya, kemarin Amel bilang nama gadis itu adalah Sarah. Dia cantik, bertubuh ideal dan dari gestur tubuh, tampak sudah dekat dengan Kukuh.
“Bagaimana? Kau keberatan?”
Aku tersenyum samar, entah bagaimana mengatakannya. Sepertinya tidak etis jika aku bertanya tentang Sarah.
“Apa Bima memintamu balikan?”
Dih! Aku tercengang kaget. Sifat Kukuh tidak berubah. Terlalu berterus terang. Sepertinya itu pertanyaan yang agak lancang. Seharusnya Kukuh bisa menjaga mulutnya.
“Kau tidak menerima Bima kembali bukan?” lanjut Kukuh.
“Eh, tidak, tidak,” gelengku spontan. Loh, kenapa aku malah jujur dengan orang asing? Dan kulihat sudut bibir Kukuh tertarik ke atas. Hei? Atas dasar apa Kukuh tersenyum senang?
“Terlalu cepat, ya? Tidak apa-apa jika tidak mau, Al. Mungkin bisa lain kali. Tenang saja, tidak perlu segelisah itu.”
Ah, Kukuh memang tidak pernah bertele-tele dan selalu tepat sasaran.
“Jadi ... mau teh atau yang lain?” tanyaku mengalihkan perhatian. Juga untuk menetralisir ketidaknyamanan di antara kami.
“Tidak usah, Alisa. Terima kasih. Aku mau lanjut ke kafe,” ujar Kukuh sambil berdiri. Aku mengangguk, sambil membuntutinya melangkah ke pintu depan.
“Kapan-kapan kamu main ke kafe, ya? Mau?” Tiba-tiba Kukuh membalikkan badan. Jantungku seperti hampir copot, karena hampir saja aku menabraknya.
“Nanti aku yang bilang pada ibumu. Bagaimana?”
“Sama Amel?”
Kukuh menatap dalam-dalam mataku. Terpaku sesaat. Ada selintas keheranan yang terpantul di sana. Tetapi hanya beberapa detik saja, kemudian dia tertawa tanpa suara.
“Setuju. Terserah kau saja, Alisa. Sama Amel, hari Sabtu. Bagaimana? Oke?”
Tidak aku sangka akan secepat ini reaksi Kukuh. Padahal tadi aku hanya ingin tahu, apakah Amel tahu rencana ke kafe ini. Dan terlambat sudah untuk mundur, karena Kukuh sudah menetapkan harinya. Dih! Kukuh memaksa sekali.
“Oke,” sahutku kemudian. Antara terpaksa dan ingin tahu, oh, betapa tipis sekatnya itu!
Cikarang, 11.05.23
Komentar
Posting Komentar