JAJAN

JAJAN

Penulis : Lidwina Ro


Kata ‘jajan’ selalu mengingatkan suatu kegiatan yang menyenangkan pada masa kecil saya dulu. Jadi dulu, sudah tradisi jika waktu liburan sekolah tiba, saya selalu menginap di rumah nenek kakek di desa, bersama sepupu-sepupu lainnya yang berasal dari Malang, Semarang dan Surabaya. kami biasanya semua serentak bertemu di rumah nenek kakek. Beruntung sekali rumah nenek mempunyai kamar yang banyak. Maklum, keluarga besar. Nenek memiliki anak sembilan. Ibuku adalah anak ke enam. Wow! Jangan kaget ya. Apakah tidak ada KB jaman dulu? 

Lanjut. Setiap pagi ada rutinitas yang tidak bisa kami -saya dan sepupu-sepupu saya- tinggalkan selama berada di rumah nenek. Yaitu antre di gardu depan sekolah yang tidak jauh dari rumah utama nenek. Antre apa? Antre bubur campur, kalau meminjam nama, istilah era sekarang.

Mbah Pono adalah wanita paruh baya yang cekatan, bersih dan higienis dalam berjualan bubur campur. Buburnya komplit dan lezat. Panci-panci aluminium besar berisi bubur dan setumpuk mangkok sendok dijajarnya dengan rapi di atas meja bambu. Tidak ada kursi di situ. Yang ada hanya tempat duduk permanen dari semen yang menyatu dengan gardu.

Masih pagi buta dengan dibantu anak lelakinya, dia sudah mengangkut dagangannya ke sebuah pos/ gardu. Saya masih ingat ada sebuah kentongan kayu raksasa di sisi kiri gardu. Hayo, kentongan buat apa?

Oh ya, waktu dulu di desa, kami hanya menyebutnya jajan jenang saja. Bubur campur itu memang bervariasi. Isinya bubur sumsum putih, bubur ketan hitam, biji mutiara, dawet, dan grendul atau semacam biji salak yang berasal dari bahan dasar ubi (kalau grendul di desa, bahan dasarnya dari tepung ketan yang dibuat bulat-bulat) Pilih jenang yang disuka saja. Setelah ditaruh di dalam mangkok, lalu Mbah Pono akan melengkapinya dengan memberi santan dan saus gula Jawa yang kental. Nah, kenangan jajan masa kecil yang cukup menggiurkan, bukan?

Bukan hanya bubur campur saja jajan yang sangat kami gemari. Ada satu lagi jajanan yang sering kami nantikan pada siang hari. Kali ini saya tidak kenal dengan penjualnya. Tapi kedatangan seorang nenek-nenek yang satu itu memang berhasil membuat kami semua selalu gembira. Nenek itu berjualan gulali. Gulali adalah jajanan tradisional, semacam permen yang terbuat dari gula aren atau gula jawa.

Nenek penjual gulali berjalan kaki sambil menggendong sebuah bakul kecil. Ketika nenek itu sudah duduk di teras rumah, maka sebuah baskom blirik kecil dia keluarkan. Gulali berwarna cokelat pekat, lengket dan padat bertabur wijen. Lalu dengan cekatan dia mengambil tusuk bambu berukuran pendek. Dengan sendok kayu dia mulai menarik-narik gulali dan merekatkannya pada tusukan bambu secara melingkar, sampai terbentuk gumpalan kecil gulali. Gulali ini rasanya khas, manis dan sedikit beraroma jahe. Ada sensasi tersendiri melihat atraksi nenek dalam memindahkan gulali pada tusukan kecil bambunya. Pernah kah jajan makanan jadul seperti ini?

Cikarang, 181022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU