TEGAR (2)


 TEGAR (2)

Penulis : Lidwina Ro

Elang, dokter muda yang menjadi tetangga sebelah rumah, dan sudah lama menjadi teman kecilku itu, datang ke rumahku di hari. Tiba-tiba dia menghampiriku yang sedang nonton TV dengan membawa sebungkus keresek berwarna merah. Mencium samar bau harumnya, aku segera tahu isi keresek merah itu. Martabak Bangka pasti!

Sambil mengambil duduk tak jauh dariku, Elang mulai membuka bungkus martabak. Sambil lalu dia menggumam tak jelas.

“Ibuku menyuruh aku cepat menikah, Mel.”

“Benarkah? Gadis mana yang akhirnya menjadi pilihanmu, Lang? Kau tidak pernah mengenalkannya padaku selama ini.”

“Kau sudah mengenalnya.”

Mbok Gami menghampiri kami, membawa piring, lalu menata martabak di atasnya.

Aku mulai tertarik dan mencoba menerka gadis-gadis mana di sekitar perumahan ini yang sudah aku kenal.

“Siapa? Anak Bu Tejo yang cantik dan kuliah di UI bernama Anjani itu? Atau Nadia yang fotomodel putrinya Bu Rahmah? Eh, atau Yosida gadis keturunan Jepang yang baru pindah ke perumahan kita itu? Mungkin pilihanmu jatuh di antara si kembar Mona dan Ajeng? Yang mana, Lang? Semua gadis-gadis di sini cantik semua, loh. Yang mana gadis pilihanmu?”

Tawa Elang berderai. “Dia bukan gadis, Mel. Tapi janda.”

“Apa?” Aku membelalak kaget.

“Apa sudah tidak ada lagi perawan di dunia ini, Lang?” sungutku sedikit gemas. “Siapa dia, Lang?”

Elang semakin tertawa mengakak.

“Besok Sabtu nanti kau juga akan tahu.”

 ***

“Om Elang!”

Aku menoleh ke ruang tamu. Kulihat Elang berdiri di depan pintu sambil mengangkat Bagas dan menggendongnya dalam sekali raih.

“Wangi amat, Lang. Mau ke mana?”

“Ingat, ini hari Sabtu. Aku akan menepati janjiku.”

Sabtu? Ada apa dengan hari Sabtu? Aku mengangkat alis tinggi-tinggi ke arah Elang, isyarat minta konfirmasi.

“Mau keluar apa di sini saja, Mel?”

“Eh? Maksudmu apa?”

“Kau masih ingat ibuku menyuruhku menikah?”

Ah, ya! Aku teringat sekarang, lalu mengangguk kuat-kuat.

“Kau mau menjemput kekasihmu itu?”

Elang menghembuskan napas, seperti mencoba untuk bersabar.

“Ya, kau mau mengganti bajumu, dan ikut ke rumahku sekarang?”

Aku mengerutkan kening. “Mengganti bajuku? Ada apa dengan bajuku?” Aku melirik baju rumahku yang bersih. Apa hubungannya antara bajuku dan kekasih Elang? Apa Elang mabuk? Setelah beberapa saat aku sibuk memeriksa bajuku dari atas ke bawah, tiba-tiba Elang menjitak kepalaku.

“Amelia, tidak ada kah setitik sayangmu untukku?”

Aku terkesiap. Menatap Elang nanar. Mencoba menghalau terkaan liarku di kepala, tetapi Elang justru mengangguk dalam-dalam.

“Kaulah calon pengantinku, Mel.”

“Ap-apa?” Dengan ajaib, suaraku menghilang dan gemetar. Susah payah aku mencoba menyatukan satu persatu puzzle yang tertinggal di sudut otakku.

“Aku mencintaimu, Mel. Segala kekurangan dan kelebihanmu, aku menerima semuanya.”

(Selesai)

Cikarang, 190223

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Reading Slump

BASWARA (4)

LANGIT BIRU