KUKUH (7)
KUKUH (7)
Penulis : Lidwina Ro
“Mbak Lis, bangun! Ada temanmu yang nyari di depan, tuh!”
Dih, adikku ini memang menyebalkan sekali. Selalu ada saja gangguannya kalau lihat aku molor barang sejenak. Mataku masih berat dan lengket saat Atika menggoyang pelan lenganku.
“Jangan buat dia lama menunggu, Mbak. Kasihan. Bisa mewek dia nanti!”
Kucoba mengumpulkan nyawa. Enak sekali tidur sepulang sekolah. Aku bahkan belum sempat melepas seragamku. Ulangan matematika di jam pelajaran terakhir tadi begitu menguras energiku.
“Suruh Amel masuk ke sini saja, Tika.”
Atika terkekeh geli. “Siapa bilang yang nyari Mbak Lis itu adalah Mbak Amel?”
“Loh? Bukan Amel? Lalu siapa?” Dengan malas aku menggeliat, lalu menuju lemari baju. Mengambil sembarang baju atasan katun dan celana jeans biru pendek.
“Yang kemarin ke sini sama Mbak Amel itu, loh. Mas siapa ya tadi?”
Kantukku langsung lenyap. Menguap entah ke mana. Dengan horor mataku melotot penuh pada adikku. Jangan-jangan dia adalah ....
Mandiku sangat singkat. Masa bodoh! Asal aku tidak terlihat lusuh dan bau saja, itu sudah cukup. Setelah menyisir rambut sembarangan, aku bergegas menuju ke ruang tamu. Untunglah Atika sudah menyuruh tamunya masuk. Rasa bersalah mulai mengintimidasiku saat melihat lelaki itu tersenyum kecil, begitu melihatku muncul. Tidak ada raut wajah kesal sama sekali.
“Sori, kalau aku mengganggu tidurmu, Al.”
“Maaf, Kuh, kalau agak lama menunggu aku.” Pipiku pasti semerah tomat. Kukuh sedang menyindirku atau tidak, aku sungguh tidak tahu.
“Aku hanya mau mengantar belanjaanmu. Kau lupa membawanya kemarin.”
“Maaf, ya. Merepotkanmu sampai datang ke sini. Padahal aku sudah bilang Amel untuk dititipkan ke dia saja. Toh, cuma alat tulis dan majalah titipan adikku.”
Kukuh tertawa tanpa suara. “Percayalah, aku malah senang bisa ke rumahmu lagi.”
Wah? Apa kata Kukuh tadi? Malah senang? Benarkah? Tapi, apa maksudnya Kukuh itu? Bukankah Kukuh sudah punya gadis? Lah, yang kemarin makan berduaan mojok itu? Ah, mengapa aku begitu gerah sendiri, seperti duduk di atas kursi berduri?
“Boleh aku minta sesuatu?”
Aku langsung berdiri. “Maaf, aku sampai lupa bikin minuman. Kau mau dibuatkan apa? Teh atau ....”
“Aku mau minta tolong, Al.”
“A-apa? Minta tolong?” Aku linglung.
“Boleh aku mengajakmu nonton lagi?”
“Apa?” Aku semakin lebih linglung lagi. “Dengan Amel?”
Kukuh tertawa tanpa suara. “Tanpa Amel.”
Aku mengernyit, menatap Kukuh dengan harapan dia hanya bercanda. Tapi mata hitam itu menatap tajam dan tidak ada indikasi main-main di sana. Ah, Kukuh, apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya itu? Aku sungguh tidak paham.
“Hanya kita berdua, Al. Kau, dan aku. Apa kau mengerti?”
Entah mengapa aku seketika membeku. Mulutku membisu, hanya bisa menatap Kukuh penuh tanda tanya.
Cikarang, 10.05.23
Komentar
Posting Komentar