TERSESAT (3)

TERSESAT (3)

Penulis : Lidwina Rohani 


 Seperti dugaanku Rio tidak terlihat. Jejak kakinya pun bahkan lenyap. Senterku bahkan kesulitan membelah kabut yang tebal. Padahal ini masih siang. Teriakanku memanggil Rio juga tak ada hasil. Tidak ada respons. Tidak mungkin langkah Rio secepat itu sampai tidak bisa mendengarkanku meneriaki namanya. Semua menjadi tampak ganjil.

Cemoro Sewu makin pekat oleh guyuran kabut. Rasa letih mulai menggoyahkan langkah kaki. Sia-sia aku berteriak memanggil Rio. Temanku itu seperti lenyap di telan hutan yang berkabut. Ketika lelah sudah menguasai penuh raga, aku merosot duduk di tanah. Dari jauh aku masih bisa melihat senter Tama yang sesekali hidup mati, memberi tanda bahwa mereka masih ada di sana. Menunggu.

Tetapi di mana Rio? Di mana aku harus mencarinya? Dan bagaimana aku mencarinya dengan tubuh loyo tanpa tenaga ini? Kabut kali ini ... begitu tebal, menekan, dan mengimpit dada. Kepalaku sudah mulai berputar-putar tak keruan, ketika aku mendengar suara deheman kecil, tidak jauh dariku.

Sebuah deheman berat dan garang membuatku kembali berdiri, meskipun kaki gemetar, aku mencoba mengumpulkan logika dengan susah payah. Apakah aku sedang berhalusinasi? Bulu kudukku meremang melihat seorang kakek berjanggut putih, berdiri gagah berwibawa memakai busana rapi tempo dulu. Sebuah udeng atau ikat kepala berwarna gelap melingkari kepalanya. Lelaki tua itu mucul berdiri begitu saja, entah dari mana dia datang bersama seseorang di belakangnya. Sambil mengucek mata, diam-diam aku menyebut nama Tuhan dalam hati. Mata lelaki tua itu menatap tajam. Sorotnya begitu dingin tanpa ampun, menusuk sampai ke dalam tulang. Duh, ada di mana sebenarnya aku ini? Apakah aku sudah lancang dan melanggar aturan dalam aturan mendaki?

Setelah mengucap salam dengan gagap, aku memberanikan diri menceritakan situasiku.

“Jadi Mas sedang mencari temannya yang hilang?”

“Benar, Kakek,” sahutku takzim penuh hormat, mulai sedikit luntur rasa takutku.

“Mengapa sampai tersesat sampai masuk kemari?”

“Kabut menghalangi pemandangan kami semua, Kek. Tadi teman saya bermaksud mencari bantuan ke warung untuk menunjukkan arah menuju pos empat.”

Kakek itu mendengus, lalu menoleh ke belakang, tampak berbisik dengan seseorang. Mataku mengekor ke arah belakang lelaki tua itu. Bagai tersengat kala, baru menyadari bahwa aku baru saja menangkap bayangan gadis kecil itu sedang berjinjit membalas bisikan sang kakek. Tunggu, tunggu! Ah, itu, benarkah itu dia?

( Bersambung )


Cikarang, 061022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU