SECANGKIR KOPI
SECANGKIR KOPI
Penulis : Lidwina Ro
Aku baru saja akan menutup pintu, saat mataku menangkap sosok lelaki dari kegelapan berjalan tergesa menghampiri kafe. Rintik hujan yang masih bertahan sejak sore terlihat membasahi rambut dan tubuhnya yang kekar. Jantungku berpacu lebih cepat saat mengenali wajah lelaki yang menatapku lurus itu. Sesaat aku tertegun, terbius oleh sorot mata yang tajam dan legam. Seolah menyeretku ke suatu padang bunga tak bernama yang penuh warna. Di mana aku bebas berlari dan mencium satu persatu wangi bunganya. Tak sadar tanganku berkeringat, dan menggenggam erat pinggir pintu. Sesuatu berbisik dengan keras dalam hati agar aku segera menjauhi lelaki ini.
“Bisa minta secangkir kopi hitam?”
Kopi? Tak percaya aku mendengarnya. Setelah beberapa detik beradu pandang, mendadak aku mengangguk lugu, seperti tidak punya kekuatan untuk menolak. Lupa bahwa aku bekerja di kafe, dan seharusnya sudah menutup kafe.
Seperti tidak mau menyia-nyiakan waktu, lelaki itu segera melewatiku begitu saja. Mengambil tempat duduk di sudut kafe. Menatapku diam sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana jeans-nya.
Diam-diam kuhela napas . Enggan berspekulasi lebih jauh, aku melangkah menuju belakang. Vina yang sudah beres-beres mau pulang, mengerutkan alisnya saat aku mengangkat telunjuk. Pasti dia juga tidak mengira masih ada pelanggan satu lagi.
“Kopi hitam dengan satu sendok gula saja, Vin.”
“Heh? Masih ada orang rupanya?” Sambil meraih cangkir, Vina melirik ke arah tamu yang baru datang.
“Siapa dia?” selidik Vina menatapku dengan cengengesan.
“Siapa? Ya, tamu pecandu kopi tentu saja,” sahutku asal. Tidak bisa berpikir lebih jauh, karena hati dan otakku saling beradu pendapat.
“Lalu mengapa dia merokok sambil menatapmu terus?” kerling Vina nakal, sambil mengaduk kopi, menaruhnya pada nampan setelah siap, dan mendorong nampannya ke sisi tanganku. Aku menahan napas kali ini. Aku memang membelakangi lelaki itu. Tidak aku sangka dia mengawasiku dari sudut kafe.
“Kali ini kau yang antar kopinya, Lu,” bisik Vina sekali lagi. Kali ini dengan nada menggoda. “Sepertinya aku mulai mengenalinya, meskipun rambutnya sekarang gondrong. Dia Bintang, bukan?”
Aku mendengkus. Segera aku membawa nampan berisi kopi hitam itu tanpa menjawab pertanyaan Vina.
“Ya, sana. Jangan buat si ganteng itu terlalu lama menunggu, Lu,” ujar Vina menutup mulutnya yang mulai tertawa kecil.
Bintang. Ya, Vina memang jeli. Benar sekali, lelaki itu memang bernama Bintang. Lelaki yang pernah singgah lama dalam kehidupannya, dan pernah mendiami sebagian besar ruang istimewa di dalam hatinya. Tetapi itu dulu.
Susah payah dulu aku mencoba percaya pada lelaki itu, dan susah payah juga akhirnya aku harus melepasnya.
( Bersambung )
Cikarang, 091022
Komentar
Posting Komentar