SEPASANG LANSIA
SEPASANG LANSIA
Penulis : Lidwina Rohani
Hamparan awan putih dan abu-abu menggulung mewarnai langit ketika aku mencari sebuah tempat yang nyaman untuk duduk sekedar meluruskan kaki. Akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah pohon rindang. Setelah menepuk-nepuk sebuah bangku tua, sekedar menyingkirkan daun kering yang terjatuh di sana, aku pun duduk.
Sejenak aku meluruskan kakiku setelah menuntaskan pemberhentian ke tiga belas. Hm, enak sekali. Kakiku langsung terasa nyaman. Apalagi di tambah dengan angin semilir yang perlahan-lahan mengeringkan butiran keringat di pelipis. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup segarnya udara pagi.
Setelah pegal kaki mulai berkurang, perlahan aku merogoh tas selempangku. Mencari untaian kalung yang tadi subuh sudah aku selipkan di dalam.
Suara batuk-batuk tidak jauh dariku, membuatku menoleh. Mencari sumber arah batuk tersebut. Lalu mataku menangkap sepasang lansia yang duduk berdampingan di salah satu bangku taman.
Lelaki tua berpakaian kuning tua, tampak sedang meredakan batuknya. Sebuah tongkat dari kayu, berpelitur dan mengkilat, bersandar di bangku. Beberapa kali tangan si istri mengusap lembut punggung lelaki tua itu. Seolah-olah ikut mencoba mengurangi deritanya. Berkali-kali bertanya, apakah baik-baik saja. Sambil mengoles minyak angin di sekitar leher sang suami. Tetapi batuk tidak kunjung mereda. Beberapa orang yang sedang khusuk berdoa kelihatan mulai terganggu. Mereka menoleh mencuri pandang.
Sang istri pun mengambil inisiatif. Dengan lembut dia menarik tangan lelaki tua itu, mengajak berdiri. Berpindah tempat. Setelah sang suami mengambil tongkat, pasangan lansia itu pun beranjak pergi. Memilih bangku yang lain, dan melipir ke pinggir. Menjauhi pusat doa. Tidak ingin mengganggu kekhusyukan doa sesamanya.
Sepasang lansia seolah bagai alarm yang berdering di kepalaku. Bahwa kelak aku pun akan berada di posisi mereka. Akan tiba waktuku bahwa kelak tubuh ini akan melemah. Tidak berdaya. Akan butuh bantuan orang lain untuk menemani bahkan merawat kita di masa tua. Satu persatu penyakit akan singgah tanpa diundang.
Beruntung sekali bila ada anak-anak yang dengan rela mau merawat. Kalau tidak?
Angin yang semilir menyapu pipi, membangunkan lamunanku yang tidak berujung.
Sepasang lansia yang berjalan tertatih. Keduanya berjalan saling menopang satu sama lain. Kesetiaan dan ketabahan terpancar dari raut wajah mereka. Rasa syukur yang dalam juga tersirat pada wajah mereka. Kesempatan hidup berdua masih dianugerahkan pada mereka. Menjalaninya dengan ikhlas adalah jawabannya. Apa pun salib yang sudah diberikan-Nya.
***
Cikarang, 081022
Komentar
Posting Komentar