TERSESAT 2
Penulis : Lidwina Rohani
Kabut tebal mulai mengganggu perjalanan menuju pos empat. Rute yang seharusnya mudah untuk dikenali lama kelamaan seperti asing bagi kami.
“Nang?” dengus Tama dengan raut wajah yang mulai tegang. “Kelihatannya kita tadi sudah pernah melewati jalan ini. Mengapa kita melewatinya lagi?”
Aku menghela napas, setuju dengan pemikiran Tama. Dengan gusar aku memeriksa peta sekali lagi. Bersamaan dengan itu, aku dan Tama mendengar Doni berteriak dari arah semak. Buru-buru kami berlari menerobos kabut, mencoba mencari arah suara Doni.
Kami bertiga lalu terpaku diam. Menatap pada sebuah pemandangan yang tidak pernah kami pikirkan sebelumnya. Di balik rimbunan semak samar-samar ada sebuah jalan. Ya, seperti ada sebuah jalan setapak menuju agak ke bawah. Begitu samar dan tidak begitu jelas karena tertutup kabut. Benarkah ini jalan alternatif menuju pos empat? Tetapi mengapa ketua pendaki kami tidak pernah memberi info tentang ini?
Hatiku tiba-tiba berdesir aneh. Ada aroma asing yang mengelilingi kami. Entah apa, tetapi aku merasa harus menjauhi tempat ini. Secepat mungkin.
“Di mana Rio?” tanyaku saat tidak menemukan satu orang timku di sekitar situ.
“Kita kelihatannya tersesat, Nang, jadi Rio baru saja jalan ke arah situ, mencoba bertanya pada orang yang di warung sana,” keluh Doni sambil meneguk sisa airnya sekali teguk. “Aku juga butuh air minum. Dari tadi kita hanya berputar-putar saja di sini, sampai pegal kakiku. Ayo, kita susul Rio!”
Warung? Warung apaan? Mengapa aku tidak melihat warung? Aku berusaha menajamkan mata, melihat arah telunjuk Doni, memeriksa apakah benar-benar ada warung. Tetapi tetap saja aku tidak melihat apa-apa di ujung sana. Sarafku seketika menegang. Mengapa hanya aku yang tidak bisa melihat warung itu? Apa yang sebenarnya terjadi ini? Mengapa semua terasa aneh?
“Kenapa Rio tidak menunggu aku dulu? Kalau begitu aku yang akan menyusul Rio sekarang,” ujarku. “Kalian jangan ke mana-mana. Tetap di sini. Ingat, Doni, Tama. Tetap di sini! Tunggu aku membawa Rio kembali!” ujarku dengan tegas.
“Buset, Danang, galak sekali,” gerutu Doni.
***
Komentar
Posting Komentar