Balada Donat
BALADA DONAT
Penulis : Lidwina Rohani
“Pak, dicari sama Pak Teguh di depan,” ujarku sambil meletakkan keresek hitam di meja dapur, hasil belanjaku dari warungnya Mbak Sri. Bapak mendongak sebentar, lalu kembali menekuni pekerjaannya. Menambal sela-sela lantai dapur dengan semen. Wah, bapakku memang hebat, ternyata tidak butuh waktu lama untuk membenahi lantai dapur. Entah mengapa belakangan ini setiap kali aku menyapu, selalu bermunculan gundukan tanah di antara sela-sela lantai. Yang jelas pasukan semut lah yang memboyong segunduk tanah itu. Semut-semut itu bertujuan apa, tentu aku tidak paham. Yang aku pahami hanya jengkel bila gundukan tanah itu muncul dan muncul lagi setiap hari.
“Wah, nanggung amat Jeng, Bapak masih belum selesai, nih.”
“Nanti saja diteruskan lagi, Pak,” sahut ibuku dari ruang makan. “Enggak enak, kan, sudah ditunggui sama Pak Teguh, tuh.”
“Iya, iya,” sahut Bapak sambil bangkit berdiri. “Jangan dipindah ke mana-mana semennya, Jeng, biarkan saja di situ, nanti Bapak lanjut,” sambung Bapak ketika mencuci tangannya di kamar mandi.
Aku hanya mengangguk, dan membalikkan badan menghampiri ibu ke ruang makan yang sedang menyimpan telur satu persatu di dalam kulkas. Melihat aku datang Ibu langsung mengulurkan plastik berisi telur kepadaku.
“Jeng, bantu Ibu masukkan telur ke dalam kulkas, ya? Ibu mau menyiapkan resep donat. Mumpung semua bahan lengkap. Eh, tadi belanja yang Ibu suruh kamu taruh mana?”
“Ajeng taruh di dapur, Bu.”
***
“Sudah jadi donatnya, Bu?” tanyaku tak sabar sambil menghampiri Ibu yang menggaruk-garuk kepalanya. Wajah Ibu tampak bingung dan gusar. Berkali-kali Ibu menatap wajan dan adonan donatnya yang berbentuk cincin itu.
“Kenapa rasanya, kok, lain, ya, Jeng?” keluh Ibu dengan dahi berkerut dalam. Mengunyah gorengan donat pertamanya dengan tidak percaya diri.
“Lain bagaimana, Bu?” desakku tidak yakin. Aku memperhatikan wajah bingung Ibu yang sedang mengicip donat dengan seribu tanya. Lebih bingung lagi saat Ibu membuang kunyahannya ke tempat sampah.
“Mengapa jadi keras begini, ya, Jeng? Apa mungkin Ibu salah takaran?”
“Ada apa, Bu? Kenapa wajahmu bingung begitu?” tanya Bapak yang baru saja masuk ke dapur. Tanpa menunggu jawaban dari Ibu, Bapak segera fokus dengan pekerjaannya yang tertunda tadi.
“Jeng?” Tiba-tiba Bapak menatapku lekat. “Kau taruh mana semen Bapak tadi?
“Kan, di situ Pak ....”
Aku dan Bapak saling pandang. Sebungkus semen yang tadi berada di meja dapur, kini raib. Butuh beberapa detik bagiku untuk mengingat-ingat kembali.
“Di mana?” tanya Bapak sekali lagi.
“Aku tidak memindahkannya, Pak. Ya di situ!”
Tiba-tiba tawa Ibu pecah. Aku dan Bapak menatap Ibu dengan kaget bercampur bingung.
“Ada apa, to, Bu? Ketawa kayak kesurupan saja,” protes Bapak sambil kepalanya masih celingukan mencari semennya.
“Sudah, sudah ... enggak usah dicari lagi semennya.”
“Loh, kenapa, to, Bu?”
“Tuh, semenmu sudah aku jadikan donat. Siapa suruh naruh semen di meja dapur. Aku kira tadi itu tepung terigu yang dibeli Ajeng. Pantesan donatnya keras banget, to, Pak, Pak.”
Aku dan Bapak serentak terbahak-bahak. Oh, donat semen putih!
Cikarang, 231022
Komentar
Posting Komentar