DUA PERSEN
DUA PERSEN
Penulis : lidwina_ro
Cuma dua puluh tiga ribu rupoah. Kam pret! Kubanting dompet lusuh itu. Ini namanya pelecehan. Harga diriku tercoreng. Bagaimana mungkin usahaku hanya seharga sepiring nasi Padang?
Apa tidak ada benda berharga yang lain? Penasaran kupungut dompet itu. Membukanya sekali lagi, dan memang kosong.
Kalau hanya untuk melindungi uang yang tak seberapa banyak itu, mengapa wanita kurus tadi mengempit dompetnya dengan primpen? Tiba-tiba sebuah foto berukuran 3x4 terjatuh. Hampir saja aku menendangnya, saat seperti ada sesuatu yang menahan kakiku. Gusar aku meraih fotonya.
Foto hitam putih anak laki-laki. Keningku berkerut. Sesomplak-somplaknya otakku, mataku masih awas, dan masih punya dua persen suara hati. Tiba-tiba tubuhku bergetar dan membeku.
Liar langkahku bergerilya sekitar pasar. Mencari mangsaku, sosok wanita kurus yang bahkan wajahnya tidak sempat aku lihat tadi. Aku menyisir jalan sempit ratusan lapak, dan hatiku lega luar biasa begitu netraku menyasar sosok wanita di ujung tikungan.
“Ton!” seruku pada anak buahku yang juga sedang beraksi mencari mangsa.
“Ya, Bos?”
Aku membuka dompet lusuh tadi. Dengan sigap kupindahkan semua tanpa sisa lembar merah yang ada di dompetku, lalu menjejalkannya ke dalam dompet lusuh itu.
“Kau berikan dompet ini pada wanita berbaju biru itu!” perintahku sambil mengarahkan telunjuk pada seorang wanita kurus yang hampir menghilang di balik sudut pasar.
“Bilang saja, dompetnya terjatuh. Ayo, cepat!” sambungku dengan nada tinggi, tak peduli dengan tatapan heran anak buahku.
Kubalikkan badan segera, jelas aku tidak sudi kalau Anton sampai melihat air mataku. Apa kata dunia nanti?
Beberapa saat kemudian, Anton kembali. Aku mengangkat alis tinggi-tinggi menunggu laporannya.
“Beres, Bos. Ibu itu sangat senang, katanya dia hanya punya satu harta dalam dompetnya, yaitu foto anaknya yang sudah lama hilang.”
Aku mengangguk sambil lalu. Hatiku serasa remuk. Biar aku saja yang tahu, betapa tiba-tiba besar niatku untuk pulang. Tapi masih pantaskah aku pulang ke rumah?
“Siapa dia, Bos? Kenapa Bos malah mengembalikan dompetnya?”
Kau tidak perlu tahu, Ton! Biar malam nanti aku buat perhitungan dulu dengan Tuhan. Apakah aku pantas pulang setelah puluhan tahun minggat dari rumah, memilih hidup di jalanan, dan meninggalkan ibuku yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Cikarang, 011122
Komentar
Posting Komentar