KUKUH (2)
KUKUH (2)
Penulis : Lidwina Ro
“Antarkan puding mangga ini ke tetangga sebelah, Lis,” ujar ibu sambil menyodorkan sebuah box plastik persegi panjang bening transparan.
“Tetangga sebelah?” Alisku mengernyit. Aku berdiri menghampiri Ibu, meninggalkan acara berita seru televisi yang menyajikan berbagai taktik dan manuver banyak partai dalam perebutan kursi kepresidenan.
“Iya, tetangga sebelah kanan persis rumah Kakek. Itu rumah Bu Hadi. Kau pasti sudah tahu Bu Hadi, kan?”
Sebelah kanan? Eh, bukankah sebelah kanan itu rumahnya ....
Di kepalaku langsung terbayang lelaki tengil yang beberapa hari yang lalu membantuku mengambilkan mangga. Dengan setengah hati aku mengambil pusing mangga dari tangan Ibu. Mau menolak tidak enak. Ada Kakek yang sedang bersantai menonton televisi di dekatku. Ah, Ibu, ada-ada saja.
**
Rumah Bu Hadi tampak sepi. Terasnya asri lagi sejuk, penuh dengan pot-pot tanaman perdu berdaun semu hijau, kuning, dan oranye. Beberapa anggrek bermekaran, berwarna ungu, kemerahan, dan putih juga kelihatan sangat cantik. Setelah mengetuk beberapa kali, akhirnya pintu terbuka juga.
Aku mengumpat dalam hati begitu tahu siapa yang membukakan pintunya.
“Alisa?” Sebuah senyum tengil pun muncul menyambut kedatanganku. Mendadak aku salah tingkah.
“Eh, iya. Ini ibuku menyuruh mengantar puding.” Kusodorkan puding mangga, sambil menghardik dalam hati akan detak jantungku yang ramai tidak jelas.
“Wah, terima kasih. Tante Ana baik sekali. Masuklah dulu.”
“Apa?” Aku melongo heran. Bagaimana dia tahu nama ibuku? Aku saja tidak kenal nama ibunya lho! Yang aku tahu hanya nama Ibu Hadi.
“Siapa, Kuh?” Seorang wanita berdaster warna biru tua muncul. Disusul dengan seorang gadis cantik berambut panjang seusiaku, yang menatapku lurus, dengan sedikit menyelidik.
“Oh, Alisa, toh? Ya, ampun, rajin sekali ibumu. Ayo, masuk dulu, Alisa.” Bu Hadi melebarkan daun pintu, mempersilakan masuk.
“Terima kasih, Bu, tapi saya harus pulang membantu Ibu menyiapkan makan malam,” tolakku menggeleng halus sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.
“Oalah, begitu. Ya sudah. Sampaikan terima kasih sama ibumu, ya!”
“Permisi,” anggukku santun pada Bu Hadi, dan bergegas meninggalkan rumah. Entah mengapa aku ingin cepat-cepat menyingkir dari situ.
“Terima kasih, pudingnya, Alisa!” teriak Kukuh. Aku tidak menoleh. Hanya mempercepat langkah, agar segera sampai di rumah kakekku. Tiba-tiba bayangan wajah gadis tadi kembali muncul. Siapa kira-kira gadis itu? Kata Kakek kemarin, Kukuh hanya mempunyai satu saudara laki-laki. Jadi siapa gadis cantik itu tadi?
Aku lalu mengetuk dahi dengan senyum simpul. Ah, konyol sekali aku. Mengapa semua menjadi urusanku? Bukankah aku tidak ada sangkut pautnya dengan Kukuh dan keluarganya? Lagi pula, aku di rumah Kakek hanya sementara. Mengisi libur yang sebentar lagi juga berakhir.
( Bersambung )
Cikarang, 05.05.23
Komentar
Posting Komentar