SEBUAH RAHASIA (2)
SEBUAH RAHASIA (2)
Penulis : Lidwina Ro
“Sudah kubilang, aku bisa membaca pikiran orang, saat bersentuhan dengan orangnya.”
Mbok Mimin hanya melongo bingung. “I-iya Non, Bu Evi sebenarnya istri pertama ayahmu,” bisiknya lirih.
Jelas sudah bagiku, mengapa aku bernama Yovi, singkatan Naryo dan Evi. Perasaan menyesal diam-diam menyelinap dalam hatiku, karena selama ini aku memandang sebelah mata pada Tante Evi. Masih adakah kesempatan untuk memperbaiki segalanya?
“Yovi? Apa kabarmu, Sayang?” Seorang wanita muncul, menyapa di ujung pintu kamarku.
Dia adalah sekretaris ayahku, Tante Yuli. Salah satu orang yang memberikan bahu dan pelukan hangat, saat aku terpuruk kehilangan ibuku. Tante Yuli mendekat, memelukku sebentar.
Sontak telingaku berdenging. Seperti kemarin-kemarin, sebuah layar transparan tak kasatmata menampilkan kilasan episode demi episode. Mataku membelalak tak percaya menatap kilasan layarnya. Ini mustahil! Napasku tersengal-sengal menahan marah. Tak kuat lagi melihat layarnya, aku menjerit histeris. Kepalaku berat dan mataku gelap, lalu tirai pun ... tersingkap.
**
Lorong apa ini? Di mana aku? Mengapa aku bisa berada di sini? Dengan perasaan takut dan bingung, aku celingukan menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari tahu kira-kira aku berada di mana. Tapi mustahil. Aku tidak pernah kemari sebelumnya.
Mungkin ada jalan keluar di ujung sana. Aku harus mulai berjalan maju untuk menemukan jalan. Bagaimana pun juga, aku harus pulang. Dan aku pun terus melangkah mengikuti jalan setapak kecil, yang entah berujung di mana.
Semakin aku melangkah, semakin aku merasa asing, dan ... sedikit ketakutan. Tidak ada seorang pun di sini. Mengapa tidak ada manusia satu pun di sini? Pepohonan yang tegak menjulang tinggi di sisi kanan kiri jalan setapak, menambah kegelisahanku. Pada siapa aku harus meminta tolong? Tiba-tiba aku ingat seraut wajah sederhana yang tenang itu.
“Tante Evi!”
Lalu tiba-tiba ada belaian lembut di atas rambutku. Sebuah belaian yang membuat hatiku tenteram dan damai. Membuat aku ingin berpaling.
“Tante di sini Yovi, syukurlah, kau sudah siuman kembali. Oh, syukurlah.”
Mataku mengerjap bingung menatap sepasang mata berkaca-kaca yang penuh kekhawatiran itu. Hah? Benarkah aku tadi pingsan?
Tante Evi membelai rambut dan pipiku. Sementara aku mencoba mengingat-ingat apa yang sesungguhnya terjadi.
“Istirahatlah dulu. Tenangkan hatimu. Semua akan baik-baik saja, Yovi.”
Aku menahan tangan Tante Evi, dan menggenggamnya erat. Mata kami bertemu dalam satu titik, lalu lirih aku berbisik.
“Ibu ....”
Komentar
Posting Komentar