PIGURA RETAK
PIGURA RETAK
Penulis : Lidwina Ro
Seharusnya aku adalah seorang wanita yang paling beruntung. Usia masih muda, sehat. Karierku bersinar. Aku punya suami yang sangat mencintaiku dengan tulus dan apa adanya. Juga ada si kecil Vano yang melengkapi pigura kehidupanku. Aku yakin kehidupanku saat ini nyaris sempurna.
Seharusnya aku juga seorang wanita yang paling berbahagia di dunia ini. Tentu saja. Apa lagi yang aku inginkan? Apa lagi yang harus aku kejar? Seharusnya tidak ada. Tetapi entah mengapa, aku setuju saja ketika Krisna mengajakku bertemu di kafe berdua saja malam ini.
Aku tidak sengaja bertemu kembali dengan Krisna setelah delapan tahun. Pada lelaki cinta pertamaku ini, selalu akan ada di hati, satu ruang tersendiri. Tersembunyi. Terkunci.
“Kau tidak berubah setelah delapan tahun, Vanila. Kau tetap cantik. Aku merasa senang melihat kau bahagia,” senyum Krisna sambil menyesap kopi latte kesukaannya.
“Setelah kau meninggalkanku, dan menikah dengan Tamara seperti kehendak ibumu, apakah kau juga bahagia?” tanyaku kekanakan, tanpa memedulikan pujian Krisna. Aku hanya ... penasaran.
Alih-alih menjawab, Krisna malah tertawa tanpa suara. Aku melihat ada sebaris luka mengintai dalam ke dua matanya yang hitam kelam. Sepasang mata yang dulu pernah aku sukai dan selalu aku rindui.
“Begitulah, hidup terus berjalan. Kita semua harus terus melaluinya, bukan?”
Jawaban sok diplomatis.
Siam-diam aku menatap pedih sosok lelaki yang sangat patuh pada ibunya itu. Seorang putra yang terlalu berbakti, atau lelaki yang terlalu lemahkah dia untuk memperjuangkan cintanya, yaitu aku?
Setengah putus asa kuteguk kopi hitam tanpa gula yang mulai menghangat. Tak lagi panas, dan entah mengapa raksinya pun ikut pudar seiring sisa kecewaku. Pekatnya pahit kopi melekat tidak hanya di lidahku, tetapi juga menembus relung hati tersembunyi.
Ponselku berbunyi. Di layarnya muncul foto anak lelaki tersenyum lebar. Takut situasi menjadi tak dapat kukendalikan saat ini, maka aku segera mematikan ponsel. Tetapi rupanya Krisna terlanjur melihat sekilas foto wajah anakku.
“Hm, anakmu, ya, Van? Mirip kamu.”
Jantungku seperti berhenti berdetak, dan ingin meledak. Kutatap Krisna kelu.
“Aku belum memiliki anak, Van,” sambungnya lirih sekali.
Sontak tubuhku membeku. Lidahku mendadak kaku. Ribuan jarum seakan menyerbu. Sakit hati dan luka lama yang kupendam perlahan-lahan luntur dengan sendirinya.
Tetapi demi suamiku yang delapan tahun lalu, telah menerima kekuranganku, maka aku bertekat masih ingin menyimpan rahasia ini.
Maafkan aku, Krisna, jika sekarang aku belum bisa mengatakan kalau Vano sesungguhnya adalah anak kandungmu. Situasinya sudah tidak sama lagi. Maafkan aku yang lagi-lagi harus mengunci rapat mulutku, seperti delapan tahun yang lalu, dan menyimpan sendiri pigura retak kehidupanku.
Cikarang, 280223
Komentar
Posting Komentar